Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Teknologi

Pasca gelombang PHK massal e-commerce, bagaimana nasib belanja daring? 

Dalam dua tahun terakhir, perusahaan niaga-el Lazada dan Shopee melakukan PHK besar-besaran menandakan akhir dari masa kejayaan belanja daring. Apakah ini mengindikasikan pelanggan tidak lagi dapat menikmati diskon dan biaya pengiriman barang yang rendah? 

Pasca gelombang PHK massal e-commerce, bagaimana nasib belanja daring? 
(Ilustrasi: TODAY/Nurjannah Suhaimi)

SINGAPURA — Pengurangan tenaga kerja yang dilakukan Lazada, perusahaan niaga elektronik/niaga-el (e-commerce), sebulan yang lalu tidak hanya menimbulkan rasa pilu bagi karyawan yang terdampak akibat keputusan itu, namun juga mengherankan banyak pengamat industri di Singapura. 

Sebelumnya, beberapa keluhan dari mantan karyawan telah ditangani dengan penyediaan paket dukungan tambahan setelah Lazada melakukan perundingan dengan serikat pekerja.

Namun menurut analis bisnis dan pakar industri, dalam wawancaranya dengan TODAY, keputusan Lazada memunculkan sebuah pertanyaan yang besar: Akankah ini menjadi akhir dari niaga-el yang sebelumnya begitu marak semasa pandemi Covid-19?

Sebelum Lazada mendadak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), kompetitor utamanya, Shopee, juga lebih dulu melancarkan pengurangan tenaga kerja dalam tiga babak di tahun 2022, yang mana karyawan Singapura ikut terdampak akibat keputusan tersebut. 

Para ahli melihat adanya kesamaan antara perusahaan niaga-el dan perusahaan teknologi seperti Meta, Google, Twitter (sekarang X) dan Grab yang sebelumnya juga memutuskan untuk melakukan PHK. Namun, kali ini situasinya berbeda dengan Lazada, yang berkantor pusat di Singapura.

Menurut keterangan yang diterima TODAY dari sumber yang dekat dengan Lazada, kemungkinan penyebabnya adalah, perusahaan teknologi merekrut tenaga kerja terlalu banyak karena ingin memperluas pangsa pasarnya. Namun kemudian, mereka mengurungkan niat karena perusahaan ingin fokus meningkatkan pendapatan.

Kendatipun, bagi Lazada, pengurangan tenaga kerja hanya "latihan transformasi bisnis" saja, kata sumber tersebut.

Menanggapi pertanyaan TODAY, juru bicara Lazada menjawab bahwa pendapatan perusahaan masih terbilang sehat. 

"Data menunjukkan bahwa (pendapatannya) tidak menurun, justru meningkat," kata juru bicara tersebut. 

"Namun pada umumnya, industri teknologi secara keseluruhan memang sedang mengalami perubahan. Ada perusahaan yang tertinggal sehingga harus memangkas pengeluaran. Sementara perusahaan seperti Lazada mengambil langkah maju untuk menghadapinya." 

Sebelumnya, TODAY telah mencoba menghubungi pihak Shopee, yang merupakan pemain besar dalam niaga-el di Singapura. Namun, mereka tidak memberikan tanggapan terhadap pertanyaan yang diajukan TODAY. 

Apakah ini akhir dari masa kejayaan niaga-el yang sebelumnya sempat merebak semasa pandemi COVID-19?

MENGAPA INI PENTING

Para ahli mengatakan bahwa perusahaan niaga-el menghadapi tantangan yang berbeda dibandingkan dengan perusahaan teknologi. 

Ketika perusahaan seperti Google, Meta dan Grab mendominasi masing-masing pasar, tidak satu pun perusahaan niaga-el di Singapura dan wilayah Asia Tenggara yang memimpin pasarnya, ungkap Dr Ng Weiyi, Lektor Departemen Strategi dan Kebijakan di National University of Singapore (NUS) Business School. 

Misalnya, Google mendominasi ranah mesin pencari sementara Meta menguasai ranah media sosial dengan keberadaan Instagram, WhatsApp, dan Facebook. Di Singapura sendiri, Grab memimpin pangsa pasar di ranah berbagi kendara.

Namun, pemain utama niaga-el di Asia Tenggara dan Singapura seperti Lazada dan Shopee masih bertarung memenangkan pangsa pasarnya.

"Begitu juga dengan perusahaan induk yang berharap Shopee dan Lazada dapat mendominasi pasar niaga-el. Namun ternyata, saat ini, niaga-el masih sangat buyar dan terlalu jenuh," kata Dr Ng. 

Selain itu, sejumlah perusahaan niaga-el memiliki aliran pendapatan yang tidak begitu deras, sedangkan perusahaan teknologi lainnya setidaknya memiliki sumber aliran pendapatan yang banyak atau dapat diandalkan. 

Profesor Lawrence Loh, direktur Pusat Tata Kelola dan Keberlanjutan di NUS, menjelaskan bahwa pendapatan perusahaan niaga-el sangat dipengaruhi oleh seberapa baik mereka dapat memenuhi permintaan langsung dari pelanggan. Namun, tampaknya tantangan ini semakin sulit tercapai pasca pandemi COVID-19. 

"Usai pandemi, tampak jelas bahwa permintaan pasar niaga-el merosot karena orang-orang mulai kembali mengunjungi toko fisik di pasaran," kata Prof Loh.  

"Lingkungan ekonomi saat ini pada umumnya juga tidak mendukung, jadi pendapatan yang siap dibelanjakan juga ikut berkurang." 

Di sisi lain, perusahaan teknologi memiliki sumber pendapatan yang terjamin. 

Baik Meta dan Google, misalnya, masih meraup keuntungan melimpah dengan mengandalkan iklan.

Sementara Grab, mereka mendapatkan keuntungan dari berbagai sumber, termasuk iklan dan biaya mengantar pelanggan, pengiriman barang, dan transaksi yang dibayarkan melalui dompet-el (e-wallet). 

Papan nama Shopee, cabang e-commerce Asia Tenggara, terlihat di kantor mereka di Singapura, 5 Maret 2021. (Foto: REUTERS/Edgar Su)

GAMBARAN UMUM

Para ahli menegaskan bahwa tantangan utama yang dihadapi oleh perusahaan niaga-el adalah menjaga profitabilitas bisnis mereka tetap berlanjut. Namun, saat ini bukanlah momen yang tepat bagi perusahaan tersebut untuk mengucurkan dana demi meraih pangsa pasar yang lebih luas. 

"Banyak industri — khususnya di Asia — berpegangan pada premis bahwa perusahaan harus cepat mengambil tindakan dengan menghabiskan uang demi memperluas pangsa pasar, lalu menebusnya dengan mendominasi pasar dan memanfaatkan peluang saat skala ekonomi tiba. Namun tampaknya, premis ini tidak terbukti berhasil," kata Lektor Kepala Walter Theseira, pakar ekonomi dari Singapore University of Social Sciences.

Oleh karena itu, fokus dan tantangan yang dihadapi banyak perusahaan niaga-el saat ini adalah bagaimana cara menghasilkan profit. 

"Saya pikir inilah penyebab utama mengapa PHK terjadi," kata Theseira. "Perusahaan tak akan memberhentikan karyawannya kalau bukan karena ingin memperoleh profit... Lagi pula PHK dilakukan untuk mengoptimalkan hasil ekonomi perusahaan bagi investor dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan di dalamnya." 

Selain biaya hidup semakin meningkat dan konsumen semakin enggan untuk berbelanja, sektor niaga-el juga terpukul oleh naiknya rantai pasokan dan biaya pengiriman akibat perubahan ekonomi. (Foto:TODAY/Raj Nadarajan)

Belum lagi, kompetitor kian bertambah memenuhi sektor niaga-el sehingga mendorong perusahaan meningkatkan profitabilitas untuk menghadapinya.  

"Sekarang persaingan semakin memanas, melebihi Lazada dan Shopee. Saat ini kita kedatangan merek Temu dan Shein. Mereka membawa nilai baru yang begitu menjanjikan, membuat persaingan semakin tajam," kata Prof Loh dari NUS.

"(Perusahaan niaga-el) harus kembali menyesuaikan ekspetasi pertumbuhannya karena itu." 

Temu dan Shein adalah merek fesyen daring asal China.  

Selain biaya hidup semakin meningkat dan konsumen semakin enggan untuk berbelanja, sektor niaga-el juga terpukul oleh naiknya rantai pasokan dan biaya pengiriman akibat perubahan ekonomi.

"Biaya pasokan semakin tinggi, (termasuk) biaya tenaga kerja, biaya bahan-bahan, karena inflasi ... pemasok semakin tertekan karena nantinya mereka harus menaikkan harganya kepada konsumen," kata Prof Loh. 

Meski tanda-tanda bahwa sektor niaga-el terlihat mulai menghasilkan pendapatan yang berkelanjutan, para ahli ragu apakah industri di wilayah tersebut dapat mempertahankan status quo-nya dalam waktu yang dekat. ( Reuters) 

PADA INTINYA

Bagaimana tantangan yang dihadapi oleh industri niaga-el dapat mempengaruhi konsumennya?

Kemungkinan, persaingan di pasar niaga-el Asia Tenggara saat ini akan berujung "lose-lose" bagi semua perusahaan yang terlibat, kata Prof Loh.  

"Ada begitu banyak yang bisa dilakukan (perusahaan niaga-el) selain menurunkan harga," tuturnya yang menyebutkan bahwa biasanya konsumen tidak terpaku pada satu platform saja dan cenderung akan memilih platform yang menawarkan harga fantastis dengan biaya pengiriman terendah. 

Selain meningkatnya biaya hidup dan berkurangnya keinginan konsumen untuk berbelanja, sektor e-commerce juga terkena dampak meningkatnya biaya rantai pasokan dan pengiriman akibat gangguan tersebut.

Mendengar pernyataan tersebut, Dr Ng setuju karena menurutnya, meskipun kondisi saat itu menjadikan profit sebagai prioritas utama, perusahaan tetap enggan untuk menurunkan harga dan diskon karena mereka takut kalah dari kompetitor mereka. 
 
"Situasinya seperti makan buah simalakama, jika saya (punya perusahaan niaga-el) dan saya melewatkan kesempatan 3.3 sale sementara (pesaing saya) tidak, meskipun ini cukup membantu keuntungan saya dalam jangka pendek, hal tersebut akan berpotensi membuat saya kehilangan pangsa pasar dalam jangka panjang. Apakah ini menguntungkan?"

"3.3" sale yang dimaksud di sini adalah kesempatan penjualan yang jatuh pada tanggal 3 Maret. Kesempatan ini dapat terjadi kapan saja selagi tanggal dan bulan jatuh di angka yang sama. Biasanya, perusahaan niaga-el yang akan menentukan tanggal kapan mereka menawarkan diskon dan menarik pelanggan baru. 

Meski ini terdengar seperti kabar gembira untuk konsumen yang gemar membeli dengan harga terjangkau, kesempatan ini tampaknya tidak akan bertahan lama, mengingat perubahan ekonomi melanda sektor niaga-el dengan begitu cepat.

Para ahli juga tidak membantah kemungkinan bahwa satu perusahaan besar akan mundur akibat persaingan yang intens di ranah niaga-el lokal dan regional. 

Kemudian, mereka menyebut situasi serupa yang pernah terjadi antara Grab dan Uber di tahun 2010-an. Perusahaan berbagi kendara ini bertarung harga setelah memasuki pasar Singapura di tahun 2013. Mereka menawarkan berbagai promosi dan diskon untuk penumpang, dan insentif untuk pengemudinya. 

Sampai akhirnya, Uber menarik diri dari pasar Asia Tenggara, dan menjualkan bisnisnya kepada Grab 2018 lalu.

Jika suatu perusahaan berhasil mendominasi industri niaga-el seperti Grab, biasanya jumlah pelanggan merekalah yang akan berkurang nantinya, kata Dr Ng.

"Begitu ada perusahaan yang mundur, diskon berakhir... Hal ini mencerminkan strategi modal ventura. Begitu kita berhasil mendominasi pasar, kita mengubah strategi, meningkatkan profitabilitas, dan berhenti menyubsidi konsumen."

Artikel ini pertama kalinya muncul di TODAY. 

Source: Today/ih

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan