Skip to main content
Iklan

Asia

'Kembali ke titik nol': Perbatasan Thailand–Kamboja kembali memanas, ujian berat bagi PM baru

Bangkitnya nasionalisme dan sejumlah gesekan lokal menambah kerawanan di perbatasan, menjadi ujian bagi perdana menteri baru Thailand. Namun pengamat menilai ketegangan itu tidak akan berkembang menjadi konflik besar, setidaknya hingga KTT ASEAN bulan depan.

'Kembali ke titik nol': Perbatasan Thailand–Kamboja kembali memanas, ujian berat bagi PM baru

Papan peringatan yang dipasang personel militer Thailand di dekat Chong Chub Ta Mok, perbatasan Thailand–Kamboja, tempat ranjau ditemukan. (Foto: Reuters/Chalinee Thirasupa)

BANGKOK: Pengerahan pasukan huru-hara, insiden saling tembak di perbatasan, tuduhan pelanggaran wilayah, hingga komentar panas dari para pemimpin kedua negara.

Berbagai peristiwa dan perang kata-kata antara Thailand dan Kamboja itu masih terjadi selang beberapa pekan sebelum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-47 di Malaysia, memicu pertanyaan soal keberlangsungan gencatan senjata kedua negara.   

Kendati demikian, para pengamat meyakini bahwa gencatan senjata yang tercapai di Kuala Lumpur berkat mediasi Perdana Menteri Malaysia dan ASEAN pada 28 Juli itu masih akan bertahan. Alasannya kata mereka, aksi kedua negara lebih dipicu oleh dinamika politik dalam negeri ketimbang konfrontasi militer langsung.

Dulyapak Preecharush, lektor kepala Studi Asia di Universitas Thammasat, Bangkok, mengatakan ketegangan terbaru dan aksi protes sepanjang perbatasan adalah bentuk keresahan warga dan bangkitnya kembali isu nasionalisme.

"Dari sisi keamanan, peristiwa ini tidak dipandang cukup serius untuk bisa berkembang menjadi kekerasan besar," kata dia.

"Kebanyakan aksi itu bersifat simbolis dan lebih terkait dengan politik dalam negeri ketimbang konfrontasi militer langsung antara kedua negara."

Seorang tentara Thailand berjaga di perbatasan Chong Chom, Provinsi Surin, salah satu pintu utama menuju Kamboja. (Foto: CNA/Jack Board)

UJIAN TERBERAT MENANTI

Pada Juli lalu, militer Kamboja dan Thailand terlibat bentrokan militer terparah dalam beberapa tahun terakhir di perbatasan. Insiden itu berlangsung selama lima hari, menewaskan puluhan orang dan membuat sekitar 300.000 warga mengungsi.

Selama lebih dari seabad, Thailand dan Kamboja bersengketa soal beberapa titik di perbatasan yang belum ditetapkan sepenuhnya. Dalam beberapa tahun terakhir, sengketa ini memicu beberapa kali ketegangan.

Saat ini, pos perbatasan masih ditutup, perdagangan terhambat, sementara ratusan ribu pekerja migran Kamboja terpaksa kembali ke tanah air, menyebabkan industri penting di Thailand kekurangan pekerja.

Setelah sempat mereda, ketegangan kembali terjadi belakangan ini.

Pada Kamis pekan lalu (25/9), menteri luar negeri baru Thailand Sihasak Phuangketkeow menyerukan kedua pihak untuk mengurangi kehadiran militer di perbatasan demi menurunkan ketegangan.

Pernyataan Sihasak disampaikan setelah Thailand pada awal pekan lalu mengerahkan tambahan 1.400 polisi dari lima provinsi di timur ke Provinsi Sa Kaeo untuk menjaga keamanan di perbatasan.

Langkah ini diambil Sihasak setelah pada 17 September warga sipil Kamboja dilaporkan menghalangi operasi tentara Thailand di perbatasan sengketa dan merusak properti. Aksi warga itu dibalas tentara dengan tembakan gas air mata serta peluru karet.

Di hari yang sama, Perdana Menteri Kamboja Hun Manet mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres yang isinya menuding pasukan Thailand mengusir paksa warga sipil dari desa-desa di provinsi Banteay Meanchey sejak 12 Agustus lalu.

Pasukan Thailand juga memperluas pemasangan kawat berduri, pagar, serta pengawasan, sementara Kamboja merespons dengan menambah aparat keamanannya di perbatasan.

Tampak dari udara, tentara Thailand dan polisi anti huru-hara berhadapan dengan warga Kamboja di sebuah desa sengketa di perbatasan Thailand–Kamboja, Provinsi Sa Kaeo, Thailand, 17 September 2025. (Foto: Royal Thai Army/Handout via Reuters)

"Kedua negara telah memobilisasi pasukan mereka, memang tidak secara besar-besaran, tapi Anda bisa melihat pergerakan dari para tentara, termasuk paramiliter ke perbatasan, memperkuat posisi masing-masing kalau-kalau harus berhadapan lagi," kata Panitan Wattanayagorn, pakar independen hubungan internasional dan keamanan.

Namun di tengah memanasnya situasi, para pengamat mengatakan kedua negara akan menghadapi ujian terberat dalam beberapa pekan ke depan, tidak hanya untuk memastikan gencatan senjata tetap bertahan jelang KTT ASEAN, tetapi juga memulihkan keadaan terkait operasi perbatasan dan hubungan bilateral.

Vannarith Chheang, dosen kebijakan publik dan isu global di Nanyang Technological University, Singapura, mengatakan situasi gencatan senjata saat ini sangat rapuh bagi Kamboja.

Dia mengatakan, "konflik senjata bisa kembali terjadi" jika pemerintah Thailand menerapkan langkah hukum ketat terhadap warga Kamboja yang melintas perbatasan secara ilegal seperti yang diusulkan gubernur Sa Kaeo pada 10 Oktober lalu.

Pemerintah Thailand telah memerintahkan warga Kamboja yang disebut sebagai “penyerobot lahan” untuk meninggalkan seluruh zona di Provinsi Sa Kaeo sebelum pertemuan Komite Perbatasan Umum (GBC) bulan depan.

Perintah itu menuai komentar dari Kementerian Luar Negeri Kamboja yang dengan tegas menolak klaim bahwa warga mereka secara ilegal memasuki wilayah asing.

“Meski kedua negara belum menetapkan batas di sejumlah segmen perbatasan bersama, masyarakat di kedua sisi telah tinggal dan menggarap lahan itu selama puluhan tahun di banyak area yang belum ditetapkan,” kata Kemlu Kamboja dalam pernyataan pada 25 September, seraya mendesak agar isu tersebut dibahas dalam forum GBC.

Vannarith mengatakan, jika Thailand menangkapi warga Kamboja bulan depan dan pemerintah Kamboja diam saja, maka akan terjadi aksi protes besar di dalam negeri.

“Saya rasa hampir semua warga Kamboja menuntut agar pemerintah merespons. Sejauh ini, (pemerintah) cukup sabar dan menahan diri. Tetapi rakyat tidak puas,” ujarnya.

"KEMBALI KE TITIK NOL"

Gejolak politik di Bangkok telah mengubah stabilitas hubungan bilateral antara Thailand dan Kamboja.

Thailand kini berada di bawah kepemimpinan baru setelah mantan Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra digulingkan pada Agustus karena melanggar kode etik dalam penanganan sengketa perbatasan.

Paetongtarn sudah dinonaktifkan sejak Juli, diambil alih sementara oleh Phumtham Wechayachai yang kemudian turun langsung menangani konflik berdarah serta memimpin perundingan damai dengan Hun Manet yang dimediasi oleh PM Malaysia Anwar Ibrahim.
 

Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim bereaksi ketika Perdana Menteri Kamboja Hun Manet dan penjabat Perdana Menteri Thailand Phumtham Wechayachai berjabat tangan setelah konferensi pers, pada hari perundingan mediasi konflik perbatasan Thailand-Kamboja, di Putrajaya, Malaysia, 28 Juli 2025. (Foto: Mohd Rasfan / Pool via REUTERS)

Kini, Perdana Menteri baru Thailand, Anutin Charnvirakul, langsung menghadapi ujian diplomasi internasional. Dia hanya punya waktu beberapa bulan untuk memperkuat posisinya sebelum pemilu nasional digelar awal tahun depan.

Panitan mengatakan bahwa Anutin yang merupakan mantan menteri kesehatan dan dalam negeri tidak punya pengalaman menangani konflik sebesar ini.

“Sejak awal karier politiknya, ia sama sekali belum pernah diuji di bidang ini. Ia sedang berusaha menunjukkan kepemimpinan, tetapi kepemimpinannya belum teruji, dan sekaranglah ia sedang diuji,” ujarnya.

“Ia mungkin perlu menerima kenyataan bahwa kita sedang berada dalam situasi perang. Kita tidak sedang damai dengan Kamboja. Begitu ia memahami bahwa kita berada dalam perang, barulah ia akan mengerti syarat-syarat menciptakan perdamaian.”

Pada awal September, Hun Manet mengucapkan selamat kepada Anutin atas pengangkatannya dan dia menekankan pentingnya “perdamaian, hidup berdampingan secara harmonis, dan kemakmuran bersama” dalam sebuah surat.

“Dengan komitmen bersama untuk membangun hubungan bersahabat dan kerja sama yang baik, kedua bangsa kita akan menikmati kemakmuran serta berkembang dalam harmoni dan kebahagiaan,” tulisnya.

Namun pernyataan terbaru dari Anutin maupun mantan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen tampak bertolak belakang dengan semangat tersebut.

Dalam beberapa hari terakhir, Anutin yang berkampanye untuk anggota partainya di wilayah perbatasan berjanji tidak akan membuka perbatasan. Dia juga menuduh Kamboja menggunakan “tameng manusia” untuk memprovokasi pasukan Thailand.

“Perlintasan perbatasan akan tetap ditutup, dan langkah pengendalian akan diperketat,” katanya dalam sebuah kampanye di Provinsi Si Sa Ket pada 20 September.

“Saya tidak akan dilobi siapa pun. Saya hanya akan mengabdi pada rakyat Thailand dan negara Thailand. Tidak akan ada kompromi sampai mereka menerima persyaratan dari kita.”

Anutin Charnvirakul resmi menjabat sebagai perdana menteri Thailand pada 7 September 2025. (Foto: Reuters/Chalinee Thirasupa)

Pernyataannya memicu Hun Sen—yang kini menjabat presiden Senat Kamboja—untuk kembali angkat suara setelah sempat bungkam soal isu ini.

“Sikap Kamboja tidak akan berubah. Kamboja tidak akan merendahkan diri memohon Thailand membuka kembali perbatasan. Thailand bisa menutupnya selama 100 tahun lagi dan Kamboja tidak akan hancur,” tulisnya di Facebook.

Secara keseluruhan, hal ini membuat hubungan kedua negara “kembali ke titik nol”, kata Panitan. Padahal sebelumnya ada harapan terbukanya peluang perdamaian jangka panjang dengan terpilihnya pemerintahan Thailand yang baru.

“Dan semua ini terjadi sangat cepat,” ujarnya.

Menurut Panitan, pesan dari perdana menteri Thailand akan menjadi titik awal bagi sebuah “paket kebijakan yang jelas” untuk pada akhirnya meredakan konflik.

Keberlangsungan kepemimpinan Anutin akan sangat bergantung pada hal itu. Pasalnya menurut Panitan, isu perdamaian dengan Kamboja akan menjadi faktor utama di benak para pemilih.

Dalam tiga hingga empat bulan ke depan, tujuannya seharusnya adalah menurunkan eskalasi di perbatasan, menarik perangkat militer berat di kedua sisi, memulai proses pembersihan ranjau, serta mempertimbangkan pembukaan kembali pos-pos perbatasan.

Sikap keras mungkin bisa membantu Anutin memperkuat pemerintahannya yang baru, tetapi juga berisiko menutup ruang kompromi, kata Panitan.

“Bagi dia, ini jauh lebih krusial untuk kelangsungan politiknya dibanding bagi Hun Sen dan Hun Manet. Dan mereka tahu itu. Mereka tahu bahwa faktor waktu jauh lebih mendesak bagi Anutin,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa perdana menteri Thailand tidak akan bisa mengabaikan dampak ekonomi yang semakin memburuk.

Sebelum konflik pecah, data resmi menunjukkan ada lebih dari 520.000 warga Kamboja bekerja di Thailand, mencakup 12 persen dari total tenaga kerja asing di negara itu.

Laporan bersama Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 2017 memperkirakan pekerja migran menyumbang 4,3 hingga 6,6 persen dari produk domestik bruto (PDB) Thailand.

Vannarith mengatakan, langkah “pemaksaan ekonomi” Thailand seperti menutup perbatasan sejauh ini tidak efektif; Kamboja justru mampu mengelola rantai pasok dengan lebih baik dan meningkatkan produksi lokal.

Menurut data Direktorat Jenderal Bea Cukai Kamboja, ekspor Kamboja ke Thailand turun sekitar 6,4 persen dalam delapan bulan pertama 2025 dibanding periode yang sama tahun lalu, sementara impor dari Thailand turun 4,1 persen.

Hal itu membuka risiko krisis yang lebih berkepanjangan, ujar Vannarith, dengan Phnom Penh merasa lebih siap menjalani "konflik berkepanjangan" dibanding sebelumnya.

“Negosiasi bilateral masih terus berjalan, tapi saya rasa kali ini Kamboja jauh lebih percaya diri dibanding tahun 2008 bahwa mereka bisa bertahan tanpa membuka perbatasan dengan Thailand.”

Para pekerja migran Kamboja melintasi perbatasan di pos Ban Laem, Provinsi Chanthaburi, Thailand, 28 Juli 2025 untuk pulang ke rumah. (Foto: Reuters/Andre Malerba)

TIDAK AKAN ADA ESKALASI SEBELUM KTT ASEAN

Para analis menilai bentrokan besar tidak mungkin terjadi sebelum KTT ASEAN, karena kedua pihak punya kepentingan untuk menghindari malu atau dicap sebagai biang kegagalan di hadapan negara kawasan maupun komunitas internasional.

“Tidak ada kepentingan strategis bagi Thailand maupun Kamboja untuk kembali terlibat konfrontasi militer,” ujar Dulyapak dari Universitas Thammasat.

Malaysia, sebagai ketua ASEAN, sejauh ini berperan penting dalam menangani konflik kedua negara.

Namun di balik jabat tangan dan senyum di Putrajaya saat gencatan senjata tercapai akhir Juli, kemampuan Anwar untuk menjadi penengah mulai menunjukkan kelemahan, kata Panitan.

Ia menilai pemerintah Thailand sejauh ini cenderung pasif dalam menangani konflik dan kalah langkah dari pemerintahan Kamboja yang lebih agresif, terutama di panggung diplomasi global dan regional.

Di kalangan politik Thailand, lanjutnya, kepercayaan kepada Malaysia sebagai mediator dalam kasus ini mulai memudar. Selain itu, muncul pandangan bahwa ASEAN sebagai sebuah blok tidak mampu memfasilitasi perdamaian dengan mudah.

“Bukan hanya tidak bisa mencegah perang. Sekarang malah terlihat tidak mampu menyelesaikan konflik,” ujar Panitan.

Vannarith berbeda pendapat. Dia mengatakan “Malaysia sangat netral dan sangat jujur dalam memediasi masalah ini.”

Ia mendorong Malaysia melibatkan pengamat dari Amerika Serikat dan China untuk memperkuat desakan agar kedua pihak bernegosiasi secara serius.

Dalam perundingan gencatan senjata Juli lalu, Kementerian Luar Negeri AS mengumumkan bahwa pejabatnya hadir di Malaysia untuk membantu upaya perdamaian antara Thailand dan Kamboja. Presiden AS Donald Trump menyerukan agar pertempuran dihentikan dan memperingatkan negosiasi dagang bisa ditunda jika kekerasan berlanjut.

China juga menggelar pembicaraan informal di Shanghai pada akhir Juli dengan perwakilan kedua negara untuk memastikan komitmen keduanya mematuhi gencatan senjata.

“Saya kira tekanan diplomatik bisa dilakukan terhadap kedua pihak untuk mencegah tindakan yang berpotensi memperburuk ketegangan,” ujarnya.

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan