Mengapa kita tak bisa berhenti scrolling ponsel saat menonton?
Cara menikmati film dan serial kini berbeda di zaman penuh distraksi. Kita mungkin tak lagi mencari makna, hanya hiburan instan semata. Sialnya, kebiasaan ini berdampak buruk bagi kualitas cerita, tayangan pun terasa hampa.

Sulit membenamkan diri dalam TV atau film tanpa mengecek ponsel? Sepertinya kamu tidak sendiri. (Foto: iStock/Edwin Tan)
Sejak bulan Maret lalu, saya kembali mengaktifkan akun Netflix setelah dua tahun vakum, demi menonton Adolescence, sebuah drama kriminal viral yang dipuji karena akting realistis dan gaya pengambilan gambar sekali jalan (one-take).
Sebelumnya, saya memutuskan berhenti berlangganan Netflix karena bosan dengan konten yang makin terasa hambar dan klise — film dan serial terbaru terasa seolah ditulis oleh kecerdasan buatan yang menghasilkan cerita tanpa jiwa.
Namun keajaiban terjadi saat saya mulai menonton serial asal Inggris tersebut: saya menuntaskan semua episodenya dalam sekali duduk. Tanpa sekali pun mengecek ponsel untuk membuka feed media sosial, mengecek pesan atau email.
Sepanjang menonton Adolescence, saya bahkan tidak untuk mencari tahu alur cerita, latar belakang aktor, atau membaca ulasan serial itu.
Terhanyut dalam jalinan cerita yang kita tonton semestinya bukanlah sesuatu yang luar biasa. Tapi buat saya, ini merupakan hal yang langka. Dan tampaknya, saya tidak sendiri dalam merasakan hal ini.
PENUH DISTRAKSI
Salah satu unggahan satir di platform Instagram yang sempat viral cukup berhasil menangkap fenomena ini lewat tantangan sederhana yang terangkum dalam lima langkah:
- Tonton satu film penuh tanpa menyentuh ponsel sama sekali. Terbenamlah dalam cerita sepanjang film.
- Setelah film selesai, jangan langsung ambil ponsel.
- Jangan cari tahu apa pun secara online, baik soal plot hole, produksi, karakter, pendapatan box office, atau kehidupan pribadi para aktor dalam film yang baru saja kita tonton.
- Jangan lihat ulasan filmnya, baik dari kritikus profesional maupun pengguna biasa.
- Langsung tidur. Jangan googling filmnya. Berani coba?
Beberapa warganet mengaku bisa menahan diri untuk tidak memegang ponsel selama menonton. Namun banyak yang mengaku menyerah di langkah ketiga.
"Ya ampun, jangan larang saya mencari tahu soal aktor, box office, dan ulasan. Itu sulit banget," tulis salah satu komentar.
Ketika kita mendapat konten lain yang seru dengan terus-menurus scrolling, kita pun terbiasa membagi perhatian dengan mengerjakan dua hal sekaligus — misalnya, menonton film di bioskop sambil scroll TikTok.
Bahkan dari polling sederhana yang saya tanyakan ke 36 teman, hanya 13 orang yang bilang bisa menyelesaikan tantangan ini. Salah satunya malah mengaku bakal sangat tergoda untuk melanggarnya.
Tantangan ini bukan sekadar menyoroti rentannya perhatian akibat penggunaan ponsel dan media sosial yang berlebihan.
Lebih dari itu, ini menggambarkan kebutuhan kita yang semakin besar terhadap stimulasi — kebutuhan yang dipupuk oleh budaya daring yang mengedepankan kuantitas di atas kualitas.
Konten video berdurasi pendek sekitarnya 15 detik yang masif ditemukan di TikTok, Instagram, Facebook, YouTube, bahkan LinkedIn, telah mengubah cara kita mengonsumsi konten.
Sekarang, kita bisa langsung pindah ke video berikutnya kapan pun, menjadikan kita makin tak sabar, seperti pernah dijelaskan oleh seorang ahli neurosains kognitif kepada CNA.
Sementara itu, pakar neurosains konsumen juga mencatat bahwa perilaku ini merupakan bentuk adaptasi terhadap zaman digital.
Ketika kita mendapat konten lain yang seru dengan terus-menurus scrolling, kita pun terbiasa membagi perhatian dengan mengerjakan dua hal sekaligus — misalnya, menonton film di bioskop sambil scroll TikTok.
Para pakar mengakui bahwa otak manusia memang bisa berubah seiring kebiasaannya, namun di tengah kekhawatiran menurunkan kemampuan kita untuk fokus akan suatu hal, ada hal lain yang juga perlahan hilang: budaya terbenam dalam menikmati suatu karya.
Ketika toko buku dan bioskop mulai menghilang — simbol zama kita bisa terbenam lama dalam menikmati hiburan — dan saat kita semakin sulit berfokus pada suatu cerita, kita baru menyadari bahwa yang hilang bukan cuma konsentrasi.

KUALITAS TAYANGAN MENURUN
Situasi ini tentu membuat kemampuan kita menurun untuk benar-benar tenggelam dalam sebuah tayangan. Fenomena ini pun menjadi masalah serius bagi rumah produksi yang ingin kembali menarik perhatian kita.
Dalam sebuah utas Reddit tiga tahun lalu, banyak mengguna yang mengaku, "Saya susah fokus kalau nonton di rumah, tapi bisa banget terhanyut saat di bioskop."
Sementara, pengguna lain menimpali, "Di rumah, selalu ada dorongan buat jeda sebentar — ambil camilan, buka ponsel, dan sebagainya."
Namun, itu tiga tahun lalu. Toh, sekarang banyak penonton bioskop yang tak segan scrolling ponselnya saat menonton film di bioskop.

Ironisnya, saat kemampuan kita untuk fokus menurun, layanan streaming seperti Netflix justru merespons dengan membuat tayangan yang tidak butuh perhatian penuh.
Caranya? Dengan membuat formula dan alur cerita yang sudah familiar dan dangkal — tayangan yang hanya butuh ditonton sambil lalu, bukan disimak untuk mendapat makna yang mendalam.
Langkah ini bukan tanpa tujuan, menurut kritikus budaya asal Amerika, Will Talvin, dalam esainya tentang bagaimana Netflix "merusak" film.
Ia menyebut makin banyak "pseudo movies" — atau film palsu — yang sengaja dibuat untuk diputar sebagai latar saat orang sibuk melakukan hal lain.
"[Tayangan semacam ini] dirancang untuk diputar saja, bukan untuk ditonton," tulisnya dalam n+1 magazine pada Desember 2024.
"Film seperti itu cocok untuk model streaming, karena penonton di rumah biasanya tak benar-benar memperhatikan," katanya.
Seperti tayangan film dan serial, budaya membaca juga terdampak. Meskipun sering membaca artikel daring sepanjang ribuan kata dalam sekali duduk, saya sulit menyelesaikan satu buku.
Padahal dulu saya bisa melahap beberapa buku sehari sebelum kecanduan ponsel. Sehingga, tak heran toko buku makin sepi.
CERITA GENERIK DAN HAMPA RASA
Menurut saya, inti permasalahan ada pada paradoks kemudahan akses.
Layanan streaming dan media sosial memberi ruang bagi para kreator untuk menjangkau siapa saja.
Namun di saat yang sama, mereka juga membanjiri kita dengan konten yang lebih banyak daripada yang bisa kita nikmati secara utuh.
Agar bisa bersaing dalam lautan tayangan yang berebut klik, banyak program yang akhirnya dirancang semata-mata agar mudah ditemukan algoritma dan cepat dikonsumsi.
Hasilnya? Cerita yang terasa generik, sekilas terlihat oke tapi hampa rasa.
Saat kita bisa langsung pindah ke konten lain hanya dengan satu klik, tidak banyak alasan untuk mengeluh soal tayangan yang makin datar.
Kita bisa saja menyederhanakan masalah ini sebagai akibat dari menurunnya daya kita untuk fokus, dan hanya berhenti di pembahasan itu.
Namun kenyataannya, kebiasaan ini mendorong pembuat film dan serial menyajikan tayangan yang hanya akan memberi kepuasan instan, bukan makna yang bertahan lama di benak kita usai menontonnya.
Fenomena ini akan terus terjadi, baik kita sadari ataupun tidak.
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.