Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Lifestyle

'Geng anak baik': Tak Takut Kids Club jadi ruang aman anak-anak terlantar di Singapura

Shiyun Lin mendirikan Tak Takut Kids Club di bawah organisasi seni 3Pumpkins agar anak-anak dari keluarga prasejahtera dan situasi rentan memiliki ruang aman. Klub ini mencakup sanggar seni, dapur bersama, dan taman yang dikelola langsung oleh anak-anak.

'Geng anak baik': Tak Takut Kids Club jadi ruang aman anak-anak terlantar di Singapura

Shiyun Lin merupakan pendiri 3Pumpkins, program seni komunitas, dan Tak Takut Kids Club, ruang aman dan tempat bercengkerama anak-anak yang datang dari keluarga prasejahtera. (Foto: CNA/Izza Haziqah)

SINGAPURA: Memasuki sore di Boon Lay, orang-orang terlihat bergegas pulang usai bekerja seharian, atau bertemu dengan teman-teman. 

Banyak dari mereka berlalu lalang melewati deretan ruko di lantai dasar blok apartemen HDB, tanpa merasakan ada yang beda. 

Padahal, di balik pintu-pintu itu, ada segenap aktivitas yang sedang berlangsung.

Satu ruko itu memuat sanggar seni, tempat anak-anak tengah bersiap menampilkan teater yang akan berlangsung di taman bermain. 

Tak jauh dari ruko itu, anak-anak yang kerap tidak mendapat makanan di rumahnya sibuk membuat sandwich di dapur bersama untuk makan malam mereka. 

Hanya berjarak beberapa langkah saja, maka akan terlihat beberapa anak sedang berkebun bersama, merawat daun kari, kacang panjang dan pepaya. 

Semua area ini adalah milik Tak Takut Kids Club (TTKC), proyek yang dikelola oleh 3Pumpkins, sebuah organisasi seni nirlaba. 

Klub ini menawarkan ruang aman bagi anak-anak dari keluarga prasejahtera dan situasi rentan. 

Di sana, mereka bermain dan tumbuh secara holistik, mengikuti berbagai program tumbuh kembang.
 
Shiyun Lin, pendiri 3Pumpkins yang berusia 42 tahun, terlihat membantu anak-anak memilih kostum dan mengecat properti yang dibutuhkan untuk pertunjukan di sanggar seni. 

"Ini ruang untuk anak-anak," kata Lin. 

"Komunitas tempat anak-anak berkumpul, mempelajari nilai-nilai penting, tumbuh besar bersama dengan anak-anak lain, lalu menularkan nilai-nilai ini kepada anak-anak yang lebih muda," ungkapnya kepada CNA. 

'CUMA ADA ANAK-ANAK'

Lin selalu antusias dengan anak-anak. Perempuan Singapura ini punya latar belakang seni dan pernah menjadi produser seni selama 14 tahun, berkarya di bidang teater dan seni pertunjukan untuk anak-anak muda.

Taman bermain dekat Tak Takut Kids Club di Boon Lay. (Foto: CNA/Izza Haziqah)

"Di pikiran saya cuma ada anak-anak," ucapnya. 

"Saya sempat mengerjakan proyek bersama anak-anak masyarakat adat Kepulauan Riau. Saya berusaha agar mereka bisa melihat seni tradisional mereka dipertunjukkan oleh mereka untuk mereka. Dengan begini, mereka bisa menumbuhkan jiwa dan identitas yang lebih kuat," ujarnya. 

Pada 2016, beberapa tahun setelah berhenti menjadi produser seni, Lin bertekad untuk membantu anak-anak kurang mampu di Singapura. 

"Saya merasa terpanggil," ujar Lin. 

"Saya ingin cari tahu lebih banyak tentang anak-anak yang tinggal di apartemen sewa dekat rumah saya dan lingkungan sekitar. Jadi, selama beberapa pekan, saya hanya melihat-lihat dan berinteraksi dengan mereka di taman bermain dekat blok HDB," ungkapnya. 

Selama tiga tahun, Lin berbincang-bincang dengan beberapa ibu tunggal di Boon Lay, seperti Toa Payoh dan Lengkok Bahru, untuk berkenalan dengan keluarga-keluarga di sana. 

Ia kerap membawa putranya, yang saat itu masih berusia tiga tahun, pada masa-masa awal pendirian Tak Takut Kids Club. 

Anak-anak bermain dengan cat di Toa Payoh Lorong 1 di tahun 2016. (Foto: Shiyun Lin)

Saat itu, Lin mendapati bahwa ada tiga kelompok anak yang butuh ruang aman. 

Anak-anak yang tinggal di apartemen sewa itu terlantar, baik karena orang tuanya dipenjara, sibuk bekerja, atau terlibat kasus narkoba. 

Ada pula anak-anak yang memiliki masalah kesehatan mental, seperti kecanduan digital, atau mengalami isolasi dan kecemasan sosial. 

"Mereka ini anak-anak yang takut sekali tinggal di rumah karena khawatir nanti dipukuli, tapi mereka juga takut pergi ke sekolah karena guru-gurunya nanti akan memarahi mereka karena tidak mengerjakan tugas sekolah," terang Lin. 

"Jadi ke mana mereka harus berlindung dan bernaung? Ke jalanan," ucapnya. 

"Dan kalau di jalanan, tidak ada 'geng anak baik', anak-anak itu akan berteman dengan anak-anak yang lebih tua, yang punya latar belakang serupa, sehingga siklus buruk semacam ini pun kembali berulang." 

Lin ingin mengubah itu. Ia pun membentuk "geng anak baik" sendiri. 

Lin tengah mengadakan game interaktif dengan tali, untuk anak-anak di Lengkok Bahru, di tahun 2019. (Foto: Shiyun Lin)

Bersama dengan teman-temannya yang punya visi serupa, Lin memulai kegiatan dasar dengan anak-anak tersebut. 

Ia mengajak mereka bermain peran, bermain secara berkelompok dan terstruktur, dan berpartisipasi dalam pertunjukan boneka dan teater – semua dilakukan di taman bermain dekat rumah mereka. 

"Anak-anak biasanya berkumpul di sana, tak mau di rumah ataupun sekolah, jadi saya main saja dengan mereka-mereka," ujarnya.

Beragam aktivitas ad-hoc terus dilakukan selama sekitar satu tahun hingga Shiyun Lin mulai melihat dampak positifnya.

"Sebuah komunitas tempat anak-anak berkumpul, belajar nilai-nilai penting, tumbuh bersama anak-anak lainnya, lalu menularkan nilai-nilai ini kepada adik-adiknya."

"Semua kegiatan dilakukan di taman bermain, dan perlahan anak-anak mulai kembali datang," jelasnya. 

"Daripada bolos sekolah tanpa alasan dan berkumpul di tempat berbahaya bersama anak-anak yang lebih tua, mereka menemukan komunitas di taman bermain. Di sana mereka bisa bermain, membawa tugas sekolah untuk belajar, bahkan mengajak anak-anak lain bergabung," ungkapnya. 

Sejak 2019, Lin ingin melakukan sesuatu yang lebih besar. 

Ia menyadari pentingnya memiliki ruang khusus serta organisasi untuk menjalankan lebih banyak program.

Lin mendapatkan inspirasi dari sebuah film pendek animasi Tiongkok yang rilis akhir tahun 70-an tentang tiga biksu yang belajar bekerja sama. 

Ditambah dengan "obsesi" anaknya terhadap labu, ia menamai organisasinya 3Pumpkins.

TAK TAKUT KIDS CLUB: RUANG RAMAH ANAK 

Ruang pertama 3Pumpkins menumpang pada toko buah di Lengkok Bahru yang disewa Lin selama dua bulan. 

Ia pun mulai membina anak-anak yang sudah dikenalnya itu. 
 

Anak-anak bermain game di luar studio seni TTKC dan jika mereka membutuhkan layar, mereka memasang proyektor darurat di luar. (Foto: 3Pumpkins)

Di sana, Lin menyadari bahwa bukan hanya anak-anak "langganan" yang datang, tetapi juga keluarga mereka dan warga lain yang tertarik.

"Saya belajar bahwa ruang fisik khusus untuk anak-anak selalu bisa menarik orang lain, baik itu lansia atau orang dewasa lainnya," ungkapnya.

"Anak-anak memiliki daya tarik magnetis. Ketika kita memberikan ruang bagi mereka untuk menggali potensi diri, kita juga membangun komunitas yang peduli dan ramah terhadap anak."

Setelah masa sewa berakhir, Lin dan teman-temannya kembali menemui anak-anak di taman bermain setiap dua minggu sekali. 

Di saat yang sama, ia menyewa setengah ruang dari sebuah tempat laundry dekat tempat tinggalnya di Boon Lay, dan menamainya Tak Takut Kids Club (TTKC).

Studio seni TTKC adalah tempat menampung banyak karya kreatif yang penuh warna. (Foto: 3Pumpkins)

"'Tak takut' berarti berani, diambil dari Bahasa Melayu, dan itu tepat sekali – saya ingin anak-anak menjadi pemberani, tidak takut," jelas Lin.

PENTINGNYA SENI UNTUK SEMUA

Dengan latar belakangnya, Lin memperkenalkan teater, seni boneka, getai (pertunjukan langsung yang biasa diadakan selama Festival Hungry Ghost), serta seni pertunjukan lainnya kepada anak-anak.

Festival Hungry Ghost merupakan festival tradisional Tiongkok yang berlangsung pada bulan ke-7, atau Bulan Hantu, dan biasa dirayakan di Singapura. 

"Saya tidak ingin seni hanya untuk anak-anak dari kelas atas. Saya tidak ingin anak-anak harus pergi ke pusat kota untuk merasakan teater," ungkapnya. 

"Seni harus dapat diakses oleh semua anak," tegasnya. 

PENGARUH PANDEMI DAN DUKUNGAN PEMERINTAH

Beberapa bulan kemudian, pandemi melanda. Banyak anak-anak dari keluarga rentan tidak dapat mengikuti aktivitas di ruang aman ini. 

"Meskipun sedang pandemi, saya jadi punya lebih banyak waktu tatap muka dengan pemerintah, seperti MCCY (Kementerian Kebudayaan, Komunitas, dan Pemuda Singapura) dan MSF (Kementerian Pembangunan Sosial dan Keluarga Singapura),” ujar Lin.

"Saya meyakinkan mereka bahwa ruang fisik sangat penting untuk perkembangan anak-anak, sehingga saya mendapatkan dua unit di Boon Lay yang sepenuhnya untuk TTKC – dan kami bisa melanjutkan program-program dengan aman," ungkapnya. 

Jurnal TTKC adalah buletin bulanan yang memfasilitasi anak-anak untuk mengasah kemampuan menulis dan jurnalistik mereka. (Foto: CNA/Izza Haziqah)

Dengan bantuan donasi, penggalangan dana proyek, dan dana pendukung dari pemerintah, TTKC kini menjadi tempat beragam aktivitas bagi lebih dari 200 anak di studio seni, dapur komunitas, dan taman komunitas.

"Ini ruang mereka," ungkap Lin. "Mereka yang merawat dan menciptakan ide-idenya – orang dewasa hanya ada untuk mendukung mereka, memastikan mereka merasa dihargai, didengar, dan aman."

MENDUKUNG ANAK DENGAN BERBAGAI KEBUTUHAN

Kini, 3Pumpkins memiliki 12 staf penuh waktu, termasuk Lin, serta dibantu oleh puluhan relawan. 

TTKC buka dari pukul 16.00 hingga 20.00 pada hari kerja, dan pukul 14.00 hingga 18.00 pada akhir pekan. 

Namun, beberapa staf sering tinggal lebih lama untuk anak-anak yang membutuhkan ruang di luar jam tersebut.

Pekerja sosial juga hadir untuk membantu anak-anak dengan kebutuhan yang lebih kompleks.

Ke depannya, Lin berencana memperluas ruang TTKC ke Lengkok Bahru dan Toa Payoh, tempat perjalanan ruang aman ini dimulai.

"Ini adalah ruang mereka, mereka yang merawat dan menciptakan ide-idenya – orang dewasa hanya ada untuk mendukung mereka, memastikan mereka merasa dihargai, didengar, dan aman."

TTKC memungkinkan anak-anak dari situasi rentan melakukan kegiatan bermakna yang menanamkan rasa tanggung jawab, rutinitas, dan kedekatan dalam komunitas yang sehat.

"TTKC tidak bekerja sendiri. Kami bekerja sama dengan organisasi lain untuk menciptakan ekosistem yang aman bagi anak-anak," tambah Lin.

Lin bekerja sama dengan program yang sudah ada di Singapura, seperti Pusat Layanan Keluarga atau pekerja sosial, yang "semuanya melakukan pekerjaan luar biasa."

Namun, Lin mengungkapkan ada banyak anak lain yang tidak terjaring dalam program ini "dan akhirnya tersesat."

"TTKC bertujuan mengisi celah itu – kami ingin menjadi tempat yang bisa ditemukan, dipercaya, dan menjadi ruang bermain" bagi mereka. 

Lin pun menuturkan bahwa jika anak-anak tersebut "membutuhkan bantuan lebih untuk kebutuhan yang kompleks, kami dapat merujuk" ke program pemerintah atau pekerja sosial lainnya. 

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. ​​​​​

Source: CNA/ps

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan