Apa jadinya jika pendisiplinan anak melibatkan kekerasan? Bagaimana semestinya menghadapi si kecil yang sulit diatur?
Orang tua dan pengasuh kadang menggunakan kekerasan agar si kecil patuh. Berikut kiat dari para pakar terkait cara menghadapi anak yang sering berulah.

SINGAPURA: Sebagai orang tua, barangkali Anda pernah mengalami momen tidak mengenakkan ketika si kecil mengamuk akibat tidak dibelikan es krim, atau ia sengaja berlama-lama memakai sepatunya padahal bus jemputan sekolah sebentar lagi tiba.
Dalam situasi seperti itu, Anda pun kehabisan akal: Anda seret si kecil keluar dari toko atau, pada contoh kedua, Anda sentak dia dari kursi agar lekas berdiri.
Namun, adakah dampak jangka panjang dari ledakan kemarahan atau aksi naik pitam semacam itu pada perkembangan anak Anda? Adakah cara tepat untuk menangani anak yang tak acuh atau sulit diatur?
“Definisi main tangan ialah menarik atau memegang seseorang secara paksa atau kasar agar ia pindah tempat atau melakukan sesuatu,” ujar Terri Chen, ketua sekaligus psikolog utama senior Tim Psikologi di Departemen Kedokteran Psikologis, National University Hospital (NUH) Singapura.
“Hal ini biasanya terjadi saat orang dewasa memiliki ekspektasi yang tidak bisa dipenuhi anak dalam situasi-situasi time-sensitive yang membutuhkan sikap langsung taat atau patuh. Si orang dewasa juga mungkin diliputi rasa cemas, frustasi, atau marah.”

Menurut Chen, kemungkinannya lebih besar bagi anak kecil untuk terkena tindakan main tangan. Penyebabnya adalah kesulitan mereka dalam memahami dan mengikuti instruksi serta keterbatasan mereka dalam menyampaikan maksud secara jelas.
Ia menambahkan, perlakuan kasar yang dilakukan orang dewasa demi terlaksananya sesuatu sesuai keinginan bisa berujung pada pendisiplinan secara fisik apabila tujuan tersebut ternyata tidak tercapai.
KETIKA ORANG TUA MAIN TANGAN
Anak yang sering berulah dapat memicu tindakan fisik dari orang tua sebagai respons. Orang tua pun bisa saja menganggap main tangan memang diperlukan dalam mendisiplinkan anak.
Mengutip satu studi oleh Singapore Children's Society dan Yale-NUS College, Chen mengatakan bahwa hampir 45 persen orang tua menerapkan hukuman fisik sebagai bentuk pendisiplinan. Sebagian orang tua menilai hal tersebut masih wajar, sehingga mereka "mungkin tidak merasa bahwa main tangan terhadap anak merupakan sesuatu yang tidak patut."

Ada pula orang tua yang main tangan karena salah mengartikan perilaku anak yang sulit diatur sebagai sikap memberontak, kata Dr. Chin Zhen Hui, psikolog utama dari Tim Psikologi di Departemen Kedokteran Psikologis NUH.
"Perilaku tidak patuh anak bisa meningkatkan rasa insecure dan vulnerable pada orang tua, misal 'saya orang tua gagal' atau 'saya banyak kurangnya'. Ketika seseorang terlalu dipenuhi emosi negatif, sulit menangani situasi dengan tepat," katanya.
Namun, masyarakat sepertinya lebih toleran terhadap orang tua yang memperlakukan anaknya dengan kasar ketimbang ketika pengasuh yang melakukannya.
“Mungkin ada persepsi bahwa masyarakat menerapkan standar ganda, berharap penyedia layanan anak berbuat jauh di atas standar minimum,” kata Dr. Annabelle Chow, seorang psikolog klinis dari Annabelle Kids. “Menurut saya, masyarakat seharusnya menuntut orang tua dan penyedia layanan untuk memiliki standar minimum perawatan.”

“Orang tua ingin anak mereka aman secara fisik maupun emosional di sekolah, tapi melecut anak sendiri karena berulah di rumah malah tidak dianggap sebagai tindakan fisik yang menyakitkan,” ujarnya. “Dalam situasi apa pun, orang tua atau pengasuh tidak boleh menganiaya anak secara fisik maupun emosional, ataupun menelantarkan anak.”
Konsekuensi hukumnya sama bagi orang tua maupun guru yang melakukan kekerasan terhadap anak, kata Dr. Chin. Yang membedakan, menurutnya, adalah keyakinan masyarakat. Orang tua yang berlaku kasar terhadap anak diasumsikan bermaksud baik atau bertindak demikian justru karena rasa peduli.
SALAH KAPRAH: KASAR ITU PERLU
Adapun bagi anak, "efek paling langsung adalah rasa syok dan cemas akibat diperlakukan seperti itu," ujar Chen. "Pesan yang sampai kepada anak adalah bahwa tidak ada ruang aman dan dia perlu berulah untuk mendapatkan apa yang dia mau."
Ia menambahkan, intensitas emosi ini kian dalam jika perlakuan kasar terus berulang, sehingga memperkuat persepsi anak tentang dunia yang tidak aman.

Menurut situs web Kementerian Pembangunan Sosial dan Keluarga Singapura, dampak dari kekerasan fisik berkepanjangan terhadap anak bisa jauh lebih serius, seperti perkembangan yang lebih lambat di sekolah, serta daya tangkap maupun nilai yang lebih rendah. Lantas, ketika dewasa, mereka mungkin akan sulit membina persahabatan maupun hubungan dekat dengan anggota keluarga dan pasangan.
Jika anak sering dikasari, "sangat mungkin kita akan melihat efek yang sama dengan hukuman korporal, sebab anak akan mengalami stres, kecemasan, dan ketidakberdayaan yang begitu besar," jelas Chen.
Ragam emosi yang kuat ini bahkan dapat mengubah struktur otak dan sistem regulasi stres anak. "Hal ini akan memengaruhi respons ketakutan anak, kemampuannya mengatur emosi, bahkan mungkin kesehatannya juga. Individu-individu ini cenderung akan berperilaku tidak sehat ketika dewasa, seperti menggunakan zat-zat terlarang atau menyakiti diri sendiri agar bisa meregulasi emosi."

ORANG DEWASA PUN PERLU BELAJAR TENANG
Menurut Dr. Chin, orang tua perlu memerhatikan kondisi emosi pribadi saat menghadapi anak yang berulah, serta mengambil beberapa langkah untuk menenangkan diri jika perlu. "Ingatkan diri bahwa perilaku anak bisa disebabkan oleh berbagai macam hal, seperti kurang keterampilan komunikasi atau kurang pemahaman – tanda ingin mengeksplorasi atau indikasi butuh rasa nyaman atau perlindungan."
Menggunakan cara ini untuk memahami amukan anak di toko mainan, misalnya, "bisa membantu orang tua mengurangi intensitas frustrasi mereka dan lebih fokus pada pemahaman situasi," ujarnya.
Dr. Chow punya slogan untuk membantu orang tua meregulasi diri: Practice the pause – praktikkan jeda. "Ketika mempraktikkan jeda, kita memberi jarak antara perasaan intens – seperti amarah – dengan reaksi. Ini membantu kita mengurangi kemungkinan main tangan terhadap anak akibat emosi."
Ketika Anda siap menangani situasi, telaah berbagai kemungkinan di balik amukan anak tadi, dan tangani situasi tersebut, kata Dr. Chin. "Pastikan anak fokus pada Anda sebelum Anda bicara," tambahnya, dan untuk itu Anda mungkin perlu membungkuk atau duduk agar sejajar dengan garis pandang anak.
“Sebisa mungkin, antisipasi situasi dengan memberi tahu anak perilaku yang diharapkan," kata Dr. Chin. "Sampaikan ekspektasi yang layak sebelum dia menyelesaikan tugas, terutama sesuatu yang dia suka, untuk mengurangi kemungkinan disregulasi emosi."

