Tren 'TikTok therapy', psikolog bagikan tips mental yang sehat lewat video singkat
Beberapa video TikTok terpopuler memberikan wawasan umum tentang stres, kecemasan, dan depresi. Banyak netizen yang lantas bertanya: "Bagaimana cara menghadapi rekan kerja yang toksik?" atau "Bagaimana cara mengelola stres?"
- Di Singapura, tren "TikTok therapy" menjadi viral lantaran para profesional di bidang kesehatan mental menggunakan media sosial untuk meningkatkan kesadaran soal kesehatan mental
- Para psikolog yang melek medsos membuat video-video pendek dan aneka unggahan yang mudah dicerna untuk berbagi pengalaman pribadi dan aneka tip praktis
- Tren ini berkembang pesat dalam tiga tahun terakhir, dengan konten yang melengkapi terapi tradisional
- Para penonton disarankan untuk tidak hanya mengandalkan konten semacam ini, terutama untuk masalah-masalah kesehatan yang lebih serius dan kompleks
SINGAPURA: Dalam satu video daring, seorang perempuan muda berbicara lantang tentang patah hati yang pernah ia alami. Saat itu rasanya sengsara terus-menerus melanda, menyesakkan hati tiada henti.
Namun, ia berhasil keluar dari jurang keputusasaan melalui pergeseran perspektif. Ia menyadari rasa sakit itu "pasti berlalu", dan ia pun "mengelilingi diri dengan orang-orang yang yakin" akan kemampuannya melewati itu semua.
“Rasa sakitnya tidak langsung hilang, tapi pergeseran perspektif itu membuat saya berpikir bahwa masih banyak yang ditawarkan hidup selain momen sengsara yang saya alami,” ujarnya.
“Rasanya mungkin seperti bakal merana selamanya, karena ketika orang sedang melewati sakit hati, hanya itu yang mereka pikirkan... Seakan-akan tidak bisa melihat apa pun selain itu. Tapi ingat, badai pasti berlalu kok.”
Perempuan dalam video itu adalah Nur Adam, 35, seorang terapis pemulihan trauma. Ia bagian dari komunitas kecil yang terus berkembang, yakni para terapis di Singapura yang sekaligus pembuat konten. Mereka berharap dapat meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental.
Tren yang dijuluki "TikTok therapy", atau terapi melalui TikTok, mengacu pada tren di kalangan profesional kesehatan mental untuk berbagi aneka tip dan strategi bantuan diri (self-help) di berbagai platform media sosial, utamanya TikTok.
Konten semacam ini bisa berupa video pendek tentang cara menangani stres (coping mechanisms), latihan adigrahita (mindfulness), edukasi kesehatan mental, serta tentu saja, pengalaman pribadi seperti yang dibagikan oleh Nur Adam.
"Pengalaman pribadi itu cara bagus untuk menjalin koneksi dengan orang lain karena (konten kesehatan mental) bukan melulu soal tanda dan gejala. Isinya harus berwawasan, dan bisa nyambung. Jadi berbagi sedikit sisi rapuh boleh saja, untuk menunjukkan bahwa kita juga manusia,” ujarnya.
Video-video pendek dengan muatan serupa kerap dipublikasikan oleh para terapis di Amerika Serikat dan Inggris sebelum pandemi Covid-19.
Di Singapura, penyebaran konten kesehatan mental oleh para profesional baru dimulai dalam tiga tahun terakhir.
Kepada TODAY, Nur mengatakan bahwa ia menyadari adanya kesenjangan ini ketika ia mencari cara untuk meredakan perasaan kehilangan dan duka akibat patah hati pada tahun 2018.
Merasa menerima manfaat dari berbagai sumber daring, ia melihat pentingnya membuat konten yang selaras dengan orang-orang yang menghadapi masalah serupa, dan ia ingin menjadi bagian dari proses tersebut untuk membantu mereka.
Di tahun yang sama, ia berhenti dari pekerjaan di pemerintahan dan beralih karier. Ia lantas melanjutkan studi, meraih gelar master dalam bidang konseling. Empat tahun kemudian, lahirlah The Good Life Therapy — di media sosial dan konsultasi langsung.
Ada kemiripan dengan asal mula akun Instagram dan TikTok milik Ron Yap.
Advokat kesehatan mental berusia 27 tahun ini memulai @mentalhealthCEO pada tahun 2020 untuk menghilangkan stigma terhadap masalah kesehatan mental, setelah menyadari bahwa ia memiliki gejala kecemasan dan gangguan obsesif-kompulsif usai melihat sebuah unggahan di media sosial.
“Saya ingin mereplikasi proses penemuan dan penyembuhan itu dengan mereka yang mungkin punya situasi yang sama seperti saya atau yang mengira kondisi mereka tidak perlu ditangani.”
Meski kini masih menempuh studi untuk meraih gelar master di bidang konseling, kemampuan Ron Yap untuk menciptakan berbagai unggahan menarik — lengkap dengan ilustrasi dan teks — telah menghasilkan lebih dari 270.000 pengikut, yang sebagian besar menghargai kemampuannya bercerita serta wawasannya di bidang kesehatan mental.
Para terapis yang diwawancarai oleh TODAY sepakat bahwa stigma terhadap kesehatan mental masih kuat di sebagian masyarakat Singapura. Namun permintaan akan TikTok therapy melonjak di Negeri Singa selama pandemi, menandakan adanya peningkatan kesadaran publik terhadap kesehatan mental.
Beberapa profesional melihat peluang untuk ikut serta dalam tren ini. Mereka melihat pentingnya kemampuan unttuk merangkum informasi yang kompleks dan teknis menjadi konten yang ringkas dan mudah diakses untuk mendidik masyarakat.
Asher Low, direktur eksekutif lembaga amal kesehatan mental Limitless yang menyediakan intervensi dan berbagai program untuk remaja berisiko, mengungkapkan bahwa setelah meluncurkan akun TikTok pada 2021, di tahun itu timnya langsung melihat peningkatan yang signifikan pada jumlah klien mereka.
Setelah meluncurkan TikTok, sekitar 940 remaja terbantu. Sebelumnya, pada 2019, jumlahnya kurang dari 300 remaja.
"Tiap tahun, kami lihat ada peningkatan stabil untuk jumlah orang yang kirim pesan minta bantuan," imbuh pria berusia 37 tahun itu.
TIKTOK THERAPY JADI PELENGKAP
Seperti para terapis lain, Daryl Tan, 37, dan Charmaine Marsh, 39, dari klinik terapi Goodity Co melihat bahwa pembuatan konten—dengan daya tariknya bagi generasi masa kini—berguna untuk melengkapi layanan konseling langsung.
Charmaine, salah satu pendiri Goodity Co, mengatakan, "Aksesibilitas jadi daya tarik besar bagi masyarakat saat ini. Mereka tidak perlu bertemu terapis untuk mendapat jawaban cepat. Konten kami juga bisa meningkatkan kesadaran dan menyibak anggapan keliru terkait terapi."
Beberapa video TikTok terpopuler memberikan wawasan umum tentang stres, kecemasan, dan depresi. Banyak netizen yang lantas bertanya: "Bagaimana cara menghadapi rekan kerja yang toksik?" atau "Bagaimana cara mengelola stres?"
Menurut Daryl, timnya menyadari bahwa ketika terapis berbagi pengalaman pribadi di depan kamera, kian banyak celah yang terbuka, meyakinkan orang-orang bahwa terapi menawarkan kondisi di mana klien bisa bercerita tanpa khawatir dihakimi.
Selain membuat berbagai video kesehatan, Jeannette Qhek, 30, seorang psikoterapis dan konselor, bahkan bereksplorasi lebih jauh dengan menggelar sesi siaran langsung TikTok Live selama satu jam setiap Rabu di akun pribadinya, Chill by Nette.
Tujuannya adalah membantu orang-orang yang mungkin tidak memiliki sumber daya untuk memperoleh bantuan profesional.
"Mereka tinggal masuk dan mengajukan pertanyaan. Banyak yang menanyakan tentang hubungan, entah itu hubungan romantis ataupun di tempat kerja. Ada yang merasa tidak termotivasi dan menanyakan bagaimana caranya mengatasi gejala kronis sering menunda-nunda pekerjaan," paparnya kepada TODAY.
