Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Lifestyle

'Saya tidak ingin mati': Tak bisa sembuh dari penyakitnya, gadis 20 tahun ini tetap bermimpi jadi dokter

Meskipun berbagai penyakit terus menggerogoti tubuhnya, Tammie Ong tetap menjaga asanya — dari tampil sebagai pembicara di TED Talk hingga mengikuti kursus di Harvard Medical School. Ia pun terus mendorong pemulihan bagi orang lain.

'Saya tidak ingin mati': Tak bisa sembuh dari penyakitnya, gadis 20 tahun ini tetap bermimpi jadi dokter

Tammie Ong didiagnosis mengidap berbagai penyakit kronis yang memengaruhi sistem pencernaan dan sarafnya. (Foto: CNA/Lauren Chian)

SINGAPURA: Selama bertahun-tahun, Tammie Ong membayangkan dirinya mengenakan jas putih dengan stetoskop di leher, bekerja sebagai dokter anak untuk membantu pasien-pasien cilik – seperti yang ia lihat di televisi.

Namun, pada tahun 2021, saat berusia 17 tahun, justru ia yang membutuhkan perawatan medis sampai harus terbaring di ranjang rumah sakit.

Malam sebelumnya, ia tidur seperti biasa. Keesokan paginya, ia terbangun dengan kondisi tubuh yang terasa aneh. Ia mengalami sakit kepala hebat dan muntah berulang kali.

Setelah menjalani berbagai tes di beberapa rumah sakit, ia akhirnya didapati mengidap beberapa penyakit langka yang tak dapat disembuhkan. Diagnosis itu mengubah hidup Tammie selamanya.

Salah satu penyakitnya adalah dismotilitas gastrointestinal, gangguan pada sistem pencernaan yang menyebabkan otot dan saraf di saluran gastrointestinal tidak mendorong makanan sebagaimana mestinya.

Kini, tubuhnya mendapatkan nutrisi lewat selang gastrostomi, mengubah caranya mengkonsumsi makanan secara normal.

Ia juga mengidap disautonomia, gangguan pada sistem saraf otonom yang mengendalikan beragam fungsi vital seperti tekanan darah dan detak jantung.

Dua kondisi ini sudah cukup untuk membuatnya terus-terusan lelah dan kesakitan.

Menurut para dokter, kondisinya kemungkinan besar tidak akan membaik.

Sesaat sebelum kami jumpa di rumahnya di bagian barat Singapura, pada suatu siang yang hangat di bulan Februari, sempat terbersit kekhawatiran: Bagaimana wawancara akan berlangsung jika kondisinya begitu lemah?

Namun, sejak ia menyambut saya di pintu, saya langsung tahu Tammie akan mengumpulkan segenap energinya untuk wawancara ini.

Ia mempersilakan saya ke ruang tamu, menyajikan minuman dingin, serta langsung menyesuaikan suhu AC untuk saya yang hadir dengan tubuh berkeringat. 

Selama 30 menit pertama, justru ia yang lebih banyak bertanya – tentang pekerjaan saya sebagai jurnalis – membalik peran seakan-akan saya narasumbernya.

Ia memancarkan semangat usianya. Ia mengenang, sebelum jatuh sakit, ia sangat suka menari.

Semua tentang dirinya seakan-akan menyatakan ia baik-baik saja – sampai ia mengingatkan kenyataannya.

"Mengidap berbagai penyakit ini benar-benar menguras hidup saya. Memakan perhatian, dan rasanya seperti tidak ada jeda," ujar Tammie.

"Saya selalu begitu lelah, selalu sangat lemah, dan rasa sakitnya semakin lama semakin parah," ujar perempuan berusia 20 tahun itu. 

Rutinitas malam adalah ujian tersendiri. Sebelum tidur, ia harus mengatur nutrisi dan obat-obatan yang masuk ke tubuhnya melalui central line – tabung yang terhubung langsung ke pembuluh darah besar dekat jantungnya. Lantas ia menyiapkan berbagai obat yang akan ia butuhkan keesokan harinya.

Semua memakan waktu empat jam, dan meski akhirnya ia bisa berbaring, tidur tetaplah sulit. Nyeri kerap menghalangi matanya untuk terpejam.

Tiap pagi, ia kembali dihadapkan pada serangkaian panjang prosedur medis, tak boleh ia lewatkan.

Keluar rumah lebih rumit lagi. Di antara yang wajib diperhatikan, ia harus menempelkan plester pada central line, membawa obat-obatan untuk dikonsumsi di tengah hari, serta memastikan baterai kursi rodanya penuh agar tak mengadat di jalan.

"Dokter tidak bisa memastikan apa penyebab utama rasa sakit ini, walaupun mereka kurang lebih tahu ini berkaitan dengan kondisi saya, dan ini akan terus memburuk," tuturnya.

Untuk pertama kalinya dalam wawancara ini, bahunya sedikit merosot saat berbicara tentang rasa sakit yang terus melekatinya serupa bayangan.

"Kami sudah mencoba hampir semua cara, dan saat ini tidak ada lagi opsi perawatan tambahan."

Tammie Ong menghabiskan empat hingga enam jam setiap hari untuk menyiapkan dan mengonsumsi berbagai obat intravena. (Foto: CNA/Lauren Chian)

TIDAK PUTUS BELAJAR

Sepanjang sore, Tammie – yang berusia 21 tahun pada bulan April ini – berbicara dengan lugas dan sabar saat menjelaskan gejala yang ia alami tiap hari.

Topik yang dibahas memang berat, tetapi suasana di ruang makan yang rapi dan bersih tetap terasa ringan.

Saat berbicara, ada optimisme dan keteguhan dalam suaranya.

Saya teringat pada kesan serupa dalam video-video TikTok-nya, tempat ia berbagi potongan kehidupannya dengan gaya khas yang jenaka dan penuh humor.

Jauh sebelum penyakit yang menggerogoti tubuh Tammie mulai mencengkeram hidupnya, Tammie punya mimpi masuk sekolah kedokteran.

Begitu teguhnya tekad itu, hingga saat berusia 16 tahun, ia mengambil keputusan yang jarang dilakukan seorang remaja, yakni menghapus semua aplikasi media sosial di ponsel dan komputernya enam bulan sebelum ujian nasional. Ia menyingkirkan gangguan agar bisa sepenuhnya fokus belajar.

"Waktu itu, screen time rata-rata saya cuma 30 menit per hari," ujarnya sambil tertawa.

Pengorbanannya membuahkan hasil. Ia lulus sebagai siswa terbaik di angkatan 2020 Kranji Secondary School dan diterima di program diploma sains biomedis di Singapore Polytechnic pada 2021.

Namun, di tahun yang sama, tubuhnya mulai melemah dan rencananya terhambat sebelum ia benar-benar menjalankannya.

Dalam empat tahun sejak diterima di politeknik tadi, Tammie baru menyelesaikan satu semester perkuliahan. Kondisinya membuatnya lebih banyak berada di rumah atau di rumah sakit.

Kali terakhirnya mengikuti kelas di kampus adalah dua tahun lalu. Meski demikian, Tammie menolak berhenti belajar.

Pada awal 2023, ia menargetkan diri untuk mengikuti kursus daring tiga bulan tentang dasar-dasar imunologi di Harvard Medical School.

Dalam esai pendaftarannya, ia menuliskan bagaimana hidupnya berubah drastis: "Tadinya, saya masih bisa keluar makan bersama kawan-kawan, tahu-tahu saya harus memakai selang makanan dan bergantung penuh pada nutrisi parenteral (lewat pembuluh darah) untuk bertahan.

"Saya kewalahan berjuang menghadapi kondisi saya. Namun, saya lantas menemukan kekuatan dan melihat ini sebagai panggilan untuk lebih memahami diri sendiri serta anak-anak atau remaja lain dengan kelainan langka."

Ia menyelesaikan kursus itu pada Maret di tahun yang sama.

Beberapa bulan kemudian, datang satu peluang – magang di Ng Teng Fong General Hospital, dan ia berkesempatan mengikuti tim dokter bedah umum.

Selama beberapa tahun sejak tubuhnya melemah, ia selalu menjadi pasien yang terbaring di ranjang rumah sakit, menjalani berbagai prosedur medis.

Namun, untuk pertama kalinya, kala itu ia berada di sisi lain, mengamati operasi dengan pemahaman yang baru. Dan itu membangkitkan semangatnya.

"Menyenangkan sekali. Saya bisa ikut menyaksikan hampir semua prosedur," ujarnya dengan nada riang.

"Saya pribadi pernah menjalani beberapa operasi yang sama sebagai pasien, dan berada di sisi lain sangat menarik. Akhirnya saya bisa melihat bagaimana cara kerja semuanya."

Tammie Ong tengah menyiapkan infus salin yang berfungsi mencegah dehidrasi, menjaga tekanan darah, dan mengalirkan obat. (Foto: CNA/Lauren Chian)

'BISA TERJADI PADA SIAPA SAJA'

Baru saja ia mendapatkan lagi momentumnya, tubuhnya kembali melemah.

Pada paruh kedua tahun 2023, ia didiagnosis menderita pankreatitis – kondisi menyakitkan pada pankreas yang membuatnya tak bisa berjalan dan terus-menerus diliputi rasa nyeri.

Lalu, tiga kali dalam beberapa bulan, ia harus berjuang menghadapi sepsis – komplikasi serius yang terjadi ketika bakteri masuk ke dalam aliran darah dan memicu respons infeksi ekstrem dari tubuh.

Tiap kali itu terjadi, ia kembali terbaring di bangsal rumah sakit yang dulu ia impikan sebagai tempat bekerjanya suatu hari nanti.

Saya bertanya apakah ia benar-benar telah menanggalkan cita-citanya untuk menjadi dokter.

Ia terdiam sejenak, lalu melirik ke arah tiang infus – alat yang ia gunakan dua kali sehari – di ruang tamu, beberapa langkah dari tempat kami duduk.

"Bukan tidak mungkin," ujarnya. "Tapi melelahkan sekali. Seperti menjadi perawat bagi diri sendiri, sekaligus masih harus belajar (selama bertahun-tahun ke depan)."

Di tengah semua itu, ia pun menghadapi pergulatan batin yang mendalam sebab tubuhnya kini memiliki keterbatasan.

Bulan lalu, ia mengunggah sebuah video di TikTok – dengan wajah muram dan air mata berlinang, ia melipat serta menyimpan pakaian balet yang telah lama tergantung tak tersentuh di lemarinya, diiringi alunan balada yang emosional.

Menari sempat menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya, wadah bagi dirinya untuk berekspresi. Namun, melihat leotard yang tak lagi terpakai hanya menjadi pengingat pahit akan kebebasan yang pernah ia miliki.

Potret Tammie Ong mengenakan kostum balet saat berusia lima tahun. (Foto: Tammie Ong)

Tammie mulai belajar balet sejak usia empat tahun. Ungkapnya, "Saya menunda menyimpannya karena saya selalu berpikir masih bisa kembali menari. Saya benar-benar tidak pernah membayangkan saya tidak bisa lagi.”

Terkait video-video TikTok-nya, ia berkata, "Alasan saya posting itu untuk menyemangati orang lain, karena orang sering tidak sadar betapa berharga hal-hal yang masih bisa mereka lakukan."

Ia pun menegaskan maksudnya. "Ini," ujarnya getir sambil menunjuk dirinya sendiri, "bisa terjadi pada siapa saja."

SUARA BAGI YANG MENDERITA

Awalnya, video-video yang ia unggah di TikTok hanyalah caranya untuk mengolah emosi.

Namun, netizen mulai menghubunginya. Sebagian sama-sama berjuang melawan penyakit, sementara yang lain sekadar tersentuh oleh ketegarannya. Dari situ, ia menyadari bahwa ekspresinya memiliki dampak.

Jika ia tidak bisa menyembuhkan orang di rumah sakit, ia memutuskan untuk melakukannya dengan cara lain: menjadi suara bagi mereka yang menghadapi berbagai bentuk penderitaan sebagaimana dirinya.

Sejak 2021, Tammie rutin membagikan video edukatif dan cuplikan kesehariannya di TikTok, mendokumentasikan rasa sakit yang ia alami serta perawatan yang harus ia jalani setiap hari.

Kejujurannya yang apa adanya menggugah banyak orang, dan kini lebih dari 200.000 orang mengikutinya di platform tersebut.

Tammie menegaskan bahwa apa yang ia bagikan bukan hanya tentang dirinya. Terdapat tujuan untuk menyadarkan publik bahwa ada komunitas besar yang terdiri dari mereka yang hidup dengan penyakit kronis. Mereka sering merasa tak terlihat, atau kadang justru menjadi pusat perhatian tanpa mereka minta.

"Pas saya di luar rumah, orang-orang sering menatap saya begitu saja, bertanya-tanya selang apa itu di hidung saya," ujarnya.

"Orang-orang berdesakan di lift dan tidak mau beri jalan, padahal saya menggunakan kursi roda… Masyarakat Singapura seharusnya bisa menjadi lebih peduli lagi."

Tammie tidak hanya ingin meningkatkan kesadaran tentang penderitaan mereka yang kondisi kesehatannya terus digempur setiap hari, tetapi juga mengambil tindakan nyata.

Ia telah menginisiasi penggalangan dana untuk berbagai tujuan mulia yang menggugahnya, mengajak komunitas daringnya untuk mendukung pasien-pasien dengan penyakit kronis.

Hingga kini, ia telah mengumpulkan dana sebesar S$23.000 (Rp273 juta) untuk organisasi nirlaba seperti Make-A-Wish dan Rare Disorder Society of Singapore.

Berkali-kali ia sampaikan sepanjang wawancara, biaya pengobatan penyakitnya sama sekali tidak murah. Meski biaya obat-obatan dan rawat inapnya ditanggung oleh asuransi, peralatan medis yang harus ia gunakan tiap bulan – seperti pompa infus yang menyalurkan cairan dan nutrisi ke seluruh tubuhnya – tidaklah demikian.

Salah satu tujuannya saat ini adalah memonetisasi videonya di media sosial agar dapat mencapai kemandirian finansial di masa depan.

Ada satu momen tak terlupakan ketika ia berkesempatan menyuarakan kesadaran kepada publik. Setelah sepekan dirawat di rumah sakit pada akhir 2023, ia keluar khusus untuk memberikan TED Talk di Nanyang Technological University mengenai pengalaman hidup sebagai remaja dengan penyakit kronis. Setelah acara tersebut, ia langsung kembali untuk dirawat inap.

"Ada enam pembicara hari itu," kenangnya. 

TED, singkatan dari technology, entertainment, dan design, adalah organisasi nirlaba yang berbagi ide dan pengetahuan ke audiens global melalui pidato dan presentasi singkat yang disebut TED Talks.

Saat saya tanya apakah ia merasa gugup atau terintimidasi di acara itu, ia menjawab dengan nada menyentil sekaligus bercanda karena menanyakan hal yang sudah jelas.

"Saya yang paling muda, sementara yang lain profesor semua!"

Meski sempat mengalami beberapa kendala kecil selama pidato, ia menganggap 15 menit di panggung TED sebagai impian seumur hidup yang akhirnya tercapai dan membuatnya diliputi rasa bangga.

Di rumahnya, ia menyimpan poster promosi acara tersebut, meski tidak dipajang.

Yang justru memenuhi dinding apartemen mungilnya adalah bingkai-bingkai foto keluarga, hampir di setiap sudut.

Saya sempat bertanya apakah memungkinkan untuk bicara dengan orang tua atau kedua kakak yang tinggal bersamanya.

Ia mengatakan hubungannya dengan keluarga sangat erat, tetapi ia lebih memilih untuk menjaga aspek kehidupan pribadinya.

Yang paling penting, ujar Tammie, adalah di hari-hari yang paling berat, ia tahu bahwa sistem pendukung yang ia miliki di rumah tetap kuat dan kokoh.

"Pengalaman ini membuat saya sadar bahwa tidak ada yang lebih penting dari keluarga dan teman-teman. Mereka selalu mendukung saya, dan untuk itu, saya sangat, sangat bersyukur."

JALANI HIDUP DENGAN SPONTAN

Saya tercenung sebelum menanyakan apakah dokternya pernah memberi gambaran tentang berapa lama ia bisa bertahan hidup. Itu adalah pertanyaan yang belum pernah saya ajukan kepada siapa pun dengan penyakit serius.

Jawabannya adalah penerimaan yang tenang bahwa tidak ada jawaban pasti untuk pertanyaan itu.

"Tentu saja, kami takut. Saya takut. Saya tidak ingin mati," ujarnya, lalu tertawa kecil.

"Kalau saya boleh bermimpi sekarang, saya masih berharap bisa sembuh."

Ketika saya bertanya apakah ia lebih suka mengetahui prognosis yang pasti, jawabannya justru mengejutkan.

Ia tersenyum tipis, lalu mengangkat bahu.

"Saya sebenarnya lebih suka tidak tahu," ucapnya. "Kalau tahu, kita pasti akan menjalani hidup dengan cara yang berbeda. Tapi hidup lebih baik dijalani dengan spontan."
 

Tammie Ong saat bermain jetski di Bintan, Indonesia, pada 2019, sebelum ia jatuh sakit. (Foto: Dok. Tammie Ong)

Bagi sebagian orang, bucket list atau keinginan-keinginan sebelum tutup usia hanyalah deretan impian yang mungkin tercapai – jika ada waktu – dan mungkin juga tidak.

Namun bagi Tammie, konsep waktu memiliki arti yang berbeda.

Bucket list-nya, meski belum sepenuhnya terlaksana, sudah cukup banyak yang terwujud.

"Saya merasa sudah melakukan banyak hal yang saya inginkan," ujarnya tenang dengan nada puas. “Jika saya meninggal sekarang, saya sudah menjalani hidup saya dengan penuh."

Meski begitu, ia memang masih ingin bepergian lebih jauh, mencoba terjun payung, dan menulis buku.

Namun, peninggalan yang ingin ia wariskan bukan sekadar pencapaian pribadi, melainkan dampak positif.

"Saya ingin orang-orang tahu bahwa meskipun kita tidak bisa mengubah keadaan, kita bisa mengubah cara kita meresponsnya dan bagaimana kita memaknainya."

"Jika, bagaimanapun jalannya, kisah saya bisa membantu mereka melakukan itu – dan mendorong mereka menjalani hidup sepenuhnya – maka akan terus saya lakukan," pungkasnya. 
 

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: CNA/ps

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan