Bukan hanya lebam dan bekas luka, kenali tanda-tanda kekerasan pada anak menurut para ahli ini
Bagi orang yang tidak terlatih, tanda-tanda kekerasan kepada anak bisa terluputkan. Para ahli berbagi kiat bagi orang tua untuk dapat mengenalinya agar bisa menyikapinya dengan efektif.

SINGAPURA: Bulan lalu di Singapura, tidak hanya satu, tapi ada dua kasus guru prasekolah dituduh melukai anak-anak didik mereka. Masyarakat Singapura dikejutkan dengan video yang viral, memperlihatkan guru yang bertindak kasar terhadap siswa dan memaksa mereka meminum air.
Selain meresahkan, tayangan tersebut juga menunjukkan pentingnya untuk bisa mengenali dan menyikapi tanda-tanda kekerasan di lingkungan prasekolah.
Mengupas masalah ini, CNA Lifestyle telah berbincang dengan para psikolog dan terapis berpengalaman untuk mempelajari cara agar orang tua dapat mendeteksi dengan lebih baik tanda-tanda kekerasan pada anak, yang tidak melulu muncul dalam bentuk memar atau ciri fisik lainnya. Para ahli juga memberi saran bagaimana cara orang tua berkomunikasi agar anak terbuka akan masalah yang dihadapi.

FAKTA MENGEJUTKAN SOAL KEKERASAN PADA ANAK
Psikolog klinis Dr Annabelle Chow, pengampu unit psikologi anak di tempat praktik pribadinya Annabelle Psychology, menyampaikan sebuah fakta yang mengejutkan: Tidak seperti yang dibayangkan, kasus kekerasan terhadap anak ternyata banyak terjadi di Singapura.
Bahkan, Kementerian Sosial dan Pembangunan Keluarga Singapura (MSF) menyelidiki 2.141 kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2021 saja. Pada 2017, 40 persen kasus kekerasan dan penelantaran menimpa anak-anak di bawah usia tujuh tahun.
Anda mungkin bertanya-tanya, apakah penelantaran juga termasuk bentuk kekerasan? Ternyata, kekerasan terhadap anak tidak terbatas pada fisik dan seksual saja seperti konsep yang diyakini banyak orang.
"Penelantaran terjadi ketika pengasuh dengan sengaja atau tidak disengaja gagal memenuhi kebutuhan seperti makanan, tempat tinggal, pakaian, perawatan medis atau perhatian yang diperlukan," kata Dr Chow.
Dr Chow juga menjelaskan soal kekerasan emosional atau psikologis yang dapat melukai rasa harga diri seorang anak.
"Kekerasan ini bisa melibatkan ancaman, teriakan, kritikan, menyalahkan dan mempermalukan, yang dilakukan dengan cara hampir seperti merundung anak itu secara verbal," kata dia.
Mengingat bahayanya kekerasan terhadap anak, lantas bagaimana orang tua bisa mengetahui tanda-tandanya sebelum terlambat?
Gladys Hu, seorang ahli psikoterapi dengan pengalaman hampir satu dekade di Pusat Ahli Perlindungan Anak dan Pusat Pelayanan Keluarga Fei Yue, memaparkan tanda-tanda pada fisik dan perilaku anak korban kekerasan.
KENALI TANDA-TANDA KEKERASAN PADA ANAK
Hu mengatakan, tanda-tanda peringatan adanya kekerasan terhadap anak adalah lebam yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya di bagian tubuh yang biasanya jarang terluka, seperti di punggung, paha bagian dalam dan ketiak. Selain itu, perilaku anak bisa jadi menyiratkan tanda-tanda terselubung tapi sama pentingnya untuk dicermati.
- Menghindari atau menolak masuk sekolah
- Mudah tersentak dan menghindari sentuhan
- Takut kepada staf tertentu di sekolah
- Perubahan suasana hati (Menjadi sangat menarik diri, agresif atau sangat waspada)
- Perubahan emosi (mudah tersinggung, menangis, terlalu melekat kepada orang tua dan meledak-ledak)
- Mengalami gangguan tidur
- Hilang nafsu makan
- Sering mimpi buruk
- Sering muncul keluhan somatik, atau gejala-gejala sakit fisik, kendati anak kelihatan sehat
- Anak sering mengompol, padahal sudah terlatih menggunakan toilet

Hu mengatakan tanda-tanda kekerasan juga terlihat ketika anak bermain. Salah satu tandanya, anak mengulang-ulang skenario yang sama ketika bermain boneka, misalnya menggunakan boneka untuk memerankan tokoh berperilaku buruk. Begitu juga saat menggambar, jika gambar yang dibuat mengandung tema yang mengkhawatirkan maka bisa jadi itu sinyal dari pengalaman traumatis.
"Seringkali, anak-anak yang lebih kecil tidak memiliki kemampuan kognitif untuk sepenuhnya menyadari apa yang sedang terjadi. Jika pun bisa, mereka tidak punya kosakata atau kemampuan berbahasa untuk menyampaikannya dengan jelas. Respons emosional dan tubuh mereka, dan juga dalam bentuk permainan dan ekspresi, bisa jadi jendela menuju dunia batin mereka."
Jika anak mengungkapkan informasi yang menunjukkan adanya kekerasan atau perlakuan buruk, tetap tenang, biarkan mereka bicara, dengarkan dengan saksama apa yang mereka katakan.
Itulah alasannya anak-anak usia prasekolah sukar dipahami dan orang tua akan kesulitan membedakan antara tantrum dan kemungkinan tanda kekerasan. Sebagai solusinya, Dr Chow menyoroti durasi dan konsistensi sebagai faktor-faktor penentunya.
"Jika fluktuasi (dari tanda-tanda) berlangsung konsisten dalam periode waktu tertentu tanpa ada alasan soal insiden dan penyebabnya, Anda perlu menanyakan kepada anak atau otoritas di sekolah," kata dia.
MENGANGKAT TOPIK KEKERASAN DENGAN ANAK
Secara serius membahas topik kekerasan anak dengan anak berusia empat tahun membutuhkan pendekatan yang lembut. Dr Chow menyarankan orang tua untuk mengajukan pertanyaan terbuka dan memperhatikan reaksi mereka. Misalnya: Bagaimana harimu? Apakah ada hal istimewa terjadi Singapura? Bagaimana kabar teman dan gurumu?
Anak-anak mungkin sulit menyuarakan pengalaman mereka dengan kosakata yang tepat atau bahkan akurat, tapi seringkali mereka bisa memilah apakah seseorang "baik" atau "buruk".

Tidak diragukan jika percakapan ini bisa memicu reaksi dan orang tua akan marah ketika mendapati anak mereka kemungkinan rentan jadi korban kekerasan. Namun menjaga ketenangan adalah kuncinya, tutur Daisy Tan, psikolog pendidikan yang telah membantu anak-anak di sekolah, rumah sakit, dan pusat intervensi dini selama lebih dari satu dekade.
"Jika anak mengungkapkan informasi yang menunjukkan adanya kekerasan atau perlakuan buruk, tetap tenang, biarkan mereka bicara, dengarkan dengan saksama apa yang mereka katakan, validasikan perasaan mereka dan tunjukkan bahwa Anda memercayai mereka dan selalu bersedia mendengarkan jika mereka ingin berbagi lebih jauh," kata Tan.
"Hindari bereaksi terlalu keras karena terkejut atau marah, mengajukan pertanyaan yang mengarahkan, membuat asumsi, atau terus menerus menekan anak untuk berbagi informasi lebih banyak lagi ketika mereka merasa enggan atau terlihat tertekan."
Jika anak tetap tutup mulut, orang tua bisa menggunakan cara yang kreatif.
Hu menyarankan agar orang tua meminta anak menarasikan cerita seperti halnya jika mereka menceritakan kembali peristiwa dalam sebuah film.
"Misalnya, Anda bisa bilang: Ceritakan apa yang terjadi dari mulai kamu menumpahkan mangkuk, sampai ketika kamu menangis," kata dia.
Shirley Woon, psikoterapis dengan lebih dari 15 tahun pengalaman di dunia konseling, menyarankan untuk menggunakan seni sebagai sarana mengekspresikan diri anak.
"Anak-anak kemungkinan sulit mengekspresikan tantangan yang mereka hadapi dengan kata-kata. Orang tua bisa meminta anak untuk menggambarkannya. Misalnya, jika orang tua curiga anak mengalami kekerasan di sekolah, maka mereka bisa meminta anak itu untuk menggambar sekolah atau ruang kelas," kata Woon.

Woon mengatakan bahwa keberanian orang tua diperlukan dalam hal ini. Pasalnya, kata Woon, beberapa orang tua mungkin takut anak mereka jadi sasaran pembalasan di sekolah, sehingga akhirnya memilih diam.
"Saya ingatkan kepada orang tua bahwa keselamatan anak adalah prioritas. Jika takut anak menerima kekerasan lebih lanjut, pindah sekolah."
Dalam kasus kekerasan di Kinderland Preschool, Singapura, Woon merekomendasikan orang tua yang anak-anaknya terdampak kekerasan, secara langsung ataupun menjadi saksi, untuk secepatnya melakukan terapi sebagai jalan bagi anak memproses pengalaman buruk di masa kecil.
Apa yang diceritakan anak-anak masuk akal di dunia mereka, bahkan jika itu tidak masuk akal bagi orang dewasa.
Senada dengan Woon, Dr Chow juga menekankan pentingnya ketepatan waktu dalam melaporkan adanya masalah kepada sekolah atau pusat pendidikan. Dia mendesak para orang tua untuk selalu mengklarifikasi jika muncul indikasi kekerasan fisik, dan menanyakan soal hubungan anak dengan kawan-kawan atau gurunya.
"Jangan tunggu lain waktu. Pastikan untuk menyimpan dokumentasi dan foto. Suarakan kekhawatiran dan pengamatan Anda kepada guru, dan cari tahu apa yang terjadi sehingga tanda fisik tersebut muncul. Jika diperlukan, angkat terus masalah ini dan minta tindakan dari sekolah atau aparat," kata Dr Chow.
BIASAKAN TERBUKA DALAM BERKOMUNIKASI
Daripada menunggu terjadinya krisis sebelum sempat bertindak, sebaiknya orang tua terlibat secara konsisten dengan anak. Keterlibatan ini sangat penting bagi pertumbuhan emosional dan keamanan mereka, seperti kata Woon, "kita tidak bisa hanya meminta anak-anak usia prasekolah untuk bicara", kita harus berada bersama mereka.
"Orang tua harus menjalin hubungan dengan anak-anak usia prasekolah dengan cara melakukan berbagai hal bersama. Makan bersama. Menidurkan mereka. Tidak peduli seberapa lelah atau sibuknya orang tua, mereka tetap harus mendengarkan anak-anak, bahkan untuk masalah kecil sekalipun. Apa yang dianggap remeh oleh orang dewasa, mungkin hal besar bagi anak-anak."

Gladys Hu mengatakan, menunjukkan kesediaan untuk mendengarkan adalah salah satu bentuk upaya verbal dan non-verbal dari orang tua. Hu membagikan tip berikut ini:
- Beri perhatian penuh kepada anak ketika mereka sedang berbagi, jangan sambil melakukan hal lain.
- Duduk sama tinggi dengan mereka, pertahankan kedekatan fisik, jangan sambil menyilangkan tangan dari kejauhan.
- Dedikasikan waktu lima hingga 10 menit untuk tiap anak, jelaskan alasannya. Orang tua bisa mengatakan, "Ini adalah waktu khusus ibu dengan kamu, dan kamu bisa menceritakan apapun."
- Ajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong untuk berbagi dan hindari menceramahi atau memberi perintah saat anak membuka diri.
Hu menambahkan: "Apa yang diceritakan anak-anak masuk akal di dunia mereka, bahkan jika itu tidak masuk akal bagi orang dewasa. Anak-anak mudah terpengaruh dan bisa dengan cepat membaca tanda-tanda verbal atau bahasa tubuh yang tidak disengaja, yang menunjukkan bahwa Anda tidak setuju atau tidak tertarik mendengarkan mereka."
Selain menciptakan ruang aman di rumah, psikolog pendidikan Daisy Tan menyarankan orang tua untuk mengambil sikap proaktif dalam melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan.
"Lakukan percakapan sejak dini untuk mengajarkan mereka tentang keamanan tubuh, hak-hak mereka dalam situasi yang membuat mereka merasa tidak aman (misalnya, melaporkannya kepada orang dewasa tepercaya) dan untuk mengetahui seberapa aman perasaan mereka dalam situasi-situasi berbeda menggunakan skala satu sampai lima," kata dia.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.