China melawan tarif Trump: Mengapa Beijing kini lebih siap memutus hubungan dagang dengan AS?
Berbeda dengan negara lainnya, China bereaksi keras atas tarif Trump dengan menerapkan tarif dagang yang tak kalah besarnya. Menurut pengamat, China kini sudah lebih siap melakukan perang dagang ketimbang sebelumnya.

Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping pada KTT G20 di Osaka, Jepang, pada tahun 2019. (Foto file: Reuters/Kevin Lamarque)
SINGAPURA: China mengganjar tarif total 84 persen terhadap produk-produk AS, hanya selang beberapa jam setelah tarif dagang besar yang diterapkan Presiden Donald Trump berlaku. Menurut para pengamat, kali ini China bereaksi lebih keras dan lebih siap menghadapi perang dagang dengan Trump ketimbang sebelumnya.
Pengamat juga mengatakan, tarif China yang diumumkan pada Rabu (9/4) dan berlaku resmi Kamis (10/4) itu adalah bukti bahwa Beijing tidak lagi takut kehilangan akses ekspor dan Impor ke AS.
Dalam pernyataannya, Komisi Tarif Dewan Negara China mengatakan bahwa tarif yang diberlakukan Trump adalah pelanggaran serius atas hak-hak dan kepentingan mereka, serta merusak sistem perdagangan multilateral.
Selain China, Trump juga menerapkan tarif tinggi untuk beberapa negara lainnya, termasuk Indonesia yang dipatok 32 persen. Namun pekan ini Trump menyatakan menangguhkan sementara beberapa tarif selama 90 hari, tapi tidak dengan China.
Trump malah meningkatkan tarif untuk China - importir terbesar kedua untuk AS - dari yang sebelumnya 104 persen menjadi 125 persen.
Pemerintah Beijing bertekad "melawan hingga titik darah penghabisan" terhadap tarif dagang AS untuk produk China. Para pengamat mengatakan, langkah ini menunjukkan bahwa China sudah lebih siap menghadapi perang dagang dengan AS dibandingkan tahun 2018 lalu, periode pertama pemerintahan Trump.
Pengamat mengatakan, tarif tersebut tidak lagi membuat China takut karena Beijing selama beberapa tahun terakhir telah mendiversifikasi perdagangan mereka, melakukan perencanaan strategis dan membangun kekuatan politik.
"Anggap saja Trump 1.0 (perang dagang pertama) adalah sebuah kejutan dan China tidak siap. Kini Trump 2.0, China telah mempersiapkannya selama delapan tahun," katat Guo Shan, peneliti di lembaga Hutong Research, China.
"(China) jelas lebih siap saat ini untuk melancarkan pembalasan di semua lini, dan meningkatkan perekonomian domestik untuk memitigasi risiko dari luar."
Pada 2 April lalu, Trump menerapkan tarif tambahan 34 persen terhadap China, menjadikannya total 50 persen. Selang dua hari kemudian, pemerintah Beijing melakukan pembalasan dengan mematok besaran tarif yang sama terhadap AS.
Langkah China ini membuat Trump meradang, dan kembali menambah 50 persen tarif untuk China, menjadikannya total 104 persen. China juga membalas dengan tarif 50 persen untuk produk-produk AS, menjadikannya total 84 persen, dan berlaku 10 April.
Kemudian, China memasukkan 11 entitas asal AS dalam daftar "entitas tidak dapat dipercaya", sebagai bentuk kendali ekspor logam tanah jarang. China juga membuka penyelidikan anti-dumping terhadap impor tabung sinar-X CT medis yang berasal dari AS dan India.
Berbeda dengan China, wilayah dan negara lain seperti Indonesia, Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan yang juga dihajar tarif justru memilih jalur negosiasi dengan AS.
Pengamat mengatakan, respons China kali ini berbeda perang dagang sebelumnya pada 2018 dan 2020 ketika Trump memimpin di periode pertama.
Saat itu, kata pengamat, China berupaya meredam ketegangan dengan tidak menjatuhkan tarif dagang untuk beberapa barang-barang dari AS seperti iPhone dan pesawat Boeing.
Namun kali ini, pengamat mengatakan reaksi keras China bukan hanya bentuk perubahan taktik, tapi juga simbolik.
"China mengubah taktiknya karena upaya mereka sebelumnya yang menahan diri malah justru membuat Trump semakin menjadi," kata Xi Tianchen, ekonom senior untuk urusan China di lembaga Economist Intelligence Unit.
"Kini China bertindak lebih agresif, kemungkinan untuk memaksa Trump kembali ke meja perundingan," kata Xu.
Namun menurut ekonom senior Xu Jianwei dari perusahaan jasa keuangan Natixis, ruang untuk negosiasi sudah sangat kecil karena pemerintah Beijing menyadari bahwa tarif Trump ke berbagai negara sejatinya untuk mengincar China.
Terlebih lagi, kata Xu, pemerintah China merasa perundingan dengan AS tidak membuahkan hasil berarti, kesabaran mereka juga sudah mulai habis.
"(China) telah mempersiapkan diri untuk memutus hubungan lebih lanjut dengan AS," kata Xu, menambahkan bahwa pemutusan hubungan nantinya tidak cuma perdagangan, tetapi juga di bidang teknologi, keuangan, dan bahkan pertukaran budaya.
"Di bawah fragmentasi strategis dan ekonomi ini, saya pikir China dan AS sedang bersiap-siap menghadapi paradigma Perang Dingin di masa depan," katanya.
MENGAPA SAAT INI CHINA LEBIH SIAP?
Berbagai data menunjukkan bahwa China siap memutus hubungan dagang dengan AS karena sejak perang dagang 2018, China telah mendiversifikasi pasar ekspor dan impor mereka.
Data Hutong Research menunjukkan bahwa AS saat ini hanya mencakup 15 persen dari ekspor China, atau 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) China.
Sementara itu, data Hutong menunjukkan banyak impor dari AS yang bisa digantikan oleh negara lain, misalnya minyak dari Timur Tengah, gas dari Australia, mesin dari Eropa dan pangan dari Amerika Latin.
"China masih sangat bergantung pada AS untuk pengadaan semikonduktor. Tapi pembatasan yang berlaku saat ini sudah memaksa perusahaan-perusahaan China untuk mengupayakan pengadaan secara mandiri," tulis Hutong.
Lye Liang Fook, seorang senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapura, mengatakan China juga pastinya berharap langkah tegas mereka bisa ditiru oleh negara-negara lain yang dikenakan tarif oleh Trump.
"Tetapi sepertinya negara-negara lain tidak akan langsung melakukan pembalasan atau memilih bernegosiasi lebih dulu dengan Amerika sembari mempertimbangkan aksi pembalasan," kata dia.

