Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Pengamat: Perceraian di Malaysia naik 43 persen tahun lalu karena lockdown COVID-19

Salah satu pengacara perceraian mengatakan, kebanyakan pasangan yang bercerai adalah generasi muda, kemungkinan karena pandangan "modern" yang mereka anut.

Pengamat: Perceraian di Malaysia naik 43 persen tahun lalu karena lockdown COVID-19
Ilustrasi seseorang melepaskan cincin dari jari. (Photo: iStock/simarik)

SINGAPURA: Peningkatan angka perceraian di Malaysia tahun lalu - yang naik dari 43.936 pada 2021 menjadi 62.890 di 2022 - kemungkinan besar adalah dampak dari lockdown selama pandemi COVID-19, kata para pengacara kepada CNA.

Kendati angka perceraian naik, namun salah satu ahli mengatakan ini tidak seluruhnya kabar buruk. Bisa jadi, ini menandakan meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental dalam hubungan rumah tangga.

Angka yang dirilis Departemen Statistik Malaysia (DOSM) pada Kamis lalu (23 Nov) menunjukkan bahwa tingkat perceraian naik 43,1 persen pada 2022 dibanding tahun sebelumnya.

Kebanyakan yang bercerai pada 2022 di Malaysia adalah pasangan Muslim dengan jumlah 46.138 dari total 62.890 kasus perceraian. Angka ini naik 45,5 persen dari tahun sebelumnya, ujar kepala ahli statistik DOSM Uzir Mahidin.

Perceraian dari pasangan non-Muslim juga meningkat 36,4 persen - dari 12.286 kasus pada 2021 naik menjadi 16.752 kasus pada 2022.

Para pengacara kepada CNA mengatakan ada beberapa faktor yang mungkin meningkatkan angka perceraian di Malaysia, salah satunya adalah karena penggunakan media sosial yang intens, meningkatnya pemberdayaan wanita hingga cara pandang yang lebih "modern".

Salah satu pengacara juga mencatat bahwa perceraian pasangan Muslim di Malaysia kemungkinan dipicu oleh masalah rumah tangga akibat pernikahan poligami.

PERAN PANDEMI COVID-19

Jerald Gomez, pengacara di firma hukum Jerald Gomez & Associates, kepada CNA mengatakan bahwa tingginya angka perceraian bisa jadi merupakan dampak dari pandemi COVID-19.

Dia mencatat bahwa lockdown selama pandemi - yang dikenal dengan Perintah Kawalan Pergerakan (PKP) di Malaysia - memaksa pasutri menghabiskan waktu bersama di satu tempat tanpa adanya jeda.

PKP diterapkan di Malaysia pada Maret 2020 hingga Desember 2021.

Kondisi lockdown, kata Gomez, mencegah pasutri untuk menghilangkan stres dengan menyendiri, jauh dari pasangan mereka.

"(Lockdown) yang berlangsung selama hampir dua tahun memunculkan banyaknya perbedaan pendapat, filosofi, soal pengelolaan keuangan dan (juga memunculkan) sifat sebenarnya dari seseorang ketika di bawah tekanan," kata Gomez. 

Dia juga mengatakan, pandemi juga memicu masalah keuangan dalam rumah tangga.

"Hal ini menambah tekanan bagi pasutri untuk menyokong satu sama lain (secara finansial) yang (pada akhirnya) mempertanyakan kontribusi keuangan salah satu pasangan," kata dia kepada CNA.

Sementara Goh Siu Lin, pengacara dari firma hukum Kee Sern, Siu & Huey, mengatakan meningkatnya kekerasan rumah tangga selama pandemi COVID-19 juga menyumbang bertambahnya angka perceraian.

"Ada statistik dari lembaga Women's Aid Organisation (WAO) (yang menunjukkan bahwa) kekerasan rumah tangga melonjak selama periode PKP," kata Goh. Selain itu, dia mencatat, peningkatan persepsi bahwa perpisahan karena tidak bahagia atau pernikahan yang toksik bukan lagi hal memalukan juga telah mendorong angka perceraian di Malaysia. 

WAO adalah lembaga swadaya masyarakat di Malaysia yang memberikan dukungan bagi perempuan dan anak-anak korban kekerasan.

Data WAO menunjukkan, ada 44 persen peningkatan jumlah panggilan telepon pada hotline mereka dan konsultasi melalui WhatsApp pada Maret 2020 ketika lockdown masih diterapkan.

Goh menambahkan, peningkatan tajam angka perceraian tahun lalu bisa jadi karena adanya penumpukan permohonan cerai dari tahun sebelumnya.

"Meski pengadilan masih beroperasi (selama pandemi), tapi mereka bekerja dengan kapasitas yang minim. Jadi mungkin permohonan cerai diselesaikan setelah status pandemi dicabut," kata dia.

Kepala ahli statistik DOSM dalam pernyataannya menyebutkan bahwa 45,6 persen kasus perceraian pasangan Muslim pada 2022 adalah "kasus-kasus yang telah muncul pada tahun sebelumnya".

PERNIKAHAN MUSLIM: POLIGAMI DAN TALAK TIGA

Para pengacara kepada CNA mengatakan, para perempuan Muslim yang merasa tidak diperlakukan dengan baik dalam pernikahan poligami mungkin menganggap perceraian adalah jalan terbaik.

Di Malaysia, poligami diperbolehkan bagi pemeluk agama Islam namun harus mendapatkan izin dulu dari pengadilan Syariah.

"Beberapa pria (dalam pernikahan poligami) mungkin tidak lagi meluangkan waktu, energi, dan upaya mereka bagi istri pertama dan kedua ketika ada istri ketiga dan keempat yang harus diurus.

"Dalam kondisi seperti itu, para istri tua mungkin tidak ingin menoleransinya lagi (dan mencari) opsi lainnya dengan menjadi wanita yang bebas. Mereka tahu hak-hak mereka dan menginginkan pembagian aset atau pengasuhan," kata Goh kepada CNA.

Goh melanjutkan, dia pernah menangani kasus-kasus di mana istri kedua dijadikan "pencari nafkah" sementara sang suami tidak menyumbang apa-apa dalam rumah tangga.

"Kadang saya melihat suami hanya 'ongkang-ongkang kaki' dan para istri yang mengurus rumah dan bekerja untuk mencari makan dan menyekolahkan anak-anak. Dan istri-istri seperti ini seringkali tersiksa secara fisik, seksual, dan emosional," kata Goh.

"Akhirnya mereka (memutuskan) bahwa ini tidak bisa lagi diterima dan mengatakan 'saya lebih baik bebas dan merdeka dari perlakuan buruk' dibanding tetap bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia dan menyiksa."

Sisters In Islam - organisasi sipil yang mendorong hak-hak perempuan berdasarkan hukum Islam - menemukan bahwa pada 2021 keluhan terbanyak perempuan dalam pernikahan poligami adalah suami mereka tidak memberikan nafkah apa pun.

Data dari bagian legal organisasi itu juga menunjukkan bahwa masalah terbanyak kedua adalah para suami poligami tanpa izin mereka. Masalah terbanyak berikutnya adalah pernikahan poligami tanpa izin pengadilan Syariah.

Gomez mengatakan bahwa dalam pernikahan sipil, pasutri hanya boleh mengajukan cerai setelah menikah dua tahun. Sementara, pria Muslim diperbolehkan menyatakan talak tiga dan bercerai saat itu juga.

Talak adalah bahasa Arab yang berarti meninggalkan atau melepaskan ikatan, sebuah metode perceraian yang diakui pengadilan Syariah, meski penerapan hukum Islam bervariasi di setiap negara bagian Malaysia. Di negara bagian Terengganu misalnya, pengucapan talak harus dilakukan tiga kali di hadapan pengadilan agar dapat diakui.

Jazzmine Khoo, pengacara dari firma hukum Jazzmine Khoo & Associates, membenarkan adanya proses yang cepat untuk perceraian pasutri Muslim.

"Pasangan Muslim ... bisa bercerai dalam waktu singkat - beberapa jam saja atau kurang dari itu. (Sementara), perceraian non-Muslim butuh waktu beberapa bulan untuk dirampungkan," kata dia.

FAKTOR LAINNYA

Di luar itu, masalah-masalah umum seperti media sosial atau platform online lainnya, dan sikap generasi muda memandang pernikahan juga menjadi faktor-faktor yang melandasi meningkatnya perceraian di Malaysia.

Gomez menyoroti bahwa "media sosial telah menjadi ... alat pelarian utama bagi orang yang berada dalam tekanan atau stres."

"Akses ke Facebook, Tinder, TikTok, Instagram dan WhatsApp memungkinkan pasangan yang sudah menikah berkomunikasi dengan pihak ketiga secara pribadi dan membuka jalan bagi mereka bertemu orang asing atau kenalan," kata dia.

Gomez mengatakan, orang yang sudah menikah itu kemudian membanding-bandingkan orang di media sosial tersebut dengan pasangan mereka.

Selain itu, Gomez menyebutkan bahwa sikap generasi muda yang "mementingkan diri sendiri" menyumbang bertambahnya angka perceraian di Malaysia.

"Generasi-generasi muda masa kini mendapatkan dukungan finansial dari pemerintah dan orang tua mereka, peluang yang lebih baik dan kenyamanan dalam hidup ... tujuan utama mereka adalah menikmati hidup, untuk tetap bahagia.

"Dari pengalaman kami, pasangan muda lekas bercerai saat pertama kali menghadapi masalah atau ketidaknyamanan. Beberapa bahkan bercerai setelah dua tahun menikah," kata dia.

Khoo menambahkan, sikap 'modern' para generasi muda juga memainkan peranan dalam perceraian. Kebanyakan klien kasus perceraian Khoo memang para pasangan muda.

"Ini karena pasangan muda lebih berpikir ke depan atau modern dalam pemikiran. Mereka cepat memutuskan (untuk bercerai) dan tidak ingin menyiakan masa depan," kata dia.

"Sebagai perbandingan, pasangan yang lebih tua lebih sabar dan beberapa masih punya pandangan buruk soal perceraian. Mereka memilih bertahan dalam pernikahan dan mencoba untuk rujuk kembali."

PERCERAIAN TIDAK SELALU BURUK

Khoo berkata, meningkatnya angka perceraian bukan selalu hal yang buruk.

"Kesadaran akan kesehatan mental (semakin meluas) dan saya kira masyarakat semakin sadar bahwa kesehatan mental berasal dari berbagai faktor, dan salah satunya adalah hubungan rumah tangga yang sehat," kata dia.

Sementara itu, Goh mengatakan bahwa sumber daya perlu ditambah di sistem peradilan untuk memfasilitas perceraian.

Dia menekankan pentingnya pendekatan yang dikenal dengan proses hukum kolaboratif, yaitu sebuah pendekatan yang kekeluargaan dan fokus kepada anak. Proses ini menitikberatkan pada komitmen untuk membantu keluarga mencapai solusi dengan bantuan konsultan.

Penting bagi pemerintah atau lembaga, kata dia, untuk memastikan adanya sistem pengadilan yang berpusat kepada keluarga seperti yang ada di Singapura.

"Pemerintah harus mendanai pengadilan seperti itu. Perlu juga adanya mediator profesional di lokasi, agar kita bisa melakukan intervensi di tahap awal sebelum konflik (rumah tangga) membesar atau memburuk," kata Goh, sembari menambahkan bahwa diperlukan juga sumber daya untuk memutus trauma antar-generasi dan mencegah munculnya pola perceraian atau hubungan tidak sehat dari anak-anak korban perceraian.

Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.

Source: CNA/da(ih)

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan