Sengketa picu konflik baru Kamboja-Thailand, hawa ketakutan menguar di perbatasan
Thailand dan Kamboja bertemu untuk menyelesaikan sengketa perbatasan yang berujung konflik senjata, menewaskan para tentara. CNA memantau langsung sentimen di lapangan dan apa konsekuensi politik dari peristiwa ini bagi kedua negara.

Seorang tentara Thailand berjaga di kompleks kuil Ta Meun Thom di provinsi Surin. (Foto: CNA/Jack Board)
NAM YUEN, Thailand/TEUK KRAHAM, Kamboja: Suara sirine meraung dari pengeras suara, ratusan siswa langsung berhamburan keluar kelas dan berkumpul di lapangan olahraga.
Saat semua siswa sudah duduk bersila dalam barisan, seorang guru di depan mereka memberikan arahan jalur mana yang harus diambil jika situasi darurat terjadi, atau bagaimana posisi tubuh mereka jika ada bom dijatuhkan.
Sekolah ini berada di Nam Yuen, provinsi Ubon Ratchathani, bagian timur Thailand, sebuah kota kecil yang berada di ambang bahaya. Pasalnya, perbatasan dengan Kamboja hanya beberapa kilometer jauhnya.
Masyarakat kota ini diliputi ketegangan setelah pada 28 Mei lalu seorang tentara Kamboja tewas dalam baku tembak dengan militer Thailand di Chong Bok, hutan sengketa yang terletak selemparan batu dari kota.
Baku tembak itu terjadi di wilayah yang dikenal sebagai Segitiga Zamrud, titik pertemuan tiga negara: Thailand, Laos, dan Kamboja.
Disebut Zamrud karena wilayah ini dirimbuni hutan lebat dan subur, berbeda dengan lanskap sungai yang lebih kering di kawasan Segitiga Emas, perbatasan ketiga negara di utara.
Sepanjang sejarahnya, wilayah ini telah berkali-kali menjadi medan pertempuran ketiga negara. Saat ini, bayang-bayang kekerasan kembali menghantui wilayah tersebut, membuat warga sekitar hidup dengan ketakutan.
Insiden 28 Mei telah memicu perang kata-kata antara Thailand dan Kamboja. Kedua negara juga memperkuat kehadiran militer di perbatasan dan membatasi jam operasional di berbagai pos lintas, memunculkan kekhawatiran akan terjadinya konflik.
Ketegangan tampak mereda dalam beberapa hari terakhir usai pembicaraan antara para pemimpin tertinggi kedua negara dan kesepakatan militer untuk kembali ke posisi sebelum eskalasi. Namun warga Thailand dan Kamboja kepada CNA mengaku mereka masih diliputi ketakutan akan potensi konfrontasi bersenjata.

Setelah pertemuan Komite Batas Wilayah Bersama Thailand–Kamboja (JBC) pada Sabtu (14/6) lalu, kondisi bisa jadi akan membaik. Namun para ahli mengatakan resolusi damai sulit dicapai, mengingat Kamboja akan membawa sengketa perebutan candi ke pengadilan internasional, sebuah langkah yang diprotes Thailand.
Dengan kedua negara saat ini dipimpin para pemimpin muda yang relatif belum berpengalaman, ketegangan yang terjadi telah menghadirkan tantangan dalam menyeimbangkan diplomasi dan menjaga kepentingan nasional.

SATU ABAD PERSETERUAN
Selama lebih dari 100 tahun, Thailand dan Kamboja telah berselisih soal penguasaan wilayah di berbagai titik yang belum ditetapkan secara resmi di sepanjang perbatasan.
Titik-titik itu sebelumnya ditetapkan oleh Prancis pada 1907 ketika menjajah Kamboja, didasarkan pada garis batas alami antara kedua negara.
Bentrokan pecah beberapa kali terjadi akibat sengketa ini, salah satu yang terparah terjadi pada 2008 usai Kamboja mendaftarkan Candi Preah Vihear abad ke-11 sebagai situs Warisan Dunia UNESCO. Konfrontasi bersenjata terjadi selama beberapa tahun, salah satu puncaknya adalah baku tembak artileri selama seminggu pada 2011 yang menewaskan beberapa tentara.
Pada tahun itu juga, Kamboja meminta Mahkamah Internasional (ICJ) menafsirkan kembali putusan pengadilan tahun 1962 yang memberi kedaulatan atas candi tersebut kepada Kamboja, serta meminta diberlakukannya langkah-langkah menghentikan bentrokan militer di sekitar situs bersejarah tersebut. Dua tahun kemudian, pada 2013, ICJ memutuskan seluruh kawasan candi dan tebing di sekitarnya berada di bawah yurisdiksi Kamboja.
Langkah yang dilakukan Kamboja itu mirip dengan apa yang mereka ambil saat ini, kata Dulyapak Preecharush, lektor kepala Studi Asia di Universitas Thammasat.
“Setelah mendapatkan keputusan yang menguntungkan dari ICJ pada 1960-an, dan kemudian pada 2011, mereka (Kamboja) terus menggunakan putusan-putusan tersebut untuk membenarkan perluasan klaim wilayah. Saya percaya itu tujuan mereka,” kata Dulyapak.
Ketegangan terbaru terjadi sejak Februari lalu setelah sekelompok tentara dan warga sipil Kamboja melakukan protes dengan menyanyikan lagu kebangsaan Kamboja di kuil Ta Muen Thom yang disengketakan, sekitar 200km sebelah barat kompleks Preah Vihear.
Kuil tersebut kini termasuk dalam empat situs perbatasan yang telah diidentifikasi oleh Kamboja untuk dibawa ke Mahkamah Internasional (ICJ). Tiga situs lainnya adalah Mom Bei serta dua kompleks kuil, yaitu Ta Muen Tauch dan Ta Krabei.
Aksi protes tersebut memicu adu mulut antara kedua pihak, termasuk keluhan resmi dari pemerintah Thailand yang menganggap tindakan itu sebagai provokasi.
Bentrokan senjata kemudian pecah pada Mei. Jelang pertemuan JBC, kedua negara telah menyampaikan versinya sendiri.
Pemerintah Kamboja menyebut insiden tersebut sebagai “tindakan agresi tanpa provokasi dan pelanggaran terhadap kedaulatan dan integritas wilayah Kamboja”.
Sementara pemerintah Thailand mengatakan tindakan militer mereka adalah bentuk membela diri saat patroli rutin.
Meskipun pihaknya siap melancarkan "operasi tingkat tinggi" sebagai respons, “perang hanya akan dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir,” kata Menteri Pertahanan Thailand, Phumtham Wechayachai.

MEREDAKAN KETEGANGAN
Pada 8 Juni lalu, kedua negara mengonfirmasi bahwa demi meredakan ketegangan pasukan mereka akan kembali ke posisi perbatasan yang disepakati pada tahun 2024. Kamboja dengan tegas menyatakan bahwa pasukannya tidak ditarik dari wilayah mana pun yang berada di bawah kedaulatannya sendiri.
Langkah ini diambil setelah Thailand memberi tekanan ekonomi dengan menutup atau membatasi jam operasional beberapa pos perbatasan yang jadi jalur utama perlintasan barang dan pekerja Kamboja. Thailand mengoperasikan 17 pos perbatasan resmi di sepanjang batas bersama sepanjang 817km; pada akhir pekan lalu, 10 di antaranya mengalami penyesuaian jam operasional.
Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra turun langsung meninjau situasi perbatasan pada 11 Juni, kunjungan pertamanya ke perbatasan sejak terjadi ketegangan. Ia adalah pemimpin pertama dari kedua negara yang mengunjungi zona perbatasan sejak baku tembak 28 Mei.
Didampingi para menteri dan personel militer, Paetongtarn menerima arahan singkat di pos perbatasan Chong Chom, provinsi Surin, dari pasukan di lapangan sebelum berinteraksi selama beberapa menit dan berfoto dengan masyarakat sebelum pergi tanpa memberikan pernyataan kepada media.
Kunjungannya dilakukan sehari setelah ia dikabarkan mengadakan pembicaraan tingkat tinggi dengan pemimpin Kamboja Hun Manet dan ayahnya, mantan Perdana Menteri Hun Sen.
“Hasilnya adalah kami berhasil bernegosiasi secara damai dan menghindari kekerasan,” kata Paetongtarn, putri bungsu dari mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra, seperti dikutip Khaosod. Thaksin dan Hun Sen dikabarkan memiliki hubungan dekat dan tetap aktif dalam politik di negara masing-masing.
Kedua petinggi kedua negara juga telah bertemu pada 14 Juni lalu. Belum diumumkan hasil dari pertemuan tersebut, namun kedua pihak mengakui adanya kemajuan dalam membangun saling kesepahaman dalam konflik perbatasan.
Penurunan ketegangan dirasakan langsung oleh warga di Ubon Ratchathani.
“Situasi di sini semakin membaik ke arah yang positif. Tapi saya sangat percaya bahwa menjaga situasi tetap aman di sepanjang perbatasan adalah prioritas utama,” kata Wasawat Poungponsri, anggota parlemen lokal dan pemimpin Partai Pheu Thai Rumphalang, kepada CNA.

WARGA MERASA RESAH
Namun kehadiran militer masih terlihat jelas di sekitar distrik Nam Yuen. Tentara Thailand mengendalikan beberapa pos pemeriksaan, prajurit bersenjata mesin tetap berjaga, dan helikopter sesekali melintas di udara.
Warga sipil merasakan keresahan itu. Sekitar 15km ke barat, di sekolah lain di distrik Nam Khun, Wasawat turun langsung membantu menggali pasir dan memasukkannya ke dalam karung untuk dijadikan perlindungan darurat. Anak-anak bisa berlindung di bawah bunker beton jika terjadi perang, kata dia.
“Kalau konflik terjadi atau meletus, warga desa inilah yang akan menghadapi rencana evakuasi darurat terlebih dahulu,” katanya.
Mengenakan seragam sekolah merah muda, para siswa juga turun membantu. Namun mereka harus kembali ke kelas karena turun hujan deras.
“Kami sudah melakukan simulasi, meminta anak-anak berlari ke tempat perlindungan,” kata Weerapong Pongloh, kepala Sekolah Ban Non Yang.
“Meskipun ketegangan meningkat, belum ada bentrokan yang terjadi, tapi kami tetap bersiap.”

Di sisi Kamboja, jalan aspal putih yang kecil berkelok-kelok membelah hutan lebat, tempat pasukan mendirikan pos pemeriksaan dekat Segitiga Zamrud.
Keresahan yang sama dirasakan oleh warga di Teuk Kraham, sekitar 10km dari lokasi baku tembak bulan lalu. Pada hari kejadian, sekitar 100 keluarga dievakuasi, kata warga kepada CNA.
Melihat tentara di daerah ini adalah hal biasa, ujar Pout Khuoch, warga setempat berusia 32 tahun. Tetapi ketakutan menyebar dengan cepat dan warga langsung mengirim anak-anak mereka tinggal bersama kerabat di desa terdekat usai berita penembakan tersebar, kata dia.
Lun Vet, warga berusia 63 tahun di Mom Bei — istilah untuk Segitiga Zamrud di Kamboja — telah tinggal di sana sejak 1977, tak lama setelah perang saudara di Kamboja berakhir. “Pagi hari setelah mendengar kejadian itu, saya segera pindah ke rumah menantu saya di Choam Ksant untuk tinggal selama 10 hari sampai situasi membaik,” kata dia.
Warga lainnya, Ta Mok, 63, bersikeras pihak Thailand adalah pemicu baku tembaknya.
“Mom Bei adalah wilayah Kamboja. Orang Thailand datang untuk menyerang kami,” kata mantan tentara Khmer Merah ini.
Meskipun ketegangan telah mereda, tidak semua warga desa telah kembali. Beberapa masih takut dan enggan pulang. Sepanjang perjalanan, pasar di daerah tersebut tampak sepi. Pasokan makanan dan barang kebutuhan pokok masih tersedia dan beberapa sekolah tetap beroperasi.
Warga lain, termasuk Khuoch, menginginkan perdamaian, mendesak kedua pemerintah menyelesaikan sengketa perbatasan secara diplomatis.
“Saya berharap kedua negara dapat menemukan solusi damai,” katanya. “Jika perang pecah, semua yang telah kami bangun selama 30 atau 40 tahun terakhir akan hancur.”

KEKHAWATIRAN WARGA DEKAT CANDI SENGKETA
Ketakutan tetap dirasakan oleh warga di kedua negara yang tinggal dekat candi-candi yang disengketakan.
Di Ta Muen Thom pada 11 Juni lalu, tentara Thailand dan Kamboja melakukan patroli bersama di situs kuno tersebut. Di sisi Thailand, puluhan turis – banyak dari mereka adalah pegawai pemerintah daerah – menikmati perjalanan sehari menjelajahi bangunan yang dulunya bagian dari jalan kerajaan yang membentang di Kekaisaran Khmer.
Pengunjung dari Thailand mengaku khawatir akan kemungkinan kehilangan kendali atas situs tersebut.
“Saya merasa sangat sedih. Kami selalu percaya bahwa tempat ini milik kami,” kata Kanokrat Termsook, wakil walikota Subdistrik Chok Na Sam di Surin.
Di situs tersebut pada sisi Kamboja, sekelompok warga berdoa kepada roh leluhur mereka untuk melindungi tanah dan menjaganya dari musuh.
Hong Ing, 66 tahun, mengatakan kepada CNA tentang masa mudanya ketika ia menjaga candi-candi tersebut sebelum rezim Khmer Merah berkuasa pada 1968 dan pengamanan di wilayah itu diabaikan.
“Candi-candi ini milik kami, bukan mereka. Jika perang pecah, saya akan bertarung mati-matian merebut kembali warisan Khmer,” katanya.

Segitiga Zamrud itu sendiri kini juga menjadi wilayah yang diklaim Kamboja.
Wilayahnya kecil – hanya 12km persegi. Wilayah yang lebih luas mencakup provinsi Ubon Ratchathani di Thailand, provinsi Preah Vihear di Kamboja, dan provinsi Champasak di Laos.
Sepanjang tahun 1970-an dan 1980-an segitiga tersebut adalah daerah pemberontakan dan konflik yang dipicu perdagangan narkoba, karena wilayah itu dikenal sebagai tempat budidaya ganja.
Wilayah ini menjadi titik konflik antara pasukan Thailand, Khmer Merah, kelompok perlawanan Laos, dan pasukan Kamboja yang didukung Vietnam. Ranjau darat masih banyak tersebar di sana.
Ha Samek, petani berusia 51 tahun di desa Thung Somdet, telah hidup diintai bahaya perang setiap hari sejak 1986. Dia kehilangan kaki kanannya karena menginjak ranjau peninggalan Perang Vietnam di ladang.
Saudara perempuannya juga kehilangan kakinya dalam kejadian serupa 14 tahun lalu. Keduanya berharap ketegangan kali ini segera mereda dan negara mereka terhindar dari luka yang lebih dalam akibat peperangan.

“Bahkan kali ini pun, saya masih takut. Saya dengar dari berita kalau mereka sudah menarik pasukan, tapi siapa yang tahu itu benar atau tidak,” kata Ha.
“Saya tidak bisa tidur nyenyak. Saya gelisah. Bahkan suara petir pun membangunkan saya. Itu membangkitkan kenangan. Saat saya dengar kabar soal perang, suara petir membuat saya terkejut karena saya takut itu suara tembakan.”
Banyak warga lokal di sini menggantungkan hidup pada tanah. Wilayah ini mengalami sangat sedikit perkembangan ekonomi, meskipun selama bertahun-tahun ada perencanaan di atas kertas dan kesepakatan trilateral untuk mewujudkannya.
Pada tahun 1993, sebuah paviliun dibangun di tengah daerah segitiga untuk melambangkan kerja sama antara ketiga negara bertetangga.
Setelah itu, Proyek Kerja Sama Ekonomi Segitiga Zamrud didirikan pada tahun 2000 dengan fokus pada bidang ekonomi, pariwisata, politik, dan sosial antara ketiga pemerintahan.
Kamboja ketika itu mengusulkan pembangunan lapangan golf yang melintasi tiga negara dengan dukungan investor swasta. Jalan dibangun dan aktivitas pariwisata dibahas, namun hanya sedikit yang terwujud.

PEMBICARAAN DUA NEGARA
Kini, Kamboja kembali mengajukan perkara ke Mahkamah Internasional (ICJ) untuk kejelasan atas klaim wilayahnya. Langkah ini semakin mengecilkan harapan munculnya hasil positif dari pembicaraan 14 Juni.
Bahkan sebelum pembicaraan dimulai pun, Kamboja telah menolak membahas aspek paling kontroversial dari klaim wilayahnya.
Kamboja menyatakan bahwa empat wilayah perbatasan yang disengketakan tidak akan masuk dalam agenda pertemuan karena akan diajukan ke ICJ.
Majelis Nasional dan Senat Kamboja secara bulat menyetujui langkah tersebut pada 2 Juni.
“Keempat wilayah ini telah lama belum terselesaikan dan sensitif, dengan potensi meningkatkan ketegangan jika dibiarkan,” bunyi pernyataan pemerintah pada 4 Juni.
“Mengingat kompleksitas, sifat historis, dan sensitivitas dari sengketa ini, semakin jelas bahwa dialog bilateral saja mungkin tidak lagi cukup untuk mencapai solusi yang menyeluruh dan tahan lama,” tulis Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn dalam suratnya kepada mitra Thailand-nya pada 6 Juni.
“Keputusan yang diberikan oleh ICJ, yang didasarkan pada hukum internasional, akan menawarkan resolusi yang adil, tidak memihak, dan berkelanjutan,” katanya.
Namun, pemerintah Thailand menyatakan tidak akan mengakui yurisdiksi pengadilan dan mendesak agar sengketa diselesaikan melalui cara bilateral.
Pemerintah Kamboja bersikeras akan tetap melanjutkan proses hukum di pengadilan internasional.

David Hutt, peneliti di Central European Institute of Asian Studies (CEIAS), menulis dalam komentarnya di situs The Diplomat bahwa pengajuan kasus ke ICJ akan memberi Kamboja posisi tawar jika Thailand terlalu agresif dalam pembicaraan.
“Dengan kata lain, Kamboja memiliki alternatif yang tidak diinginkan Thailand. Selain itu, ancaman membawa kasus ke ICJ memungkinkan Kamboja mendapatkan dukungan internasional,” tambahnya.
Panitan Wattanayagorn, mantan ketua Komite Penasihat Keamanan Perdana Menteri Thailand, menggambarkan strategi Kamboja sebagai langkah cerdas dan memiliki tiga pendekatan.
Strategi tersebut melibatkan penggunaan simbolisme seputar kedaulatan dan nasionalisme, manuver taktis agresif oleh militer yang diberdayakan oleh kapasitas baru, serta taktik diplomatik strategis yang melibatkan ASEAN, JBC, dan ICJ, katanya kepada CNA.
“Sangat jelas, sangat jelas bahwa ini adalah kemampuan baru, pendekatan baru, lebih agresif, dan belum pernah dilakukan sebelumnya,” kata Panitan.
Meski JBC adalah mekanisme yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang sedang berlangsung, Panitan mengatakan bahwa komisi ini punya rekam jejak buruk dalam mengambil keputusan tegas.
“Sejak pembentukan JBC hampir 30 tahun yang lalu, protes terhadap pelanggaran wilayah oleh Kamboja ke wilayah Thailand dan sebaliknya belum berhasil ditangani,” katanya.
“Tidak ada alasan untuk berharap bahwa kali ini mereka dapat berhasil. Tetapi setidaknya, Anda bertemu, dan Anda membahas isu-isu baru.”
Usai pertemuan 14 Juni lalu, Kementerian Luar Negeri Thailand dalam pernyataannya mengatakan bahwa pertemuan JBC telah membuat kemajuan dalam membangun rasa saling kesepahaman antar kedua negara.
Kendati demikian, resolusi belum tercapai dalam pertemuan tersebut dan tidak jelas kapan hasilnya akan diumumkan.

MEMANFAATKAN KELEMAHAN THAILAND
Pengamat politik kepada CNA mengatakan bahwa pemerintah Thailand akan kesulitan menghadapi masalah kali ini. Pasalnya, pemerintahan Kamboja kini lebih tegas, ditambah dengan perlengkapan militer modern serta dibekingi keluarga penguasa yang sejak lama menjaga identitas budaya dan teritorial.
Sejak akhir Mei pemerintah Thailand dalam pernyataannya selalu menyerukan menahan diri dan kompromi. Namun menurut Dulyapak, pemerintah Thailand lambat dalam bertindak, tidak tegas dan tidak terorganisir.
“Pemerintah Thailand merespons terlalu lambat, kemungkinan karena kami tidak menyangka Kamboja kali ini akan melakukan pergerakan,” katanya.
Dulyapak mengatakan, Kamboja bisa jadi tengah memanfaatkan kelemahan yang dipersepsikan dalam kepemimpinan Thailand dan hubungan dekat antara keluarga penguasa Shinawatra dan Hun.
“Bagi Kamboja, ini dilihat sebagai sebuah peluang. Jika Thailand menganggap mereka sebagai teman, bisa jadi mereka lengah dan gagal menyiapkan respons tepat waktu,” katanya.
“Sekarang ini soal kepentingan nasional. Ini bukan lagi sekadar antara dua keluarga.”
Di pihak Thailand, gerakan politik internal menimbulkan pertanyaan: sejauh mana keluarga Shinawatra, atau pemerintah, benar-benar mampu melindungi kepentingan nasional dan menyikapi Kamboja secara efektif, ujarnya.
“Tetapi di pihak Kamboja, kita tidak melihat jenis pertanyaan internal seperti ini. Pemerintah Kamboja sangat nasionalis, begitu pula rakyatnya. Yang konsisten adalah strategi nasional Kamboja yang terus berlanjut dan intens serta mobilisasi sumber daya dalam konfliknya dengan Thailand,” katanya.

Menurut Panitan, pemerintah Thailand sulit merespons peristiwa kali ini karena tengah mengalami gejolak politik dalam negeri, seperti pergantian kepemimpinan dan kekacauan dalam struktur militer Thailand. Para ahli strategi di Phnom Penh kemudian memanfaatkan momen tersebut, kata dia.
“Saya pikir itu adalah sesuatu yang para pemimpin Kamboja rasakan beberapa minggu lalu, atau bahkan beberapa bulan lalu. Bahwa tidak akan ada konsensus (di Thailand) tentang bagaimana merespons, memberi Kamboja lebih banyak waktu untuk bergerak lebih jauh,” tambah Panitan, mengutip kegagalan pemerintah Thailand untuk mengadakan pertemuan darurat Dewan Keamanan Nasional setelah insiden penembakan.
Di kalangan pimpinan Thailand, kata Panitan, terdapat tanda-tanda jelas bahwa partai penguasa Pheu Thai enggan terlalu mengandalkan aparat keamanan negara, karena hubungan kedua pihak yang telah lama renggang.
Dulyapak mengatakan Paetongtarn, seorang politikus yang relatif belum berpengalaman, kini menghadapi tantangan dalam hal kepemimpinan dan ketegasan, terutama dalam mengelola hubungan luar negeri dengan Kamboja.
“Ada juga kurangnya kesatuan yang jelas antara pemerintah sipil dan militer,” katanya.
Interaksi antara pemerintah dan militer akan menjadi hal penting untuk diamati, katanya, terutama untuk melihat bagaimana pembagian tanggung jawab dalam mengatasi isu ini.
Bagi Hun Manet, yang belum dua tahun menjabat sebagai perdana menteri, strategi perbatasan yang berani kemungkinan akan membantunya meraih dukungan politik di dalam negeri, kata Dulyapak.
Namun ia harus menyeimbangkan nasionalisme dengan pragmatisme ekonomi dan berhati-hati agar tindakan Thailand seperti pemutusan pasokan listrik, air, atau sinyal telepon tidak berdampak buruk pada rakyat Kamboja.
“Tindakan semacam itu bisa menyebabkan kesulitan besar bagi masyarakat Kamboja. Ini tantangan serius karena berisiko menimbulkan tekanan ekonomi dan ketidakpuasan publik,” katanya.
Pada hari Kamis, Hun Manet mengumumkan bahwa negaranya akan berhenti membeli bandwidth internet dari Thailand karena alasan keamanan nasional.
Sementara itu, Hun Sen menyarankan Kamboja untuk menghentikan semua siaran televisi asal Thailand dan mempertimbangkan menghentikan perdagangan semua barang dari Thailand. Ia menambahkan bahwa Kamboja tidak perlu takut terhadap pemulangan pekerja Kamboja, karena hal itu justru akan berdampak negatif pada ekonomi Thailand.

RINDU SITUASI AMAN
Di saat resolusi di tingkat atas masih sulit tercapai, ketakutan di tingkat bawah tetap menguar.
Cahaya bulan di malam itu menerangi wajah sekelompok warga desa yang berjaga di sebuah pos di desa kecil Nam Yuen.
Sekitar enam pria sedang berpatroli. Mereka mengenakan seragam dengan lencana dan membawa tongkat. Setelah matahari terbenam, mereka keluar untuk bertugas, duduk mengawasi situasi dalam kegelapan dari pukul 8 malam hingga fajar.
Kamboja berjarak sekitar 30km dari sini, tetapi mereka merasa punya kewajiban untuk melindungi masyarakat dari siapa pun yang tidak diinginkan.

Menjalani hari dengan ketakutan membuat masyarakat di daerah sulit tidur dengan tenang. Bagi kepala desa Sikanet Samila, patroli malam lebih untuk memberi ketenangan bagi warga, bukannya sebagai milisi sungguhan.
“Kami tidak bisa menjamin keselamatan diri kami sendiri. Apa yang kami lakukan ini untuk masyarakat, bukan untuk diri sendiri. Yang kami punya hanya tongkat dan senter, jadi tentu saja ada risiko,” katanya.
“Tapi karena kami peduli dengan masyarakat kami - tanah ini milik orang tua kami - kami tidak takut. Ini tanah air kami.”
Untuk saat ini, malam mereka masih tetap hening, seperti halnya para tentara yang berjaga di hutan.
Dalam ketegangan di perbatasan ini, pencegahan konflik mungkin merupakan solusi terbaik.
Laporan tambahan oleh Jarupat Karunyaprasit dan Jiratchaya Chaichumkhun.
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.