Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Indonesia

'Darah mengucur': Mengapa serangan buaya banyak terjadi di Bangka Belitung?

Kasus serangan buaya terhadap manusia di Indonesia adalah yang terbanyak di dunia. Di Bangka, tambang timah ilegal menjadi pemicunya.

'Darah mengucur': Mengapa serangan buaya banyak terjadi di Bangka Belitung?

Buaya air asin adalah spesies buaya terbesar. (Photo: CNA/Danang Wisanggeni)

PANGKALPINANG, Bangka: Setelah penghasilannya sebagai petani lada tidak lagi mencukupi, Lahmudin 15 tahun yang lalu akhirnya banting setir menjadi penambang timah ilegal.

Suatu hari di tahun 2013, dia pulang menggunakan sampan kayu setelah selesai menambang di dekat muara. Di tengah perjalanan, seekor buaya melompat ke atas sampan dan menyerangnya. 

"Pertama dia menyerang saya di sini," kata Lahmudin kepada CNA, sambil menunjuk ke paha kanannya.

"Tapi saya melawan balik, lalu dia menyerang paha kiri saya," ujar pria 40 tahun ini. "Sakit sekali. Darah mengucur dari kedua paha saya."

Serangan itu membuat Lahmudin lumpuh selama sebulan dan meninggalkan bekas luka. Tapi dia beruntung masih bisa selamat.

Penambang timah Lahmudin selamat dari serangan buaya lebih dari 10 tahun yang lalu (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)

Kasus serangan buaya terhadap manusia di Indonesia setiap tahunnya adalah yang terbanyak di dunia, berdasarkan data Crocodile Foundation, sebuah lembaga nirlaba di Amerika Serikat untuk perlindungan buaya.

Pencatatan CrocAttack menunjukkan ada lebih dari 1.000 serangan buaya terhadap manusia di Indonesia dalam 10 tahun dari 2023, menewaskan 486 orang. 

Bangka Belitung, tempat Lahmudin tinggal, adalah satu dari tiga provinsi di Indonesia dengan kasus serangan buaya terbanyak, berdasarkan studi yang dirilis di jurnal Biological Conservation pada April 2023. Dua provinsi lainnya adalah Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Timur.

Di pulau Bangka sendiri, serangan buaya meningkat dalam enam tahun terakhir, ujar Langka Sani, pakar lingkungan hidup pendiri organisasi penyelamat hewan di Pangkalpinang, Alobi Foundation.

"Lebih dari 60 orang meninggal dunia sejak 2016 (di Bangka), namun jumlahnya meningkat pesaat dalam enam tahun terakhir," kata Langka. Pada 2024, Alobi mencatat ada 10 kematian akibat serangan buaya hingga November.

"Dibanding tahun 2016 (saat Alobi memulai pendataan), naiknya cukup signifikan."

MENGAPA SERANGAN BUAYA MENINGKAT

Para ahli mengatakan, untuk mengatasi serangan buaya perlu juga dilihat dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan di Bangka.

"Konflik (antara buaya dan manusia) meningkat karena habitat buaya yang semakin rusak. Ini menjadi bom waktu," kata Langka.

Pulau Bangka kaya akan timah, komponen penting dalam barang elektronik seperti telepon seluler. Merek-merek besar seperti Apple dan Samsung dilaporkan memperoleh timah dari Bangka.

Indonesia adalah produsen timah terbesar ketiga di dunia pada 2023 setelah China dan Myanmar, menurut situs web pengumpul data Statista.

Penambangan timah mengancam habitat buaya air asin. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan, Bangka menyumbang 90 persen dari produksi timah nasional.

Selama bertahun-tahun, penambangan timah di Bangka dilakukan oleh PT Timah, perusahaan milik negara. Tetapi dalam lebih dari satu dekade terakhir, penambangan ilegal merajalela.

Para penambang skala kecil dapat menambang di area yang tidak semestinya, seperti kawasan hutan lindung atau konsesi perusahaan yang sedang dalam proses reklamasi.

"Kami tahu tambang ilegal merajalela - di belakang sekolah, di dekat gedung perkantoran, jadi ada di mana-mana," kata Langka.

"Buaya muara (Crocodylus porosus) hidup di dekat muara. Mereka tidak berada di laut dan tidak berada di sungai yang dalam. Buaya-buaya itu akan terganggu ketika ada penambangan ilegal di dekat muara."

Buaya muara, atau juga disebut buaya air asin, adalah yang terbesar dari semua spesies buaya dan dapat tumbuh sepanjang 7 meter dan berat hampir 1.000kg.

Buaya-buaya ini sangat sensitif terhadap suara, kata Langka.

"Jika ada banyak penambangan ilegal, suara-suara itu akan membuat mereka stres, dan mereka akan mencoba melawan atau bermigrasi.

"Kadang-kadang mereka menyerang penambang ilegal atau pindah ke hilir, tetapi di tempat baru sudah ada buaya lain."

Langka Sani adalah pendiri Alobi Foundation yang berbasis di Pangkalpinang, sebuah organisasi penyelamatan hewan. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)

Buaya-buaya itu kemudian akan bertarung memperebutkan wilayah, dan beberapa akhirnya terusir ke wilayah perkotaan.

Ada sekitar 97 aliran sungai di Bangka, dan banyak yang melintasi kota, salah satunya di Pangkalpinang, ibukota provinsi Bangka Belitung.

Karena badannya sebagian besar berada di bawah air yang keruh, buaya sulit sekali terlihat dari permukaan.

Penambangan timah juga mulai meluas dari darat hingga ke pesisir dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Langka, banyak sungai di Bangka saat ini sudah rusak.

Sedimentasi telah mengurangi aliran di beberapa sungai dan berdampak pada terumbu karang - tempat ikan-ikan berlindung, berkembang biak dan mencari makan. Kondisi ini juga mencegah pertumbuhan kepiting dan telur udang, sehingga pasokan makanan buaya semakin berkurang.

"Manusia bukanlah makanan buaya. Tapi untuk bertahan hidup, buaya tidak punya pilihan selain mencari makanan, jadi mereka mulai menyerang manusia. Kadang mereka menyerang sebagai bentuk perlawanan, bukan untuk berburu makanan," kata Langka.

DIBUNUH ATAU DISELAMATKAN

Setelah terjadi serangan, masyarakat akan menangkap atau membunuh buaya pelakunya. Endi Yusuf, manajer penyelamatan di Alobi mengatakan, masyarakat biasanya tidak akan menyerahkan buaya itu kepada mereka untuk diselamatkan.

Jika Alobi datang ke lokasi dan mendapati buayanya terluka, "peluang buaya itu selamat sangat kecil," kata Endi.

"Mereka akan mati saat kita menyelamatkannya," kata dia.

"Buaya dilindungi oleh hukum dan tidak boleh ditangkap, diburu atau dibunuh, meskipun tingkat konfliknya tinggi di Bangka."

Alobi Foundation berfokus pada penyelamatan dan konservasi satwa liar. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)

Meskipun terjadi pembunuhan untuk balas dendam dan ada perubahan habitat, namun populasi buaya di Bangka diyakini masih stabil. Meski tidak ada datanya, namun Langka yakin jumlah buaya air asin bahkan meningkat.

Buaya air asin diklasifikasikan sebagai spesies yang paling tidak dikhawatirkan oleh International Union for Conservation of Nature, dengan perkiraan ada 500.000 ekor buaya dewasa di seluruh dunia. Buaya jenis ini juga dapat ditemukan di negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Filipina dan Australia.

Pemerintah Bangka menyadari masalah ini, dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) sudah mencoba mencegah terjadinya penyerangan buaya terhadap manusia.

Dedi Susanto, kepala unit konservasi BKSDA, mengatakan kepada CNA bahwa petugas terus menerus menginformasikan kepada masyarakat di pinggiran sungai untuk waspada.

BKSDA juga bekerja sama dengan Alobi dan badan SAR setempat untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang berpotensi terjadi konflik antara manusia dan buaya.

Diperkirakan ada 500.000 buaya air asin dewasa di dunia. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)

Ketika masyarakat melihat buaya di lingkungan mereka dan melaporkannya, maka BKSDA akan menginformasikan kepada badan SAR atau Alobi untuk membantu menangkap reptil tersebut.

Alobi juga menangkap buaya jika mendapat laporan dari masyarakat.

Sebuah tim yang terdiri dari lima orang akan melakukan penangkapan. Setelah ditangkap, buaya itu kemudian dikirim ke pusat konservasi Alobi.

Ini bukanlah tugas yang mudah. "Buaya-buaya itu predator, jadi kami harus hati-hati," kata Endi.

"Setiap kali kami ingin menangkap buaya - kami menyebutnya misi penyelamatan - ada banyak kendala ... staf kami terbatas. Dan fasilitas kami juga terbatas," tambahnya.

Saat ini Alobi menampung 18 ekor buaya di kandang berkapasitas 30 ekor. Endi berharap pemerintah dapat membantu mendanai pembangunan kandang yang lebih besar untuk buaya-buaya tersebut.

Merelokasi buaya-buaya ke tempat lain tidak memungkinkan karena tidak ada lokasi yang cukup jauh dari manusia.

BUTUH SOLUSI NYATA

Dedi dari BKSDA percaya bahwa solusi nyata dari masalah ini adalah menciptakan pekerjaan alternatif dan menghentikan penambangan ilegal.

"Kalau (masyarakat) sejahtera, mereka tidak akan merusak lingkungan, dan buaya juga bisa hidup dengan tenang tanpa mengganggu manusia," kata Dedi.

Menambang timah adalah profesi utama di Bangka, pulau berpenduduk sekitar 1,1 juta jiwa dan 80 persen penduduknya adalah penambang.

Selama manusia masih menambang dan merusak lingkungan, satwa-satwa terus terganggu, kata Dedi.

"Jadi solusi jangka panjangnya adalah menghentikan penambangan ilegal dan perusakan lingkungan," katanya. "Hukum juga harus ditegakkan."

Lahmudin sendiri sampai saat ini masih bekerja sebagai penambang, namun telah pindah ke kabupaten lain.

"Saya takut diserang buaya, termasuk di tempat yang baru ini," kata Lahmudin, yang berpenghasilan sekitar Rp150.000 per hari.

"Tapi saya tidak punya pilihan lain. Tidak ada pekerjaan lain," katanya. "Sebisa mungkin, saya berusaha menjauhi aliran air."

Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan