Mengolah plastik bekas jadi furnitur fancy, Robries ubah persepsi masyarakat soal sampah
Perabot elegan bergaya terrazzo yang telah menghiasi kafe-kafe fancy di Singapura dan Indonesia hanyalah langkah awal bagi Robries.
SINGAPURA: Di usianya yang baru 29 tahun, Syukriyatun Niamah sudah memberikan dampak besar di industri desain dan keberlanjutan di Asia. Ide mendirikan Robries muncul ketika ia masih kuliah pada tahun 2016.
Bermodal ilmu desain produk, ia mempertanyakan mengapa limbah plastik seakan-akan bukan masalah besar bagi masyarakat, khususnya generasi muda.
"Tidak ada manajemen sampah yang memadai di Indonesia," ujar Syukriyatun.
"Orang-orang asal buang sembarangan, dan saya penasaran kenapa pada tidak peduli. Di saat yang sama, mereka seolah bilang, ‘Memangnya kamu bakal berbuat apa kalau saya peduli?’”
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Syukriyatun bersama tiga rekannya mendirikan Robries pada tahun 2018.
Studio desain ini memproduksi perabot kokoh berkualitas tinggi dari tutup botol bekas berbahan HDPE (High Density Polyethylene) yang dipilah, dibersihkan, dicacah, lantas dilelehkan menjadi lembaran-lembaran polimer untuk dicetak dan dipotong.
Produk plastik Robries digunakan untuk berbagai keperluan mulai dari kursi dan meja hingga fasad bangunan, serta dikenal tahan noda, tahan cuaca, dan kuat.
Dari sisi keberlanjutan, perusahaan ini telah mendaur ulang lebih dari 200 juta tutup botol, memanfaatkan lebih dari 64 ton plastik.
Mulanya, Syukriyatun bereksperimen dengan berbagai jenis plastik, mencari cara terbaik untuk berkontribusi pada keberlanjutan di Indonesia sekaligus berusaha menemukan bahan yang menarik dari segi desain.
Kebetulan sudah banyak pusat daur ulang untuk botol PET (Polyethylene Terephthalate) di kampung halamannya, di Surabaya, sehingga dia memilih tutup botol HDPE yang lebih sulit dikelola oleh pusat-pusat tersebut.
Ia menemukan bahwa “memanggang” tutup botol menghasilkan material yang tidak hanya kokoh tetapi juga indah.
Proses inilah yang menginspirasi nama Robries, singkatan dari "roasted bottles and accessories" (botol dan aksesori panggang).
Untuk bahan baku, Robries bekerja sama dengan bank-bank sampah di berbagai wilayah, menukar tutup botol dengan uang.
Setelahnya, warna-warna tutup botol dipadukan sesuai kebutuhan desain, lalu dilelehkan menjadi lembaran-lembaran plastik polimer.
"Kami tidak menambahkan filler apa pun,” jelas Syukriyatun. “Bagi kami, warnanya 100 persen dari tutup botolnya."
Proses tersebut menghasilkan tekstur akhir menyerupai terrazzo, dengan tampilan elegan, mulus, dan tentunya tahan lama.
Bahkan, Robries dikenal membeli kembali produk mereka jika klien mereka – misalnya kafe – tutup usaha.
Mereka akan memoles ulang dan menjualnya kembali, mendukung ekonomi sirkular.
Namun, menjual produk berkelanjutan yang dibuat dari "sampah" tidaklah mudah jika orang-orang tidak memahami motivasi di baliknya.
Di awal perjalanan Robries, Syukriyatun sering dihadapkan pada serangkaian pertanyaan ketika ia berusaha untuk memasarkan produknya.
"Tahun 2018 masih sulit, karena orang-orang di Indonesia belum terlalu peduli dengan lingkungan, dan setiap kali kami melakukan aktivasi produk, kami lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengedukasi masyarakat daripada menjual produknya," ungkapnya.
"Orang-orang tidak paham, kenapa sampah kok dibeli," ujarnya.
Syukriyatun mengakui pandemi menjadi momen penting yang mengubah pandangan masyarakat.
"Jakarta terkenal parah polusinya, tapi pas pandemi waktu orang-orang cuma di rumah saja, kualitas udara tiba-tiba jadi bagus sekali!" ujarnya tergelak.
"Tiba-tiba semua orang mulai peduli dengan kesehatan dan lingkungan, sehingga lebih mudah bagi saya untuk jualan produk."
Selama pandemi, Robries pun beralih dari memproduksi furnitur besar ke peralatan rumah tangga yang lebih kecil seperti vas, tatakan gelas, dan baki.
Langkah ini memungkinkan mereka untuk terus menjalankan bisnis dan menjangkau audiens yang lebih luas melalui beberapa saluran daring.
Sebelum pandemi, Robries tengah memulai proyek dengan Potato Head Bali, yang sayangnya harus dihentikan.
Namun, setelah pandemi, direktur kreatif Potato Head, Daniel Mitchell, kembali menghubungi saat ia tengah mendirikan perusahaan desainnya sendiri, Space Available, yang fokus pada penggunaan material daur ulang dalam seni, desain, mode, dan furnitur.
"Itu jadi proyek ekspor besar pertama kami – sampai 300 produk," kenang Syukriyatun.
"Proyek itu memungkinkan kami memperluas bengkel produksi dan mempekerjakan lebih banyak orang. Juga ada peningkatkan kesadaran tentang apa yang kami lakukan dan membuka lebih banyak peluang kemitraan."
Beberapa kolaborator Robries lainnya termasuk Little Farms dan Mavrx Coffee di Singapura.
Di Indonesia, Robries dikenal melalui penghargaan yang diraih untuk kursi Sawarna, hasil kolaborasi dengan Studiohand.
Saat ini, Robries turut berpartisipasi dalam pameran keberlanjutan School of Tomorrow di New Bahru.
Dengan beberapa distributor di Singapura, dan potensi kemitraan di Taiwan, Filipina, dan Australia, masa depan Robries tampak cerah.
Syukriyatun juga berencana meningkatkan kapasitas mereka untuk tahun depan.
"Dan saya ingin terus berinovasi, baik dengan material baru, atau ukuran atau ketebalan yang berbeda," katanya, menegaskan ambisi untuk tetap menjadi inovator di bidangnya.
Keinginan Syukriyatun untuk terus belajar dan berkembang mungkin berakar pada alasan personal yang memotivasinya mendirikan Robries.
"Bapak saya guru SMA dan guru pembimbing untuk kelompok pencinta alam. Waktu saya masih siswa dulu, saya suka ikut Bapak berkemah, haiking, mendaki gunung, dan Indonesia itu punya banyak untuk ditawarkan dari sisi tersebut, sangat indah," kisahnya.
"Tapi Anda bisa lihat dampak sampah plastik pada sumber daya alam kita, dan saya bisa lihat kalau itu bikin Bapak sedih."
Awalnya, orang tuanya tidak mendukung jalur karier ini.
"Mereka bilang, ‘Ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau kerjanya ngurusin sampah?'" kenangnya sambil tertawa.
"Tapi sekarang, mereka lihat kami sudah begitu sukses dan orang-orang betul-betul menghargai produk kami. Bahkan, mereka bikin kampanye daur ulang mereka sendiri di kampung."
📢 Kuis CNA Memahami Asia, eksklusif di saluran WhatsApp CNA Indonesia, sudah dimulai. Ayo uji wawasanmu dan raih hadiah menariknya!
Cek info selengkapnya di sini: https://www.cna.id/kuis-info