Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Indonesia

Antar pizza berujung temuan nisan berumur 320 tahun dan ambisi berburu makam kuno di Semarang

Ketertarikan Pippo Agosto terhadap makam Tionghoa kuno membuatnya menemukan nisan tertua di Semarang. Ambisinya adalah mendokumentasikan sejarah warga Tionghoa di kota itu.

Antar pizza berujung temuan nisan berumur 320 tahun dan ambisi berburu makam kuno di Semarang

Pippo Agosto di makam Tionghoa terbesar di Semarang, Indonesia. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

SEMARANG, Jawa Tengah: Dari jarak puluhan meter, Pippo Agosto mampu melihat sesuatu yang tidak biasa dari jalanan dan rumah-rumah di Bergota, bukit di jantung kota Semarang di mana pemakaman berusia ratusan tahun berdampingan dengan perumahan modern.

Jalanan di Bergota kebanyakan terbuat dari aspal, beton atau batu bata, tapi ada beberapa bagian berupa tangga yang terbuat dari potongan batu besar, ditutupi tanah dan lumut.

"Dilihat dari bentuknya, kita tahu batu-batu ini adalah makam Tionghoa kuno," kata Pippo kepada CNA, sembari merunut bentuk setengah lingkaran dari batu berdiameter 6 meter itu dengan telunjuknya. 

Bagian kanan dari batu berbentuk tapal kuda itu dipahat sedemikian rupa untuk melindungi makam dari angin kencang. Namun sisi itu kini dibentuk menjadi anak-anak tangga. Sisa-sisa makam tersebut telah berubah menjadi pondasi sebuah rumah.

Bagian lain dari makam tersebut telah ditutupi semak belukar dan sampah. Sebagian lainnya dijadikan tiang penyangga rumah. Tulisan Mandarin di nisan itu tidak terbaca karena bentuknya sudah kabur lantaran bertahun-tahun terpapar hujan dan tetesan air dari pipa.

Didampingi oleh penggali kubur setempat (kanan), Pippo Agosto makam Tionghoa yang ditinggalkan di Semarang yang telah dirambah oleh sebuah rumah. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

Pippo, guru les privat berusia 50 tahun, dalam empat tahun terakhir telah menjelma menjadi sejarawan amatir dan pemburu makam yang telah menemukan makam-makam Tionghoa kuno di Semarang dan mendokumentasikannya.

Semarang, ibu kota Jawa Tengah, adalah salah satu pusat perdagangan penting di pulau Jawa. Masyarakat Tionghoa telah ada di kota ini sejak abad ke-15 diawali dengan kedatangan laksamana Zheng He dari China.

Menurut sejarahnya, Semarang pada tahun 1900 adalah rumah bagi komunitas Tionghoa yang besar. Salah satu tokoh paling terkenal dari kota ini di awal abad ke-20 adalah pengusaha Oei Tiong Ham atau "Raja Gula di Jawa" yang kemudian pindah ke Singapura.

DARI KETIDAKSENGAJAAN

Meski tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bidang sejarah, namun Pippo yang merupakan sarjana biologi mengaku tertarik dengan kisah masa lampau Semarang. 

Dia mendokumentasikan perjalanannya di Facebook, membagikan kunjungannya ke reruntuhan kuil dan istana Jawa kuno, bangunan kolonial Belanda, dan situs-situs bersejarah lainnya.

Ketertarikannya pada makam Tionghoa dimulai pada satu hari di Desember 2020.

"Teman saya mengirim pesan, bahwa dia tersandung nisan Tionghoa ketika sedang mengantar pizza," kata Pippo.

"Nisan itu digunakan sebagai alas pot bunga. Dia mengirimi saya foto-foto nisan itu, bertanya apakah saya kenal seseorang yang bisa membaca pahatan di atasnya."

Batu nisan Tiongkok berusia 320 tahun yang digunakan sebagai penutup selokan dan alas untuk pot bunga, dalam foto yang diambil pada Desember 2020. (Foto: Pippo Agosto)

Ketika itu, Pippo yang bukan orang Tionghoa, tidak memahami tulisan tersebut. Terlebih lagi, karakter yang terpahat di atas nisan itu sepertinya berasal dari masa ketika sistem penulisan Mandarin belum distandardisasi.

Dia kemudian bertanya kepada beberapa sejarawan dan tokoh masyarakat Tionghoa. Akhirnya diketahui bahwa nisan itu adalah milik Wu Yen Kuan, pria dari wilayah Siyi di provinsi Guangdong, China.

Nisan itu diyakini dipahat dan digunakan pada dinasti Qing di kepemimpinan Kaisar Kangxi di tahun ular besi, atau sekitar tahun 1701.

Sejarawan profesional mengonfirmasi bahwa itu adalah nisan Tionghoa tertua yang pernah ditemukan di Semarang, kata Pippo.

Para pekerja memindahkan batu nisan Tiongkok berusia 320 tahun yang digunakan sebagai penutup selokan oleh penduduk setempat di Semarang. (Foto: Pippo Agosto)

MENGAPA WARGA TIONGHOA TIDAK TAHU ASAL USUL MEREKA

"Semarang kaya akan sejarah. Sayangnya, sejarah yang berkaitan dengan Tionghoa tidak terlalu banyak diketahui ... untuk kuburan-kuburan belum pernah jadi perhatian khusus," kata Pippo.

Kebanyakan sejarah mengenai hal ini hilang pada pertengahan 1960-an, ketika merebak sentimen anti-komunis - yang kemudian menjadi anti-China - di seantero Indonesia.

Merespons sentimen ini, Presiden Suharto ketika itu melarang literatur, budaya dan huruf Tionghoa, memaksa masyarakat keturunan China mengubah nama mereka agar terdengar lebih Indonesia.

"Banyak masyarakat Tionghoa, terutama generasi saya, sudah lupa nama asli mereka. Mereka tidak lagi bicara bahasa Mandarin," kata Bram Luska, 38, teman Pippo, pemilik restoran pizza yang kakinya tersandung nisan kuno di Semarang.  

"Mereka tidak lagi tahu dari mana keluarga mereka berasal atau kapan leluhur mereka pertama kali datang ke Indonesia," kata Bram, yang mengaku tidak tahu banyak soal nenek moyangnya, hanya tahu soal marganya, entah itu Ng atau Huang.

"Sangat disayangkan. Karena ini adalah sejarah, warisan dan identitas kami," kata dia.

Bambang Wuragil, kepala Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Semarang, mengatakan bahwa terputusnya hubungan antara masyarakat Tionghoa saat ini dengan warisan leluhur mereka adalah penyebab makam-makam kuno ditelantarkan dan terlupakan.

"Orang-orang sudah tidak mau tahu lagi siapa nenek moyang mereka. Jadi mereka merasa (makam-makam) ini bukan milik mereka atau tidak diurus lagi," kata Bambang.

"Di saat yang sama, pemerintah perlu lahan untuk perumahan jadi makam-makam itu dikosongkan dan jenazahnya dikremasi."

Beberapa batu nisan makam Tiongkok kuno ini pernah digunakan sebagai penutup selokan atau bahan bangunan. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

Karena barang-barang peninggalan jenazah dianggap membawa sial dalam tradisi China, maka batu-batu nisan itu kebanyakan dibuang ketika jenazah dikeluarkan.

Itulah sebabnya, kata Bambang, banyak nisan yang akhirnya diambil orang dan digunakan sebagai penutup selokan atau material bangunan.

"Kami sangat prihatin karena di atas nisan itu terpahat nama leluhur seseorang," kata dia. "Kalau digunakan sebagai alas meja, mungkin masih bisa ditoleransi, tapi bagaimana kalau dipakai jadi penutup selokan dan diinjak-injak orang?"

Itulah mengapa Bambang mendukung upaya untuk menemukan dan mendokumentasikan makam serta nisan Tionghoa yang diabaikan. PSMTI telah membantu menemukan dan merestorasi puluhan nisan, termasuk yang tertua di Semarang.

Untuk saat ini, nisan-nisan itu disimpan di beberapa lokasi, seperti kelenteng, pemakaman umum dan di lahan pribadi milik Bambang. Bambang berharap suatu hari nanti PSMTI bisa membangun museum khusus untuk nisan-nisan itu.

"Harapannya, batu-batu nisan tersebut dapat diakses oleh keturunan almarhum, masyarakat umum, dan siapa pun yang ingin mempelajarinya," katanya.

Bambang Wuragil dari Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Semarang. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

MENGUMPULKAN KEPINGAN PUZZLE

Kegemaran Pippo dalam berburu nisan menular ke Bram.

Keduanya bertemu setiap pekan selama empat tahun terakhir untuk menelusuri peta kuno dan catatan sejarah, untuk kemudian menyisir tempat-tempat yang diyakini terdapat makam Tionghoa, seperti perbukitan dengan pemandangan sungai yang banyak terdapat di Semarang.

"Kami bisa memberikan data dari lapangan untuk para sejarawan. Kami mengumpulkan keping-keping puzzle agar bisa mereka susun menjadi gambaran besar. Bagi saya ini sangat menarik dan penting," kata Bram, warga Indonesia keturunan Tionghoa generasi keempat.

Setelah orangtua dan kerabat Bram keberatan dengan aktivitas berburu nisan yang mereka anggap tidak bermanfaat, akhirnya dia melakukan penelitian dari balik meja. Tugas lapangan diserahkan kepada Pippo.

Dia juga bertindak sebagai penghubung ke masyarakat. Jika Pippo menemukan sebuah nisan, Bram akan mencari siapa ahli warisnya untuk mengetahui kisah di baliknya.

Pippo Agosto (kiri) dan Bram Luska (kanan) melakukan penelitian di restoran pizza milik Bram. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

"Kami pernah menemukan makam letnan China bermarga Gui, dan seorang kawan SMA yang kini tinggal di Denmark menghubungi saya dan mengatakan kemungkinan dia punya hubungan dengan pemilik makam tersebut," kata Bram.

Di masa penjajahan, letnan adalah titel untuk petugas yang ditunjuk pemerintah Belanda untuk menjaga keamanan dan ketertiban di kalangan masyarakat Tionghoa.

"Setelah kami melakukan penelitian, ternyata teman saya itu, yang saya tidak tahu bermarga Gui, adalah kerabat letnan tersebut. Dia kemudian berterima kasih karena kami telah menemukan makamnya."

Dia dan Pippo menerima banyak permintaan dari masyarakat yang ingin menelusuri jejak nenek moyang mereka. Sejauh ini, sudah puluhan orang yang terhubung kembali dengan jejak leluhur yang hilang dan mengetahui sejarah keluarga mereka.

Pippo Agosto melihat peta Belanda kuno untuk mencari kemungkinan lokasi pemakaman orang Tionghoa. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

"Ada seorang perempuan yang saat ini tinggal di China. Dia punya foto tua makam nenek moyangnya dan bertanya apakah makam itu masih ada di sana. Kami menghabiskan waktu seminggu untuk mencari, dan akhirnya menemukannya," kata Bram.

"Kami juga suka mencari info dari penggali kubur dan warga setempat," Pippo menambahkan.

"Dari merekalah kami berhasil menemukan makam-makam di tempat-tempat yang tidak terpikirkan atau yang sudah berubah jadi tempat pembuangan puing atau pondasi rumah."

BERENCANA MENULIS BUKU

Pencarian makam Tionghoa kuno mengantarkan Pippo hingga ke sudut-sudut kota Semarang.

Dia telah naik turun perbukitan dan menerobos tebalnya semak belukar dan hutan bambu untuk mencari makam.

Karena banyak pemakaman yang telah dirambah oleh pembangunan kota, pencarian Pippo kerap berujung di dalam rumah warga atau bangunan milik pemerintah.

Pippo Agosto (dengan ransel) di Pemakaman Bergota di Semarang, Indonesia. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

Jika beruntung, nisan berusia ratusan tahun yang ditemuinya memuat banyak informasi mulai dari nama dan anggota keluarga yang masih hidup, status sosial pemilik makam hingga dari daratan China bagian mana dia berasal.

Dalam beberapa tahun terakhir, Pippo telah menemukan makam bangsawan dan tokoh masyarakat Tionghoa, dan juga pengusaha serta filantropis terkemuka.

Di antaranya adalah makam Chen Bi Cheng, yang menurut batu nisannya bergelar Grand Master Exemplar, salah satu pangkat tertinggi dalam dinasti Qing di China.

Pippo juga menemukan makam Tionghoa terbesar yang pernah ditemukan di Semarang, dengan diameter sekitar 7 meter. Satu-satunya pahatan yang dapat ia baca menunjukkan bahwa makam itu milik seorang wanita bermarga Thio.

Pippo Agosto belajar membaca aksara Tiongkok kuno sebagai bagian dari kegemarannya berburu makam dan sejarah. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

Terkadang, Pippo dan Bram juga menerima permintaan mencari makam di luar Semarang, dan Pippo pernah melakukan perjalanan hingga ke Yogyakarta, sekitar tiga jam perjalanan.

Ia juga telah belajar membaca aksara Tionghoa kuno. Komunitas Tionghoa serta sejarawan dari kota-kota lain juga sering mengiriminya foto-foto batu nisan yang mereka temukan untuk menanyakan tulisan di atasnya.

"Saya berharap akan ada pemburu makam lainnya di kota-kota lain. Karena saya sudah menerima permintaan dari luar Semarang untuk meneliti (makam-makam di sana)," kata Pippo.

"Saya orang Semarang, jadi saya hanya tahu sejarah Semarang. Akan lebih baik kalau di setiap kota ada seseorang yang mau meneliti sejarah kotanya sendiri."

Pippo mengatakan suatu hari nanti ia berencana menulis buku tentang lebih dari 100 makam yang ia temukan di Semarang.

"Dengan begitu, generasi mendatang dapat menggunakannya sebagai referensi dan membantu untuk lebih mengenal sejarah keluarga mereka, dari mana leluhur mereka berasal dan apa peran mereka dalam sejarah kota Semarang," katanya.

Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan