Terlalu lama single bisa memilukan, apalagi saat sendirian. Berikut cara melewatinya
Terlalu lama melajang bisa membuat seseorang meragukan dirinya sendiri. Namun, akan lebih berguna jika masa itu dipandang secara positif untuk mengenali diri lebih mendalam dan memahami apa yang benar-benar dibutuhkan.
Belajar menerima kenyataan bahwa kita kesepian juga memerlukan waktu dan seseorang dapat memulainya dengan pergi makan atau menonton film sendiri dan menikmati waktu sendiri. (Ilustrasi: CNA/Samuel Woo)
SINGAPURA: Sepanjang usia dewasanya, Alyssa Yeo hidup melajang.
Tahun ini, usianya akan genap 36 tahun. Sebagai manajer pengembang bisnis, dia punya selera humor yang bagus, bijak dan suka bepergian. Selain pernah menjalani satu hubungan serius di awal usia 20-an, dia belum pernah punya pacar hingga saat ini.
Dia pernah "naksir" dengan seseorang, kencan pertama yang tidak berhasil, dan juga hubungan tanpa komitmen. Dia sudah mencoba beberapa aplikasi kencan dan menerima ajakan kencan buta yang direncanakan teman-temannya yang berniat baik.
Akan tetapi, meski sudah bertahun-tahun mencoba membuka diri, bersabar, menjadi pribadi yang lebih baik, Yeo tetap saja hidup single.
Hampir setiap hari, dia ke mana-mana sendiri dan bekerja keras membangun hidup yang dia banggakan. Dia juga bilang bahwa dia kerap mendapat komentar positif dari teman-temannya. Mereka menyuruhnya untuk menikmati masa bebasnya. Mereka juga mengatakan betapa bahagia hidupnya karena tidak harus berurusan dengan popok, drama percintaan, dan mertua.
Lalu, mengapa hidup single terkadang masih membuat hati pilu, terutama di saat sedang sendirian. Misalnya, saat pulang ke rumah tanpa ada orang yang menyambut, tanpa ada orang yang menanyakan harinya, tanpa ada orang untuk berbagi suapan.
Yeo bilang: "Bukan aku tak tahan hidup sendirian, tapi terkadang rasanya sepi dan sedih.
"Sulit rasanya untuk tidak berpikir kalau ada yang salah dalam diriku, atau aku tertinggal dari teman-temanku yang entah itu sudah bertunangan, menikah atau punya anak, yang mana sangat kuimpikan.
"Aku gelisah memikirkan apakah aku nanti akan dapat jodoh. Bagaimana kalau aku tak pernah mendapatkannya?"
Yeo bertanya-tanya apa yang harus dia lakukan agar dia dapat berdamai dengan diri sendiri. Apakah orang sepertinya yang ingin diperhatikan tidak ditakdirkan untuk hidup sendiri?
Filsuf Prancis, Jean-Paul Sartre pernah berkata: "Kalau kamu merasa kesepian saat sendirian, mungkin kamu belum berdamai dengan diri sendiri."
Jika demikian, bagaimana caranya seseorang dapat nyaman hidup sendirian?
Para konselor menjelaskan bahwa bergelut dengan perasaan negatif itu adalah hal yang wajar dan sangat manusiawi. Kendati sebagian orang merasa senang hidup sendiri, sebagian lain mungkin merasa hidup sendiri membawa tantangan emosional.
Biasanya, perlu niat untuk membiasakan diri dan mengubah cara pandang dengan melihat masa kesendirian ini sebagai masa pertumbuhan alih-alih kemunduran.
MENGAPA HIDUP SINGLE DAPAT MEMBANGKITKAN EMOSI BURUK
Ketika dihubungkan pengalaman Yeo dengan penjelasan para konselor, didapati bahwa terlalu lama hidup single berdampak pada psikologis seseorang, sehingga bisa mengalami turunnya kepercayaan diri, gelisah dan malu.
Konsultan psikolog klinis Roy Chan, pendiri klinik psikologi Cloaks and Mirrors, menerangkan bahwa rasa cemas datang dari keinginan untuk tidak hidup melajang, atau ketika upaya mencari pasangan berkali-kali gagal.
"Tekanan ini semakin parah ketika seseorang menentukan target usia untuk mencari pacar."
Chan menjelaskan bahwa rendahnya kepercayaan diri dapat dipicu ketika orang membandingkan diri dengan orang lain perihal hubungan dan merasa tidak menarik, atau dalam kasus yang lebih parah, "tidak pantas dicintai".
Dia menambahkan bahwa rasa malu kerap timbul saat tekanan sosial tersebut diinternalisasi, sehingga mengakibatkan orang percaya bahwa dirinya tidak punya mutu atau karakter yang membuatnya menarik di mata pasangan yang mereka inginkan.
