Meski selalu ditolak guru les, penyintas polio ini berhasil wujudkan mimpi jadi pianis di usia 62 tahun
Terhalang oleh keterbatasan fisik sedari kecil, Margaret See telah lama memimpikan menjadi seorang pianis sejak puluhan tahun lalu.
SINGAPURA: Meski kata 'tangguh' kembali menjamur saat pandemi COVID-19, saya masih belum bisa memahami maknanya lebih mendalam, sampai akhirnya saya bertemu dengan Margaret See.Â
Saat sesi latihan Rabu siang di pusat musik Stasiun MRT Stadium, saya menyaksikan Margaret memainkan keyboard dengan mahir bersama dengan rekan satu band-nya. Mereka memainkan sejumlah lagu medley, mulai dari lagu-lagu lawas China seperti Yue Liang Dai Biao Wo De Xin dari mendiang penyanyi Taiwan Teresa Teng, hingga lagu Indonesia berjudul Selalu Cinta.Â
Â
Didirikan pada tahun 2008, Faith Music Center menyediakan kursus musik untuk para pelajar dan penyandang disabilitas, bekerja sama dengan berbagai organisasi untuk memberi kesempatan kepada anggotanya untuk tampil.
Duduk di kursi rodanya, wanita berusia 67 tahun itu berayun-ayun mengikuti irama sembari jari-jemarinya menari-nari di atas keyboard, tanpa ada salah nada.Â
Bagi yang melihatnya, ia tampak seperti pemain keyboard berpengalaman yang sudah menghabiskan seumur hidupnya mengasah kepiawaiannya. Itu mengapa saya terkejut ketika mengetahui bahwa ia baru saja belajar alat musik itu lima tahun yang lalu.
Sebagai seseorang yang tidak punya latar belakang musik dan tidak pernah memainkan instrumen musik, saya sedikit bahagia ketika editor saya meminta Margaret untuk mengajarkan saya not keyboard.
Awalnya gembira berubah menjadi stres dengan cepat kala ia membimbing saya memainkan progresi sederhana dari kunci C, A, F ke G. Tuts hitam dan putih terlihat sama saja, sampai-sampai saya sulit mengingat not mana yang mana.
Â
"Jangan terburu-buru, tidak usah pusing. Jangan takut buat kesalahan," kata Margaret, mencoba meyakinkan saya. "Pelan-pelan, kamu coba dan kamu nanti bisa. Nanti ketika band mulai ikut main, baru kamu bisa dengar (lagunya) menyatu."Â
Saya mainkan dan tentu saja, lagu Teresa Teng berjudul Qia Si Ni De Wen Rou, lagu yang dipakai Margaret untuk membimbing saya dalam memainkannya, hidup sesaat setelah bass dan drum masuk.
Satu-satunya orang yang benar-benar memahami bagaimana rasanya bersabar menanti hasil adalah Margaret. Ia berhasil selamat dari pandemi polio yang melanda Singapura pada 1950-an.
Polio merupakan penyakit virus yang sangat menular, menyerang otak dan sumsum tulang belakang, sehingga menyebabkan kelumpuhan atau bahkan kematian. Penyakit ini banyak menjangkiti anak-anak di bawah usia lima tahun ketika itu. Semua anak-anak di Singapura harus mendapat vaksinasi polio berdasarkan Jadwal Imunisasi Anak Nasional Singapura saat ini.
Margaret menerima diagnosisnya ketika ia masih berusia satu tahun dan penyakitnya sudah merambat hingga kedua kakinya, membuatnya bergantung pada kaliper dan kursi roda untuk bergerak.Â
Seiring bertambah usianya, ia menerima begitu banyak cemoohan dan stigma, yang kerap kali mengasingkan mereka yang memiliki keterbatasan.
"Semasa itu, kami tidak diterima di (masyarakat) karena keterbatasan kami. Ketika saya pergi keluar, orang-orang menatap saya dari ujung kepala hingga ujung kaki, atau kedua kaki saya," kenangnya.Â
Mencari pekerjaan menjadi kendala lainnya. Perusahaan akan menolaknya segera setelah mereka melihat lamaran kerjanya, tercantum bahwa ia memiliki disabilitas.
Namun kesulitan demi kesulitan itu hanya membuatnya semakin tegar dan mendorong semangatnya untuk fokus bermain musik.
Pada tahun 2019, kolaborasi antara Asosiasi Penyandang Disabilitas (DPA) dan Faith Music Centre di Singapura memperkenalkan Margaret dengan Program Bimbingan Band di pusat musik tersebut.Â
Sejak itu, ia mulai bermain keyboard dan kemudian bergabung dengan band pentas, Parabeatz, di pusat itu. Band ini terdiri dari anggota yang mampu dan tidak mampu secara fisik.
Namun, tujuannya bukan hanya mampu menguasai alat musik, namun juga menyentuh hati banyak orang. Melalui pentasnya di panti jompo dan panti disabilitas, ia menemukan makna hidup yang lebih dalam ketika memberi sumbangsih kepada masyarakat.
Â
Sejak 2020, Margaret sudah tampil di sekitar 20 pertunjukan di berbagai acara dan bagian yang sangat ia gemari adalah bisa berinteraksi dengan penontonnya.Â
"Ketika kami tampil di panti jompo, beberapa penghuninya mendatangi kita dan berjabat tangan dengan kita, bahkan terkadang menangis. Ada satu orang yang memeluk saya.Â
"Karena mereka jarang mendapat pengunjung, saya merasa hal terbaik yang bisa saya lakukan adalah memberi mereka kebahagiaan. Jika musik bisa mewujudkannya, mengapa tidak?"
Musik memberi saya kenyamanan agar saya tidak mengasihani diri sendiri.
Ketika ia berusia tiga tahun, orang tua Margaret tidak bisa merawatnya karena tuntutan kerja. Sehingga, ia ditempatkan di Rumah Palang Merah untuk Penyandang Disabilitas (RCHD). Ia tinggal di sana sampai ia menginjak usia 11 tahun.Â
Ia mendapat fisioterapi dan pendidikan dasar di rumah itu dan ia kemudian mengikuti sekolah dasar.Â
Hidup di lingkungan sekolah umum, ia seringkali tidak diikutkan dari kegiatan fisik karena pergerakannya terbatas, dan pelajaran musik pun hanya melukai hatinya saja. Ia sangat ingin sekali belajar bermain piano, tapi ia berulang kali diberitahu bahwa hal itu tidak mungkin baginya.
"Saya melihat anak-anak menikmati olahraga seperti bowling, tapi saya tidak bisa ikut main.Â
"Selama pelajaran musik, saya lihat teman saya bermain alat musik dengan band sekolah. Saya ingin bermain piano, tapi saya dibilang tidak bisa karena saya butuh kaki untuk menginjak pedalnya. Ada saat-saat ketika saya bertanya pada diri sendiri, "Mengapa harus saya?"
Untuk menghibur diri, ia cukup mendengarkan radio yang biasanya memutar musik klasik.
"Musik memberi saya kenyamanan agar saya tidak iba dengan diri sendiri."
Â
Bahkan ketika beranjak dewasa, keinginan Margaret untuk bermain piano tidak kunjung padam. Ia terus mencari kesempatan untuk belajar, mengunjungi berbagai sekolah musik dengan harapan bisa menemukan sekolah yang cocok untuk orang sepertinya.Â
Untuk kesekian kalinya, gurunya mengatakan bahwa ia tidak akan bisa belajar bermain piano tanpa menggunakan kakinya untuk menginjak pedal. Kejadian ini terus berlanjut selama puluhan tahun, dari usia 20an hingga 60an.
Ketika kesempatan untuk belajar bermain keyboard datang kepadanya pada tahun 2019, Margaret langsung cekat mengambilnya.
Lalu, ketika COVID-19 melanda dan kelas terpaksa berlangsung secara daring melalui Zoom, ia tidak bisa menggunakan keyboard dan berinisiatif melatih permainan jarinya pada kertas bergambar tuts piano di rumahnya.
"Kesempatan untuk belajar bermain keyboard kebetulan datang ketika saya berusia 60-an. Meskipun kini saya menginjak usia 70 tahun, saya memutuskan untuk mengambil setiap kesempatan belajar sebanyak mungkin."
Ketika ia mulai rutin membawakan musik di panti jompo dan disabilitas, Margaret mengatakan bahwa momen itu mengingatkannya akan kenangan-kenangan masa lalu.
"(Momen) itu mengingatkan saya ketika saya masih kecil di Rumah Palang Merah. Di sana, orang tua saya, yang harus mencari nafkah, mengunjungi saya sekali setahun.Â
"Ketika melihat wajah-wajah (penghuni panti jompo) yang ceria, saya turut merasa senang," imbuhnya.
Â
Selain bermain musik untuk penghuni panti jompo, Â Margaret mencetus penggalangan donasi pakaian pada Juli tahun ini untuk penghuni Mindsville@Napiri, setelah melihat kondisi baju mereka ketika pentas di sana.
Mindsville@Napiri adalah wisma yang dikelola oleh Movement for the Intellectually Disabled of Singapore, menyediakan perawatan dan akomodasi untuk anak-anak (berusia enam tahun ke atas) dan orang dewasa yang memiliki disabilitas intelektual dan perkembangan.
"Beberapa warga mengenakan baju yang ukuran dan potongannya tidak sesuai badan dan beberapa bajunya ada yang robek.
"Jadi, saya memutuskan untuk memulai penggalangan donasi dan kami berhasil mengumpulkan 33 kotak baju untuk mereka pakai," ujarnya.Â
Secara keseluruhan, pengumpulan dan pembagian baju memakan waktu hingga seminggu sebelum akhirnya diserahkan.
Saya sangat terkesima dengan komitmen Margaret dalam membantu orang lain meskipun ia sendiri dijauhi oleh masyarakat semasa kecil. Saya ingin tahu apakah ia merasa bahwa hidup membuatnya menderita dan bagaimana ia bisa bertahan agar tidak putus asa dan mengalah.Â
"Hidup ada saja tantangannya, tapi pengalaman-pengalaman yang kita hadapi membuat kita lebih tegar.Â
"Kalau kamu punya niat, kamu bisa melawan rintangan satu per satu, sesulit apapun itu. Tergantung seberapa besar keinginan kamu, dan tentunya, kalau kamu mau bekerja keras untuk mewujudkannya," ujarnya.
Saya betul-betul merasa kagum akan ketangguhan dan kepeduliannya. Mampu berdiri di tengah kesulitan dan mengabdikan dirinya untuk melayani orang lain benar-benar menginspirasi.Â
Usai saya meninggalkan sesi latihan itu, saya tidak hanya mengerti kunci nada, namun juga sadar bahwa memberi bisa menjadi healing, baik bagi yang menerima dan memberinya.
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. ​​​​​