Jeannette menambahkan, sesi langsung tersebut membantu para penontonnya menemukan kawan-kawan senasib, menumbuhkan rasa kebersamaan karena mereka tahu mereka tidak sendirian dalam perjalanan mereka.
MENGENAL TERAPI LEWAT TIKTOK
Desainer grafis Damia Erina Saiful, 28, mengatakan bahwa ia mulai melihat konten kesehatan mental di TikTok sekitar dua tahun lalu ketika ia merasa dirinya mengidap gangguan attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD), atau dikenal juga dengan istilah gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH).
"Saya menemukan banyak kreator yang masalahnya sama, dan mereka memberi life hacks untuk mengelola gejala-gejala saya," tuturnya
"Saya tunjukkan juga video-video itu ke suami saya supaya dia paham kenapa energi saya kadang meledak-ledak dan kenapa saya juga cepat merasa kelelahan," ujarnya.
Damia menyadari bahwa terapi memang akan lebih membantunya memperoleh diagnosis yang tepat. Akan tetapi, menurutnya, saat ini ia belum memiliki kemampuan finansial untuk berkomitmen menjalani terapi.
Menurut spesialis manajemen kesehatan Sadhna Upadhya, 40, menonton video-video informatif membantunya menyadari bahwa ia mengalami kelelahan akibat pekerjaan. Ia lantas lebih berhati-hati menjaga kesehatan mentalnya dengan belajar bagaimana mengelola stres dan emosi.
"Ada hari-hari ketika membaca kutipan motivasi tentang perawatan diri dan pertumbuhan personal cukup memberikan saya dorongan yang memang betul-betul sedang dibutuhkan," ungkapnya.
Menurut Elias Soh, mahasiswa berusia 21 tahun, selain menarik secara visual, konten kesehatan mental membantunya lebih memahami diri sendiri serta perilaku orang lain, sehingga berguna ketika ia mempelajari social work di satu politeknik.
"Saya juga punya teman-teman yang menderita kecemasan dan depresi, dan dari video yang saya tonton, saya jadi tahu apa yang bisa saya lakukan buat mereka," katanya.
Meski demikian, menurut Elias, bersikap sedikit skeptis tetap dibutuhkan saat memanfaatkan TikTok untuk terapi, sebab mungkin saja ada informasi yang kurang akurat dari para pembuat konten tersebut.
"Seorang dokter terkenal yang saya ikuti 'dirujak' karena mengklaim ADHD disebabkan oleh trauma, dan itu tidak akurat," tuturnya.
Menanggapi berbagai pertanyaan dari TODAY, Singapore Association for Counselling menekankan bahwa meski dapat meningkatkan kesadaran dan memberikan dukungan, video-video terkait kesehatan mental perlu disikapi secara hati-hati.
Mereka juga menyoroti beberapa potensi kekurangan dari terapi lewat TikTok:
- Terlalu menyederhanakan beragam tantangan kesehatan mental yang kompleks, penyebaran informasi keliru, serta kesalahpahaman terkait kesehatan mental
- Timbulnya gangguan privasi ketika pengguna menandai individu-individu tertentu pada unggahan terkait kesehatan mental, sehingga mereka yang sedang berjuang justru bisa makin tertekan
- Ketergantungan akan validasi sosial, karena sebagian orang dapat memiliki kebutuhan untuk memperoleh validasi dan dukungan daring yang terus-menerus
Asosiasi ini juga menyatakan bahwa para profesional kesehatan mental harus mengutamakan akurasi dan informasi berbasis bukti, menjaga batasan-batasan profesional, mempertimbangkan audiens target, dan menggunakan platform medsos secara tepat dan bertanggung jawab.
“Penting untuk... transparan tentang betapa konten dan bantuan yang diberikan tidak dimaksudkan untuk—serta tidak bisa menggantikan—terapi tatap muka yang sangat diperlukan bagi pemulihan kesehatan mental dan ketenteraman diri.”
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.