Putranya meninggal bunuh diri, ibu ini menitipkan pesan bagi para orang tua
Tahun lalu, 476 orang di Singapura bunuh diri. Seorang ibu yang putranya meninggal bunuh diri menitipkan pesan kepada para orang tua tentang apa yang harus mereka perhatikan dan bagaimana cara memberi dukungan kepada anak.

SINGAPURA: Beberapa minggu sebelum bunuh diri di usia 23 tahun, Paul Ko sempat memberi tahu ibunya bahwa dia dalam tahap pemulihan dan tengah menjalani perawatan untuk mengatasi gangguan kesehatan jiwa yang dihadapinya.
Dua tahun berselang, duka atas kehilangan dirinya belum juga mereda. Alicia Lim, ibunda Paul, menyadari ada tanda-tanda peringatan sebelum putranya mengakhiri hidupnya sendiri.
Berbicara kepada CNA sepekan setelah keluarnya laporan 476 kasus bunuh diri di Singapura tahun lalu, Alicia membagikan kisahnya dengan harapan tidak ada orang tua yang bernasib sama seperti dirinya.
"Lebih banyaklah mendengar, dan sedikitlah bertanya. Sebagai orang tua, terkadang kita terlalu banyak bertanya dan tidak mendengarkan. Saya kira menjadi pendengar yang baik lebih penting ketimbang mencari solusi bagi mereka," kata dia.
Angka bunuh diri di Singapura tahun lalu adalah yang tertinggi dalam lebih dari 20 tahun. Hampir satu dari lima orang yang bunuh diri berusia 20 hingga 29 tahun.
"Ketika melihat artikel tersebut, saya beberapa kali menghela nafas panjang sebelum membaca laporan itu seluruhnya. Karena saya merasa sangat menyedihkan dan memprihatinkan ada yang kehilangan nyawa seperti itu. Dan tentu saja, laporan ini membuat saya terkenang akan putra saya yang telah meninggal," kata Alicia.
KISAH PAUL
Dikenal sebagai ekstrover yang selalu ingin membantu sesama, Paul bercita-cita menjadi pekerja sosial, yang membuat dia akhirnya memutuskan mengambil studi untuk menjadi perawat.
Tapi tekanan tinggi dalam studinya memaksa Paul mengubah rencana dan beralih mempelajari drama di Nanyang Academy of Fine Arts (NAFA), tempat dia lulus dengan gelar diploma.
Sebagai yang tertua dari tiga bersaudara, Paul selalu perhatian kepada adik-adiknya.
"Dia akan mengajak mereka makan di luar, untuk lebih akrab. Sebagai kor kor (kakak tertua), dia sangat perhatian kepada adik-adiknya," kata Alicia.
Terutama yang paling disayangi Paul adalah adik perempuan bungsunya, yang lahir dengan autisme ringan. Sejak sekolah dasar, Paul turun tangan langsung dalam merawat adiknya tersebut.
Pada 2019, Paul mulai tinggal jauh dari rumah, membuat hubungannya dengan sang ibunda menjadi renggang.
Dia mulai mengalami masalah pencernaan dan meminta obat tidur kepada ibunya. Alicia tidak terlalu ambil pusing, mengira masalah tidur putranya karena dia terlalu larut saat bermain gim.
Pada percobaan bunuh diri yang pertama, Paul memberitahu kawannya yang kemudian lapor ke polisi. Keluarganya dikabarkan mengenai peristiwa itu, kemudian mereka mulai melakukan konseling.
Pada 2020, ketika COVID-19 menghantam dan Singapura menerapkan perintah pembatasan selama dua bulan - saat itu warga hanya boleh keluar rumah untuk urusan penting -, Paul kesulitan untuk tetap diam di rumah. Suasana rumah menjadi tegang, dan ketika perintah pembatasan berakhir, dia mencoba bunuh diri untuk yang kedua kalinya.
Paul kemudian dirujuk ke Institut Kesehatan Jiwa (IMH) Singapura dan mulai menemui konselor. Sekali lagi, semuanya terlihat mulai membaik.
"Setelah percobaan bunuh diri yang kedua, saya melihat perubahan karakternya. Saya melihat perubahan sikapnya dalam memandang kehidupan. Dan saya kira dia telah menyadari apa yang telah diperbuatnya, dan apa yang seharusnya tidak boleh dilakukannya," kata Alicia.

Paul lulus dari NAFA dan mulai bekerja di gerai makanan sembari jadi sukarelawan untuk mengirimkan makanan dan minuman setiap pekannya untuk pemilik kios-kios di Pulau Ubin.
Pada awal 2021, konselor mengatakan kepada Alicia bahwa perkembangan putranya cukup bagus dan Paul sudah mulai membaik.
PAUL MERASA LEBIH BAIK
Sebulan sebelum hari nahas itu, Paul mengajak ibunya makan malam untuk memperingati Hari Ibu.
"Dia berkata, 'Ibu, saya tahu ibu selama ini sudah khawatir. Saya cuma ingin bilang, saya sudah lebih baik. Saya tidak ingin ibu khawatir lagi. Saya sudah tahu apa yang harus dilakukan'.
"Yang ingin dilakukannya adalah ikut wajib militer, dan setelah itu, dia ingin ambil kursus untuk meningkatkan kemampuan menulisnya, karena dia ingin menulis naskah ... Kepada saya, dia menceritakan mimpi-mimpinya dan inspirasinya atau apa yang akan dia lakukan selanjutnya," kata Alicia.
"Saya sangat bahagia dia mau berbagi soal itu semua, dan bagi saya, ini seperti jawaban atas doa-doa; ketika anak itu datang dan mengatakan dia sudah (sadar) dan ingin mengejar masa depannya," lanjut dia.
Walau mengalami stres dalam pekerjaan dan adanya pembatasan COVID-19, Paul mengaku akan tetap menjalani konseling. Dia juga rutin menghabiskan waktu dengan keluarganya, dan tidak luput mengirim pesan kepada Alicia agar ibunya tahu keberadaannya.
"Saya telah melihat kondisi terburuk Paul sebelumnya, dan kali ini kondisinya tidak seperti itu. Saya mengira dia telah menjalani perawatan dan sudah baik-baik saja."
Di tengah kondisi yang mulai membaik, Alicia sama sekali tidak menyangka polisi akan mengetuk pintu rumahnya sebulan kemudian.
Pada malam tanggal 4 Juni 2021, Paul membantu adik lelakinya menulis email ketika anggota keluarga yang lainnya pergi tidur seperti biasa. Tapi keesokan paginya, polisi mendatangi rumah mereka.
Alicia masih mengingat dengan jelas situasi pagi itu - polisi memasuki kamar Paul dan menemukan pesan terakhir untuk keluarganya.
"Saya bertanya kepada polisi 'di mana anak saya sekarang? Apa anak saya masih hidup?' dan dia bilang 'tidak'. Itulah saat-saat di mana saya mulai menangis."
Rekaman CCTV menunjukkan Paul meninggalkan rumah sekitar pukul 1 pagi.
"Dia terlihat biasa saja (saat meninggalkan rumah). Lantas mengapa dia mengambil keputusan untuk tidak pernah pulang lagi ... kami tidak tahu jawabannya."
Segera setelah kematian Paul, Alicia bertanya kepada dirinya sendiri apakah sebetulnya dia bisa menjadi ibu yang lebih baik.
"Kenapa dia tidak mendatangi saya di malam ketika dia keluar rumah? Kenapa dia membuat saya lengah dengan mengatakan bahwa dia baik-baik saja, padahal tidak sama sekali?"
Amarah Alicia lantas menyeruak - kepada dirinya sendiri, kepada Paul, kepada Tuhan, dan kepada pandemi COVID-19.
"COVID-19 jelas telah memengaruhi kesehatan jiwanya ... Setelah pembatasan aktivitas dicabut, saya sangat marah. Jika saja anak itu mau menunggu sebentar lagi, mungkin dia masih hidup untuk bisa menyaksikan bahwa kondisi ini hanya sementara."
Alicia kehilangan asa dan semangat hidup, dan dia tidak tahu bagaimana menjelaskan kematian Paul kepada anak-anaknya yang lain.
"Ketika dia (adik perempuan Paul) melihat kakaknya terbaring di peti mati, dia mendekat dan meminta kor kor untuk bangun. Dia tidak mengerti mengapa kakaknya tidak ikut pulang," kata Alicia.

TANDA-TANDA PERINGATAN
Paul sangat dekat dengan ibunya. Seperti kebanyakan keluarga lainnya, mereka juga bertengkar dan berdebat. Tapi setelah Paul dewasa, hubungan mereka juga semakin matang.
"Sebagai orang tua, kita juga harus mengubah gaya pengasuhan dan mengupayakan yang terbaik untuk memasuki dunia anak agar memahami sudut pandang mereka. Saya berusaha memahaminya sebagai teman terlebih dulu, sebelum memunculkan peran seorang ibu. Tidak mudah memang ... tapi itulah cara agar saya bisa mengenal anak-anak dengan lebih baik."
Tidak ada "daftar baku" yang memuat gejala bunuh diri, kata Alicia. Jika mengenang ke belakang, dia berharap dapat berusaha lebih keras untuk mencegah Paul melakukan itu, bahkan dari sejak percobaan bunuh diri pertamanya.
Paul meminta obat tidur dan punya masalah pada pencernaan. Saat itu, Alicia mengira putranya hanya terlalu cemas dan dia sulit tidur karena begadang bermain gim komputer. Tapi ternyata itu adalah pertanda stres.
Selain tanda-tanda fisik, Alicia berharap bisa mengenal kawan-kawan putranya dengan lebih baik. Tujuannya agar dia bisa meminta mereka membantu Paul.
"Saya tidak mampu berkata-kata kepada anak saya, terutama setelah percobaan bunuh dirinya yang kedua. Saya tidak tahu lagi cara berbicara dengannya, karena sebagai ibu saya sangat kesal dia melakukan hal itu lagi (percobaan bunuh diri)."
"Tapi di waktu yang sama, saya tidak mau marah-marah dan menambah beban pikirannya. Saya hanya tidak tahu bagaimana cara berbicara dengannya."

Alicia sekarang menjadi anggota kelompok penyokong yang membantu meringankan duka orang tua yang kehilangan anak karena bunuh diri.
Menyisihkan waktu berbicara empat mata dengan anak sangat penting agar perhatian mereka tidak terbelah. Di saat itulah, mereka bisa lebih terbuka dengan masalah yang dihadapi.
Memang mudah bagi orang tua memberikan solusi atas masalah anak, tapi Alicia mengimbau agar lebih banyak mendengarkan dan sedikit bertanya.
"Sebenarnya anak-anak tahu solusinya - mereka tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, tapi mereka cuma ingin didengarkan," kata dia.
"Saya juga masih belajar, dengan anak saya yang bungsu. Jelas sekali bahwa setiap anak berbeda - dan kita harus belajar memberikan yang terbaik ketika mengasuh mereka," imbuh Alicia lagi.
"Saya tidak bilang bahwa saya tahu semua cara menjadi orang tua, bahkan setelah apa yang saya alami.
"Saya kira mencegah jelas lebih baik dari pada mengobati. Kita lakukan saja yang terbaik. Jika Anda bertanya apa yang sudah saya lakukan, saya akan katakan, jika saya punya kesempatan, tentu saja saya ingin mencegahnya bahkan pada upaya bunuh dirinya yang pertama."

Ada banyak hal yang bisa memicu kesedihan Alicia, misalnya saat perayaan Natal, Tahun Baru Imlek, atau saat ada seseorang yang mengunggah foto putranya yang ikut wajib militer.
Selain menyerukan anak-anak muda untuk mencari pertolongan jika menghadapi gangguan kesehatan jiwa, Alicia juga menyarankan keluarga untuk menjaga orang-orang tercinta mereka.
Seorang anak mungkin berbicara soal bunuh diri secara selintas saja, tapi keluarga harus menanggapinya dengan serius.
"Saya tahu tidak mudah hidup bersama orang dengan pemikiran seperti itu. Akan sangat melelahkan sebagai orang tua ... Jika Anda tidak punya kapasitas dan kesabaran yang cukup untuk membantu dia, maka carilah orang yang bisa. Pantau dia secara terus menerus," kata Alicia.
Cari bantuan dengan menghubungi:
Call Center 24 jam Halo Kemenkes 1500-567
Info lebih lanjut seputar bantuan kesehatan jiwa terdapat di artikel ini.
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.