Selain melancarkan tarif balasan, China juga mengajukan gugatan terhadap tarif dagang AS ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada Rabu pekan ini.
Juru bicara Kementerian Perdagangan China mengatakan tarif tambahan oleh AS sebesar 50 persen adalah "kesalahan di atas kesalahan" dan menyebut tindakan Trump itu sebagai "perundungan",
Zhang Zhiwei, presiden dan kepala ekonom di Pinpoint Asset Management, mengatakan bahwa berbagai langkah ini membuat China berhasil mengirimkan sinyal yang jelas bahwa mereka tegas mempertahankan pendirian soal kebijakan perdagangan.
APA LANGKAH CHINA BERIKUTNYA?
Xu dari Economist Intelligence Unit memperkirakan China juga akan memperluas kendali ekspor ke mineral-mineral yang lebih penting dari AS.
"China akan segera menutup kran impor produk pertanian dari AS - seperti kedelai, sorgum, dan jagung. Namun menurut saya, kedua belah pihak akan kembali ke meja perundingan nanti, karena kerugiannya akan terlalu besar untuk diserap oleh ekonomi global - dan kedua negara," katanya.
China juga bisa mengincar pelarangan masuk untuk sektor-sektor jasa AS atau memboikot film-film Hollywood.
Hutong Research dalam catatan mereka 7 April lalu meyakini bahwa kemungkinan kedua negara melakukan resolusi dengan kesepakatan nilai tukar mata uang, ketimbang di bidang investasi atau perdagangan.
Pasalnya, Hutong menuliskan, China sudah "tidak berselera lagi dengan kesepakatan dagang tradisional" AS, mengingat impor China dari AS hanya sepertiga dari ekspor mereka ke AS.
AS juga disebut enggan membuat kesepakatan dagang dengan China, mengingat agenda Gedung Putih Trump adalah "America First".

Secara politik di AS, kesepakatan nilai tukar mata uang juga lebih mudah karena tidak membutuhkan persetujuan Kongres dan didukung oleh Kementerian Keuangan serta bank sentral The Fed, terutama jika China sepakat membeli obligasi pemerintah AS seperti yang mereka lakukan usai krisis keuangan global 2008. Ini bisa membantu menstabilkan pasar dan menurunkan tingkat suku bunga, ujar Hutong.
Beberapa pengamat juga meyakini China akan menjadikan kisruh tarif ini sebagai peluang mempererat hubungan dengan negara lain yang juga merugi karena Trump.
"Di saat Trump meningkatkan tarif banyak negara, China harus bertindak cepat dengan menurunkan tarif dan menghilangkan pembatasan lainnya dengan negara-negara mitra dagang besar, seperti Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan dan Australia," kata mantan pemimpin redaksi South China Morning Post Wang Xiangwei dalam tulisan opininya di media tersebut.
Hal inilah yang terlihat tengah dilakukan oleh China. Dalam pidato pertamanya sejak perang dagang dengan AS pecah, Presiden China Xi Jinping menyatakan komitmen mempererat hubungan strategis.
Pada 15 hingga 17 April mendatang, Xi akan menyambangi Malaysia. Dia juga dijadwalkan ke Vietnam ke Kamboja.
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.