Survei: Anak muda Singapura kurang mampu berinteraksi sosial dan mudah kesepian

- Lebih dari separuh anak muda berusia 21 hingga 34 tahun mengungkapkan mereka merasa cemas ketika berbicara secara langsung dengan orang lain dan merasa lebih mudah berkomunikasi secara online
- Temuan ini adalah bagian dari survei terbaru yang menunjukkan bahwa anak muda cenderung mengalami penurunan kemampuan berinteraksi dengan orang di sekitarnya dan merasa kesepian
- Survei ini dilakukan oleh Institute of Policy Studies menjelang konferensi Singapore Perspectives 2024 pada tanggal 29 Januari 2024. Konferensi ini berfokus memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan di bidang kebijakan publik
- Sebanyak 2.356 warga Singapura dan penduduk tetap berusia 21 hingga 64 tahun berpartisipasi sebagai responden dalam survei yang digelar pada November hingga Desember 2023
- Survei tersebut mencakup berbagai bidang, seperti keluarga, pekerjaan, kesejahteraan dan keterlibatan sipil
SINGAPURA: Lebih dari separuh anak muda berusia 21 hingga 34 tahun mengungkapkan mereka merasa cemas ketika berbicara secara langsung dengan orang lain dan merasa lebih mudah berkomunikasi secara online.
Temuan ini merupakan bagian dari hasil survei yang melibatkan lebih dari 2.000 responden di Singapura yang menyimpulkan bahwa sebagian besar anak muda mengalami penurunan kemampuan dalam berinteraksi sosial dan mudah merasa kesepian.
Survei tersebut diselenggarakan oleh Institute of Policy Studies (IPS) menjelang konferensi Singapore Perspectives 2024 pada hari Senin (29/1). Konferensi ini berfokus memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan di bidang kebijakan publik.
Survei yang diikuti oleh 2.356 warga Singapura dan penduduk tetap berusia 21 hingga 64 tahun ini mencakup berbagai bidang, seperti keluarga, pekerjaan, kesejahteraan dan keterlibatan sipil. Berikut beberapa temuan penting dari survei tersebut.
ISOLASI SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN
Survei menunjukkan bahwa pandemi COVID-19 telah menurunkan interaksi sosial antara teman dan keluarga dengan berbagai penerapan karantina wilayah dan isolasi sosial. Alhasil, tingkat kesepian di dalam masyarakat semakin meningkat, menimbulkan fenomena yang disebut "epidemi kesepian".
Permasalahan kesepian sebelumnya selalu dikaitkan dengan para lansia. Namun, survei ini menunjukkan bahwa fenomena itu pun dialami oleh anak-anak muda.
Survei menunjukkan bahwa sebanyak 53 persen responden berusia 21 hingga 34 tahun merasa lebih mudah berbicara dengan orang lain secara online ketimbang secara offline.
Selain itu, sebanyak 56 persen responden berusia 21 hingga 34 tahun melaporkan mereka terkadang merasa cemas jika harus berbicara dengan orang lain secara langsung.
Baca:
Survei dilakukan dengan memberikan sejumlah pertanyaan terkait dengan tema kesepian kepada pada responden, antara lain sebagai berikut:
- Seberapa sering kamu merasa kurang memiliki teman?
- Seberapa sering kamu merasa ditinggalkan?
- Seberapa sering kamu merasa terisolasi dari orang lain?
Responden kemudian diminta memberi jawaban melalui angka, yakni angka 1 untuk jawaban "hampir tidak pernah" dan angka 3 untuk jawaban "sering". Jawaban mereka pun ditotalkan sehingga dapat disimpulkan responden yang memiliki jumlah skor lebih tinggi menunjukkan rasa kesepian yang tinggi pula.
Hasilnya, responden anak muda dalam rentang usia 21 hingga 34 tahun cenderung melaporkan tingkat kesepian yang lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya.
Temuan lengkap survei tersebut antara lain:
- Responden berusia 21 hingga 34 tahun melaporkan skor rata-rata tertinggi sebesar 5,53.
- Responden berusia 35 hingga 49 tahun menunjukkan skor rata-rata 5,09.
- Responden berusia 50 hingga 64 tahun justru melaporkan skor rata-rata terendah sebesar 5,03.
- Para lajang berusia 21 hingga 34 tahun juga melaporkan skor kesepian yang lebih tinggi, dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang berpacaran atau berpasangan.
"Alasan mengapa anak muda melaporkan tingkat isolasi sosial yang lebih tinggi adalah karena mereka berada pada tahap kehidupan ketika mereka seharusnya melakukan transisi ke tempat kerja, transisi ke pendidikan tinggi, tetapi melewatkan banyak peluang bersosialisasi selama pandemi," kata peneliti senior IPS, dr. Chew Han Ei.
"Mereka tidak mengikuti masa orientasi di kampus, tidak mengikuti study tour ke luar negeri, dan tidak terlibat dalam percakapan ringan di tempat kerja atau menjalani masa orientasi yang membuat mereka dapat berkeliling untuk berkenalan dengan banyak orang. Jadi mereka melewatkan kesempatan untuk membangun hubungan sosial ini, dan saya pikir ini bisa menjadi salah satu alasan mengapa responden anak muda melaporkan tingkat kesepian yang lebih tinggi," ujarnya.

PERMASALAHAN KELUARGA DAN HUBUNGAN
Anak muda di Singapura juga tampaknya memiliki daftar pencapaian tertentu, tidak seperti generasi yang lebih tua, kata dr. Chew.
"Ketika kita berbicara dengan anak muda, sebagian besar memiliki daftar hal-hal yang ingin mereka capai sebelum menikah dan menjadi orang tua. Sebagian besar dari daftar pencapaian itu terkait dengan materi — mereka menginginkan kehidupan yang nyaman, pekerjaan yang baik, dan memiliki rumah — baru kemudian mereka memikirkan untuk menikah," katanya.
"Sementara dibandingkan dengan dua generasi sebelumnya, daftar pencapaian itu adalah: Saya menikah, mendapatkan pekerjaan, lalu memiliki anak. Tidak ada hal yang harus dicapai sebelum menikah. Namun, saat ini saya pikir, anak muda ingin kehidupan yang nyaman terlebih dahulu."
Mereka juga enggan menukar kehidupan individual yang nyaman dengan pernikahan, imbuhnya.
Survei tersebut juga mengungkapkan bahwa para lajang berusia 21 hingga 34 tahun lebih cenderung memiliki prioritas lain — termasuk pekerjaan, studi, dan pencarian jati diri — yang harus mereka fokuskan, dan mereka tidak memiliki waktu ataupun semangat untuk berkencan.
Selain itu, lebih dari separuh responden lajang berusia 21 hingga 34 tahun bercita-cita untuk menikah dan menjadi orang tua, meskipun sebagian besar meyakini bahwa tidak perlu menikah atau memiliki anak dalam sebuah pernikahan.
Baca:
TEMUAN MENARIK LAINNYA
Hampir setiap enam dari 10 responden pada kelompok usia 21-34 tahun memperkirakan bahwa mereka perlu atau ingin berganti karier beberapa kali selama hidup mereka.
Selain itu, sebanyak 53 persen responden pada kelompok usia 21-34 tahun merasa cukup atau sangat siap untuk menyambut kemajuan teknologi — seperti kecerdasan buatan generatif, Web3, dan blockchain — di tempat kerja, dibandingkan dengan 48 persen responden pada kelompok usia 35-49 tahun dan 46 persen responden pada kelompok 50-64 tahun.
IPS mengatakan temuan survei ini menunjukkan para pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi para anak muda sehingga mereka dapat lebih siap menyongsong masa depan, baik terkait tujuan karir maupun pencapaian pribadi, dan berkontribusi dalam membangun masa depan yang lebih kuat untuk negara.
Hal ini termasuk dengan memberikan akses yang lebih luas ke layanan kesehatan mental untuk membantu mereka mengatasi kesepian dan isolasi sosial, serta menjalin dan mempertahankan hubungan.