James Chong, direktur klinik pusat konseling dan psikoterapi The Lion Mind, menjelaskan bahwa kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain kerap diamplifikasi oleh media sosial, ketika foto-foto yang mengumbar kemesraan tidak selalu menunjukkan kenyataan yang sebenarnya.
Interaksi sehari-hari dapat mempertegas perasaan itu. Misalnya, saat rekan kerja yang punya urusan keluarga lebih diprioritaskan saat merencanakan cuti liburan, atau saat budaya kerja tanpa disadari lebih mengutamakan pekerja yang sudah menikah, tambahnya.
Chong juga menyebutkan bahwa beberapa orang bergelut dengan perasaannya yang hanya akan puas jika mereka menjalin hubungan percintaan.
Bahkan mereka yang percaya diri dapat merasa gelisah ketika teman dekat semakin sibuk dengan pasangan atau keluarganya, dan jarak yang kian renggang dapat memicu rasa diabaikan atau "ditinggalkan", sehingga menambah beban emosional
Beberapa dari tekanan ini sifatnya evolusioner. Chan menjelaskan bahwa dalam sirkel atau budaya sosial tertentu, ekspektasi mencari pasangan dan menghasilkan keturunan bisa sangat intens.
"Ini biasanya terjadi dalam budaya yang lebih berkelompok, yang mana memiliki pasangan dan keturunan dianggap sebagai bentuk kontribusi terhadap keberlangsungan kaumnya dan kode genetiknya."
Bahkan saudara yang lebih tua, yang mendesak seseorang untuk segera menikah, bisa jadi melakukannya karena dorongan bawah sadar yang ingin melihat garis keturunannya dilanjutkan, tambah Chan.
Perihal apakah tipe kepribadian tertentu dapat nyaman hidup sendiri atau tidak, para konselor memiliki pandangan yang berbeda-beda.
Chong menilai ada kesalahpahaman umum bahwa orang introvert cenderung lebih senang menyendiri.
"Kendati orang introvert kurang menyukai stimulasi sosial, mereka masih membutuhkan hubungan yang bermakna dan masih bisa merasakan kesepian."
Kebanyakan orang masih punya kebutuhan dasar akan koneksi dan rasa memiliki, terangnya.
Di sisi lain, Chan meyakini bahwa sebagian orang, terutama yang orangnya introspektif, sejatinya dapat hidup sendiri dan tidak merasa kesepian.
"Mereka cenderung tidak memanfaatkan koneksi sosial mereka sebagai tolok ukur harga diri atau kesuksesan sosialnya, dan mereka lebih puas dengan pikiran dan kegiatan yang mereka nikmati."
NYAMAN DENGAN DIRI SENDIRI
Lantas, bagaimana seseorang yang melajang dapat menjalani hidup sendiri dengan nyaman?
Psikoterapis Jeannette Qhek, pendiri ruang kesehatan Chill by Nette, melihat bahwa terkadang ada baiknya untuk berhenti sejenak dan mengamati posisi kita melalui kacamata psikologi yang lebih luas, yang melihat hidup single bukan sebagai fase yang hampa, melainkan pertumbuhan yang berarti.
Dia memaparkan teori hirarki kebutuhan Maslow. Teori tersebut melihat bahwa meskipun kehidupan percintaan dapat memenuhi kebutuhan manusia akan koneksi dan kedekatan, namun hidup tidak hanya sekadar itu.
Hirarki kebutuhan Maslow merupakan teori psikologi yang menyusun kebutuhan manusia dalam bentuk piramida. Dimulai dari kebutuhan dasar untuk bertahan hidup seperti makanan dan rasa aman hingga berlanjut ke kebutuhan paling atas, yakni kasih sayang, harga diri dan aktualisasi diri.
Intinya, orang-orang terdorong untuk memenuhi kebutuhan di tingkat bawah terlebih dahulu sebelum akhirnya mereka bisa fokus memenuhi kebutuhan emosional dan kejiwaan yang lebih kompleks.
"Bagian teratas piramida Maslow, yaitu aktualisasi diri, cenderung paling mudah dicapai saat sedang sendiri, sedang introspeksi dan sedang menjalani latihan spiritual. Saat sendiri, kita kadang dapat mendengar diri kita lebih jelas," terang Qhek.
Kemudian ada yang namanya teori keterikatan (attachment theory). Kerangka psikologi ini mempelajari berbagai jenis keterikatan, seperti secure (aman), anxious (gelisah) atau avoidance (menghindar), yang dapat memengaruhi proses seseorang berinteraksi dengan orang lain dalam hubungan percintaan, persahabatan dan keluarga.
Qhek menjelaskan bahwa teori ini mengajarkan kita tentang pola yang kita bangun dalam suatu hubungan: Bagaimana kita mencapai kedekatan, bagaimana kita melindungi diri dan bagaimana kita menanggapi risiko emosional.
"Namun satu pelajaran besar dari [teori itu] adalah, hubungan secure paling utama yang harus kita bangun adalah dengan diri sendiri. Hidup single memberi kita ruang untuk membangun rasa aman dalam diri, di mana kita merasa layak dan utuh tanpa terpengaruh oleh siapa yang memilih tinggal atau pergi."
Kemudian ada konsep individuasi dari psikolog ternama Carl Jung. Teori ini menjelaskan tentang proses menjadi jati diri secara seutuhnya, terang Qhek.
"Proses itu sering dimulai saat kita berhenti mencari orang lain untuk 'melengkapi' diri kita dan mulai bertanya, 'Siapa sebenarnya aku?'
"Hal ini bisa berarti menghadapi bayangan sendiri, sisi yang sudah lama kamu abaikan atau singkirkan... Hidup single menjadi saat yang tepat untuk mulai memahami diri lebih dalam tanpa tergoda untuk memproyeksikan hal itu ke pasangan."
Qhek menambahkan bahwa hidup single bukanlah sebuah ruang kosong, melainkan bisa menjadi tahapan yang dapat membentuk seseorang menjadi pribadi yang dia inginkan.
BAGAIMANA BERDAMAI DENGAN KESENDIRIAN
Tentu, menemukan kenyamanan dalam kesendirian tidak datang dengan sendirinya. Sebagaimana hal-hal lain dalam kehidupan, perlu dilatih.
Para konselor menganjurkan untuk memulai dari yang kecil, seperti pergi "kencan" solo ke kafe, menonton film di bioskop sendiri, dan pergi staycation tanpa harus kompromi dengan jadwal orang lain.
Chong juga mengatakan bahwa akan lebih baik jika kita melihat hidup single sebagai masa pertumbuhan dan pencarian jati diri, alih-alih tanda kekurangan atau ketidaksempurnaan.
"Grup komunitas, persatuan keagamaan, klub hobi ataupun klub penggemar memberikan rasa memiliki dan tujuan bersama.
"Harga diri juga dapat diperkuat dengan pencapaian pribadi, belajar keterampilan baru atau kontribusi untuk tujuan yang mulia," imbuhnya.
"Pada akhirnya, harga diri harus didasarkan pada jati diri orang tersebut, bukan pada apakah orang itu dicintai orang lain atau tidak."
Demikian pula, Chan menjelaskan bahwa orang-orang dapat melihat pengalaman hidup sendiri sebagai kesempatan unik dan berharga untuk menyatu dengan diri dan lingkungan di sekitarnya, yang tidak terpaku pada ekspektasi orang lain, apalagi dalam hubungan percintaan.
"Ada rasa tenteram saat melihat ombak menepi di sepanjang garis pantai California, atau berjalan tengah malam menyusuri jalan penuh dagangan di Namdaemun, Seoul, tempat orang bebas berhenti dan diam selama orang itu mau, walau sekadar melihat dan mengamati orang-orang," tambahnya.
"Seolah-olah mereka sedang menonton film dan mereka satu-satunya penonton. Ini termasuk kegiatan dan pengalaman yang benar-benar unik, yang tidak dapat dilakukan bersama dengan pasangan."
Qhek menyoroti bahwa tidak hanya pasangan kekasih yang bisa menjadi sumber validasi atau rasa kebersamaan.
"Bangun kedekatan di luar percintaan. Luangkan waktu untuk menjalin hubungan dengan sahabat sejati, komunitas dan keluarga. Kedekatan emosional tidak hanya datang dari pasangan kekasih saja, karena ada banyak cara agar kita merasa diperhatikan dan didukung."
Terlebih, masa hidup sendiri adalah saat di mana seseorang dapat berusaha memahami diri sendiri dengan lebih baik.
Chan melihat sebagian orang mulai bertanya-tanya apakah mereka terlalu selektif atau terlalu banyak menuntut saat sedang aktif mencari pasangan namun belum juga menemukannya.
"Tapi ini bukan hanya tentang apa yang kamu cari, melainkan juga tentang mengenal jati diri.
"Sempatkan waktu untuk memikirkan seperti apa karakter kamu atau yang kamu inginkan sebagai pasangan. Menggali jati diri dapat membantu kamu membangun hubungan yang lebih kuat dan tahan lama di saat orang yang tepat itu tiba."
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.