BANTU ANAK BELAJAR MENGENDALIKAN EMOSI
Cara Anda mengendalikan emosi turut menjadi contoh bagi anak. "Bagaimana orang tua mencontohkan kepada anak cara memecahkan masalah dalam situasi sulit, serta mengatur rasa marah, frustrasi atau sedih, itu lebih efektif daripada sekadar mengucapkan atau mengulang-ulangnya," kata Dr. Chow.
Menurut Dr. Chow, salah satu kiat mengajari anak cara mengidentifikasi dan mengelola emosi adalah dengan menggunakan sistem lampu lalu lintas: Merah berarti berhenti (untuk perasaan-perasaan sangat intens), kuning berarti tunggu (rasa risih atau sebal yang memuncak), hijau berarti jalan (bahagia, puas).
“Misalnya, dalam situasi di mana kita berada di zona merah (sangat marah), kita bisa bilang ke anak 'Mama lagi di zona merah nih. Mama mandi dulu ya, nanti kita ngobrol'."
Namun sebelumnya, batasan dan konsekuensi perlu dibahas dan ditetapkan, kata Dr. Chow. “Anak-anak menguji batasan dan mengamati konsekuensi dari tindakan mereka. Konsekuensi perlu dijelaskan dan diterapkan secara konsisten. Ini membantu anak-anak menyadari bahwa ada batasan-batasan yang tidak dapat dinegosiasikan, termasuk perilaku menyakiti orang lain atau merusak barang."
Jangan lupa untuk memuji anak ketika ia melakukan sesuatu dengan baik – dan sampaikan alasan di balik pujian tersebut. Misalnya, katakan "terima kasih ya sudah mau bantu bawa piring sehabis makan" saat anak Anda membawa piringnya sendiri ke wastafel.
“Berikan pujian saat itu juga dan bukan setelahnya,” kata Dr. Chow. “Selain itu, hargai upaya anak meski dia gagal menyelesaikan sesuatu. Ini memperkuat konsep mencoba dan berusaha, dan bahwa hasil bukan selalu yang utama. Skenario-skenario ini juga membantu memperkuat arti penting meminta tolong jika anak membutuhkannya."

MENGATASI RASA TERTEKAN AKIBAT PERLAKUAN KASAR
Cara anak memproses perasaan intens akibat perlakuan kasar bergantung pada ketahanannya. “Lingkungan sosial yang stabil dan mendukung” berupa hubungan kuat antara anak dengan orang tua, kakek nenek, dan guru dapat meningkatkan ketahanannya, kata Dr. Chin. “Anak perlu merasa aman dan didukung untuk menjelajahi dunia, dan perlu tahu bahwa dia bisa menemukan dukungan sosialnya dengan mudah saat butuh perlindungan dan kenyamanan."
Parah atau tidaknya dampak dari sikap main tangan bergantung pada jangka waktunya, kata Dr. Chow. “Seberapa parah kerusakan yang ditimbulkan bisa bervariasi, tapi tidak selalu tidak bisa dipulihkan."
Menurut Dr. Chin, Anda perlu membahas insiden perlakuan kasar demi memahami perasaan anak dan “agar si anak paham bahwa bukan dia yang bersalah." Ini juga kesempatan agar anak belajar melindungi diri ketika situasi serupa nantinya berulang, ujarnya.
“Bangun harga diri anak, termasuk dengan menunjukkan kelebihannya, demi memperkuat keyakinan bahwa dia memang berharga."
Jika Anda tidak yakin caranya, minta bantuan psikolog atau terapis anak, kata Dr. Chow. “Mungkin butuh waktu untuk mendukung anak mempelajari hubungan sehat, rasa percaya, atau keterikatan, tetapi lewat interaksi positif yang konsisten dan bentuk disiplin yang tepat, hal itu mungkin.”
Bagi orang tua dan pengasuh yang merasa perlu belajar cara-cara yang efektif dan non-fisik dalam menerapkan aturan dan batasan pada anak, tersedia berbagai sumber daya online gratis, kelas pelatihan, dan kelompok dukungan orang tua yang dapat diikuti, ujar Dr. Chow.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.
Â