Kerja empat hari seminggu: Solusi atau ilusi efisiensi bagi dunia kerja Indonesia?
Sejumlah pelaku industri menilai kebijakan ini bisa berdampak positif bagi work-life balance tetapi ada juga yang khawatir akan menjadi ancaman terhadap produktivitas, daya saing, kepuasan pelanggan, hingga profitabilitas bisnis.

SINGAPURA: Sistem kerja empat hari seminggu yang baru saja diterapkan di Kementerian BUMN sedang menjadi bahan perbincangan hangat.
Kebijakan ini disebut bertujuan untuk mengurangi tingkat stres pekerja sekaligus meningkatkan work-life balance.
CNA Indonesia telah menghubungi Deputi Menteri BUMN Bidang Manajemen Sumber Daya Manusia, Teknologi, dan Informasi, Tedi Bharata, untuk dimintai komentarnya lebih jauh mengenai pelaksanaannya, serta apa efek positif dan negatif dari program ini sejak diluncurkan.
Namun, yang bersangkutan menyampaikan melalui pesan tertulis, Rabu (5/2), bahwa dia belum dapat berkomentar lebih jauh saat ini karena adanya kesibukan internal.
Sejumlah pelaku industri menilai kebijakan ini bisa berdampak positif bagi keseimbangan hidup dan pekerjaan karyawan, tetapi ada juga yang melihatnya sebagai ancaman terhadap produktivitas, daya saing, kepuasan pelanggan, dan bahkan profitabilitas bisnis.
Ada perusahaan yang sempat mencoba sistem ini namun akhirnya mencabut kebijakan tersebut karena tantangan operasional yang muncul.
PAHIT MANIS PERUSAHAAN YANG PERNAH MENETAPKAN
Salah satu eksekutif senior di perusahaan startup yang sebelumnya menerapkan sistem kerja empat hari mengungkapkan bahwa respons awal dari karyawan sangat positif.
Dengan hari kerja yang lebih singkat yaitu 40 jam dari Senin sampai Kamis, mereka merasa lebih segar dan lebih fokus saat bekerja serta memiliki waktu lebih banyak untuk berkumpul bersama keluarga.
“Dan di hari Minggunya, mental kami pun sudah siap menghadapi Senin, karena sudah mendapatkan 2 hari libur di hari sebelumnya. Positifnya banyak jika berhubungan dengan empat hari kerja ini,” cerita sosok yang meminta identitasnya dirahasiakan kepada CNA Indonesia belum lama ini.

Namun, setelah beberapa bulan yang menyenangkan, realitas berbicara lain.
“Awalnya, perusahaan melihat peningkatan produktivitas dan kesejahteraan karyawan. Kinerja perusahaan juga meningkat. Tapi memasuki bulan ke-6, barulah masalah mulai muncul,” ucap yang bersangkutan.
Salah satu permasalahan utama yang muncul, lanjutnya, adalah mengenai koordinasi antara departemen yang berbeda di perusahaannya.
“Di saat beberapa tim hanya bekerja selama empat hari dalam seminggu, ada tim lain yang tetap harus beraktivitas di hari libur. Hal ini disebabkan oleh sifat pekerjaan mereka yang berhubungan langsung dengan klien, di mana sebagian besar klien tetap beroperasi pada hari Jumat.
“Akibatnya, ekspektasi klien pun tetap sama—mereka mengharapkan pelayanan tetap berjalan pada hari tersebut. Inilah titik di mana skema kerja empat hari dalam seminggu menjadi kurang efektif,” urainya.
Perusahaan kemudian menilai bahwa beban mental dan pekerjaan terasa tidak dipikul merata oleh semua departemen.
“Tim yang (mau tidak mau) harus bekerja pada hari Jumat itu, secara tidak langsung menyalahkan kebijakan empat hari ini karena membuat stakeholder lain tidak bisa berpartisipasi dan pekerjaan menjadi semakin lama.”
Masalah lain yang juga menyeruak adalah pekerjaan yang sebelumnya tersebar dalam lima hari harus diselesaikan dalam waktu lebih singkat.
Ia memberi contoh jika pekerjaan diberikan di hari Kamis dan harus selesai minggu depannya, maka mau tidak mau mereka harus kerja di hari Jumat yang notabene adalah hari libur.
Banyak karyawan yang akhirnya tetap bekerja di luar jam resmi karena pekerjaan tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Realitas ini membuat perusahaan menyadari bahwa meskipun sistem kerja empat hari terkesan baik untuk kesehatan mental, dalam praktiknya malahan meningkatkan tekanan kerja.
Beban pekerjaan yang semakin padat dalam empat hari justru menciptakan lingkungan kerja yang lebih stres bagi sebagian karyawan.
Kebijakan ini akhirnya dibatalkan dan perusahaan kembali ke sistem lima hari kerja.
TANTANGAN INDUSTRI YANG BERGANTUNG PADA KEHADIRAN FISIK
Tidak semua perusahaan atau industri dapat menetapkan sistem empat hari kerja.
Salah satunya adalah sektor ritel. Abbie Amelia Goenawi, kepala HR di sebuah perusahaan ritel nasional menjelaskan bahwa bisnis mereka sangat bergantung pada interaksi langsung antara karyawan dan pelanggan.
“Ritel adalah bisnis di mana karyawan perlu langsung melayani pelanggan di toko-toko fisik. Jika hari kerja dikurangi, maka kesempatan pelanggan untuk membeli produk juga berkurang, dan itu bisa berdampak langsung pada penjualan,” katanya ketika dihubungi CNA Indonesia, Kamis (6/2).
Ia menilai industri lain yang memerlukan tatap muka seperti kesehatan dan pariwisata juga akan menghadapi kendala besar untuk menerapkan sistem kerja empat hari.

Industri logistik juga menghadapi tantangan serupa. Reno Rafly, vice president of Paxel Indonesia, perusahaan teknologi yang bergerak di bidang logistik dalam wawancara dengan CNA Indonesia, Sabtu (8/2), menekankan bahwa layanan pengiriman paket yang berjalan setiap harinya tidak bisa dikurangi jika mendadak hari kerja berubah menjadi empat hari.
Seirama dengan Abbie, Reno berpandangan bahwa sejumlah sektor terutama jasa akan kesulitan mengadopsi sistem kerja empat hari karena pelaksanaan operasional bisnis yang mengharuskan interaksi dengan klien.
Untuk mengatasi ini, perusahaannya memilih pendekatan fleksibel agar dapat bekerja secara produktif dan efektif.
Tim yang tidak berhubungan langsung dengan operasional mendapatkan fleksibilitas lebih. Mereka hanya diwajibkan ke kantor satu hari seminggu, sementara sisanya bisa bekerja dari mana saja atau work from anywhere (wfa).
Sejauh ini, lanjut Reno, kebijakan ini berjalan dengan baik di mana target perusahaan tetap tercapai.
PERBEDAAN PERSPEKTIF SEKTOR SWASTA DAN PEMERINTAH
Di sektor pemerintahan, sistem kerja empat hari lebih mudah diterapkan karena tidak ada persaingan bisnis langsung yang harus dihadapi.
Namun, di sektor swasta, keputusan ini harus mempertimbangkan faktor persaingan bisnis dengan kompetitor.
Abbie menyoroti bahwa perusahaan swasta harus lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan ini.
“Kalau kompetitor tetap bekerja lima atau enam hari seminggu sementara kita hanya empat hari, itu bisa jadi risiko besar. Kita bisa kehilangan pelanggan, tertinggal dalam inovasi, atau bahkan memberikan keuntungan bagi pesaing untuk merebut pasar kita,” Abbie menggarisbawahi lebih dalam.
Perusahaan swasta menurutnya tidak hanya perlu memastikan kesejahteraan karyawan, tetapi juga harus menjaga keberlanjutan bisnis mereka di tengah persaingan bisnis yang ketat.
Abbie juga menegaskan bahwa pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu adalah bagaimanakah institusi pemerintah yang notabene pelanggannya adalah warga Indonesia dapat melayani kebutuhan masyarakat secara efektif jika hanya bekerja selama empat hari.
Seorang eksekutif di salah satu perusahaan BUMN yang meminta CNA Indonesia tidak menyebutkan identitasnya berpendapat bahwa kebijakan kerja empat hari seminggu di pemerintahan memiliki potensi manfaat, tetapi dengan catatan.
"Di industri yang sifatnya lebih fleksibel, seperti teknologi atau kreatif, ini mungkin bisa berjalan. Tapi di sektor seperti manufaktur, energi, dan pelayanan publik, tantangannya lebih besar karena operasional harus berjalan 24/7," ujarnya, Kamis (6/2).
Ia juga menekankan pentingnya manajemen waktu yang baik.
"Jika tidak dikelola dengan benar, pengurangan hari kerja justru bisa menimbulkan penumpukan tugas dan tekanan yang lebih besar," tuturnya.
Meski demikian, ia mengakui bahwa kebijakan ini berpotensi menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan, asalkan diimbangi dengan sistem kerja yang efisien.

Sementara itu, seorang karyawan lain di perusahaan BUMN yang sama, yang juga memilih untuk anonim, menyampaikan skeptisismenya ketika dimintai pendapatnya oleh CNA Indonesia.
Menurutnya, tidak semua pekerjaan bisa diselesaikan dalam waktu yang lebih singkat, terutama yang memerlukan koordinasi lintas tim atau layanan yang harus tetap berjalan setiap hari.
“Selain itu, pengurangan hari kerja dapat membuat koordinasi antar anggota tim menjadi lebih sulit, terutama jika ada perbedaan jadwal kerja antar divisi atau individu,” tambahnya.
Yang bersangkutan dengan blak-blakan mengatakan bahwa ia tidak tertarik sama sekali untuk mencoba sistem kerja empat hari ini.
“Produktivitas lebih ditentukan oleh efisiensi kerja dan manajemen waktu, bukan jumlah hari kerja,” pungkasnya.
Adapun penerapan kebijakan kerja empat hari ini belum menyentuh BUMN yang berada di bawah naungan Kementerian BUMN. Fokus implementasi saat ini hanya di kementerian terlebih dahulu.
TIDAK ADA SOLUSI YANG COCOK UNTUK SEMUA
Kerja empat hari seminggu mungkin membawa manfaat bagi beberapa sektor, tetapi dinilai bukan solusi untuk semua.
Keberhasilannya sangat bergantung pada jenis industri, budaya kerja, dan kesiapan infrastruktur perusahaan.
"Sistem ini mungkin bisa diterapkan di negara-negara dengan ekonomi stabil, tetapi di negara berkembang seperti Indonesia, perlu studi lebih lanjut untuk mencari tahu apakah secara budaya dan kebiasaan masyarakat sudah siap, dampaknya terhadap produktivitas dibandingkan dengan kesehatan mental, layanan pelanggan, serta efeknya terhadap perekonomian negara secara keseluruhan,” Abbie memberikan pandangannya lebih dalam.
"Kebijakan ini bisa berhasil jika diterapkan secara merata oleh semua pihak di perusahaan yang terlibat. Jika hanya sebagian yang mengikuti, hasilnya tidak akan optimal,” eksekutif senior perusahaan startup yang telah mencicipi sistem kerja empat hari itu menambahkan pendapatnya.
Seperti yang diungkapkan oleh Reno Rafly, "Tidak ada satu sistem yang cocok untuk semua. Bukan berarti satu institusi menerapkan empat hari kerja, dampaknya baik bagi institusi atau perusahaan lain."
Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.