Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Lifestyle

Imbas tarif Trump, harga iPhone 16 Pro Max bisa meroket hingga tembus Rp38 juta

Bahkan iPhone 16e, yang awalnya merupakan iPhone terbaru dengan harga yang paling terjangkau, diperkirakan dibanderol melampaui harga awal iPhone 16 akibat lonjakan tarif AS terhadap negara-negara rantai produksi Apple seperti China, India, Vietnam, dan Malaysia.

Imbas tarif Trump, harga iPhone 16 Pro Max bisa meroket hingga tembus Rp38 juta

Ponsel iPhone Apple yang dipajang di Apple Store di Grand Central Terminal di New York City, AS, pada 16 Oktober 2024. (REUTERS/Kent J. Edwards / File Photo)

08 Apr 2025 10:08AM (Diperbarui: 08 Apr 2025 03:04PM)

Apple tengah menghadapi tekanan besar setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberlakukan tarif impor tinggi terhadap lebih dari 180 negara, termasuk negara-negara kunci dalam rantai produksi Apple seperti China, India, Vietnam, dan Malaysia. 

Langkah ini berpotensi menaikkan harga jual produk Apple secara signifikan, khususnya iPhone, di berbagai pasar dunia, termasuk Indonesia.

Kebijakan tarif Trump ini, yang merupakan perintah eksekutif dari Presiden AS, menetapkan pungutan pajak dengan persentase tertentu terhadap nilai barang-barang impor dari luar negeri ke Amerika. 

China, sebagai contoh, kini dikenakan tarif total hingga 54 persen setelah adanya tambahan 34 persen sejak Januari lalu.

Negara lain juga terdampak, seperti Korea Selatan (25%), Jepang (24%), Indonesia (32%), Vietnam (46%), India (26%), Malaysia (25%), dan Thailand (36%).

Bagi Apple, yang sebagian besar produksinya masih terkonsentrasi di Asia, kebijakan ini menjadi pukulan telak. Sekitar 80 persen kapasitas produksi Apple masih berasal dari China, termasuk 90 persen lini iPhone dan lebih dari setengah produk Mac. 

Sementara India menyumbang 10 hingga 15 persen produksi iPhone dan ditargetkan mencapai 25 persen pada akhir 2025. 

Produksi AirPods dilakukan di Vietnam, sementara desktop Mac dirakit di Malaysia.

"Ketika kita melihat tarif ke negara-negara seperti Vietnam, India, dan Thailand, tempat Apple mendiversifikasi rantai pasokannya, tidak ada tempat melarikan diri," ujar analis Morgan Stanley, Erik Woodring, dikutip dari CNBC. 

Imbas dari kebijakan ini langsung terasa di pasar saham. Nilai saham Apple merosot lebih dari 9 persen pada Kamis (3/4), menghapus kapitalisasi pasar sebesar US$300 miliar — penurunan harian terburuk sejak Maret 2020.

Dengan beban tarif yang tinggi, biaya produksi iPhone pun diprediksi akan melonjak. Analis TechInsights, Wayne Lam, memperkirakan bahwa ongkos produksi iPhone 16 Pro (256GB) bisa naik hingga 54 persen, dari semula sekitar US$550 menjadi US$820.

Rosenblatt Securities memproyeksikan bahwa jika beban tarif ini dibebankan ke konsumen, maka harga iPhone 16 versi standar bisa naik dari US$799 (sekitar Rp13,2 juta) menjadi sekitar US$1.500 (Rp25,9 juta). 

Sedangkan model tertinggi, iPhone 16 Pro Max 1TB, yang semula dijual US$1.599 (Rp27,6 juta), diperkirakan akan menembus angka US$ 2.300 atau sekitar Rp38 juta.

Harga iPhone yang lebih terjangkau pun tidak luput dari kenaikan. Perangkat iPhone 16e, yang baru dirilis Februari lalu dengan harga US$599 (Rp9,9 juta), kemungkinan akan naik menjadi US$856 (Rp14,1 juta) — lebih mahal dari harga awal iPhone 16.

"Dalam lingkungan seperti ini, kita harus memikirkan skenario terburuk," ujar Erik Woodring.

Analis Wedbush, Dan Ives, menyebut langkah ini sangat berisiko. "Ini strategi berisiko, terutama ketika konsumen sedang lelah dengan inflasi dan tekanan harga," katanya.

Rencana Apple untuk mengalihkan sebagian produksi ke India dan Vietnam, yang awalnya dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan pada China, kini menjadi bumerang karena kedua negara itu juga terdampak tarif tinggi.

Apple pun dihadapkan pada dua pilihan sulit: menanggung beban tarif secara internal, atau meneruskannya ke konsumen, yang bisa memukul daya beli dan menggerus penjualan. 

Terlebih lagi, penjualan iPhone memang sudah menunjukkan penurunan. Salah satu penyebabnya adalah fitur kecerdasan buatan Apple Intelligence yang tidak cukup menarik minat konsumen untuk beralih ke model terbaru.

Pemerintah AS mendorong Apple untuk memproduksi perangkatnya di dalam negeri. Presiden Trump menyebut bahwa kebijakan tarif ini bertujuan mendorong manufaktur kembali ke AS, dengan menyatakan Apple "akan membangun pabrik di sini."

Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick, juga menyarankan agar Apple memindahkan manufaktur iPhone ke AS.

Namun, menurut analis senior Counterpoint Research, Gerrit Schneemann, hal itu sangat tidak realistis dalam waktu dekat.

Membangun pabrik, membentuk rantai pasok baru, dan merekrut tenaga kerja lokal akan memakan waktu, biaya, dan energi besar — bahkan mungkin lebih mahal dibanding beban tarif saat ini.

"Menurut perkiraan kami, akan dibutuhkan waktu tiga tahun dan dana US$30 miliar hanya untuk memindahkan 10% dari rantai pasokannya ke AS, itu pun dengan gangguan besar," ujar Dan Ives, dikutip dari The Verge. 

Apple sebenarnya sudah menanamkan investasi sebesar US$500 miliar di AS, namun sebagian besar masih berupa pembelian komponen dari pemasok lokal, bukan fasilitas produksi. 

Satu-satunya produk Apple yang dirakit di AS saat ini adalah Mac Pro di Texas.

Dengan tidak adanya pengecualian tarif terhadap Apple sebagaimana sempat diberlakukan pada periode pertama pemerintahan Trump, maka kenaikan harga iPhone dan produk Apple lainnya tampaknya tinggal menunggu waktu.

Source: Others/ps

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan