Sekolah dan terapi dalam satu atap: Inisiatif ibu di Singapura merawat dua putra autistik
Memiliki dua putra berkebutuhan khusus, Mina Sunico-Chin dan suaminya berinisiatif mendirikan AltSchool International, yang menggabungkan sekolah dan terapi dalam satu atap. Inisiatif ini dapat mempermudah para orang tua merawat anak dengan spektrum autisme.
Bagi kebanyakan orang tua mungkin merasa kalimat "eh, buset" tidak pantas keluar dari mulut anak mereka. Akan tetapi, bagi Mina Sunico-Chin, salah satu pendiri AltSchool International, merupakan suatu kelegaan luar biasa bahwa Mason – putra sulungnya yang berusia lima tahun – kini sudah mau bicara, apa pun kalimat yang ia ucapkan.
Mason sempat enggan berkata-kata, dan di usia dua tahun ia didiagnosis menyandang spektrum autisme. Namun, setelah enam pekan mengikuti program di AltSchool International, didirikan oleh Mina bersama suaminya, Vincent Chin, pada Januari lalu, putranya itu menunjukkan kemajuan lebih pesat dibandingkan enam bulan sebelumnya.
Pusat layanan yang berlokasi di River Valley, Singapura ini menerima anak-anak usia tiga hingga delapan tahun dengan tanda-tanda keterlambatan perkembangan dan perbedaan dalam belajar – termasuk gangguan spektrum autisme, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas, mutisme selektif, serta kecemasan sosial.
Lembaga ini juga memadukan intervensi dini dengan pendidikan khusus. Misalnya, anak dengan keterlambatan bicara bisa mengikuti terapi wicara dan belajar keterampilan berhitung sekaligus tanpa perlu ke tempat lain. AltSchool menyakini kerja sama antara para terapis dan guru diperlukan untuk membantu perkembangan anak.
Setelah mulai belajar di sini sejak Januari tahun ini, Mason kini bersedia duduk dengan tenang di kelas untuk mengikuti pelajaran. Ia pun mengucapkan perkataan baru setiap hari. Ia "berkembang pesat".
Perubahan pada Mackenzie, putra bungsu keluarga Chin, "lebih dramatis" lagi. Ia masuk ke AltSchool Maret lalu. Sebelumnya, di lembaga prasekolahnya yang lama, bocah tiga tahun yang didiagnosis menyandang kecemasan sosial dan mutisme selektif serta diduga menyandang spektrum autisme ini tak pernah mengeluarkan sepatah kata atau suara apa pun.
"Pada pekan pertama di sini – dengan lingkungan yang berubah, anak-anak yang jauh lebih sedikit, suasana yang tidak semenakutkan dulu – dia langsung mulai bicara di kelas dan berkomunikasi dengan guru-gurunya," kenang Mina.
"Masalahnya sekarang guru-guru malah tidak bisa membuatnya tutup mulut. Tiap hari saya mendengar 'Mackenzie!'," ujarnya terkekeh. "Ketika guru-guru lamanya (dari lembaga prasekolah sebelumnya) datang berkunjung, mereka takjub melihat Mackenzie bicara tanpa henti."
RANGKAIAN KEMENANGAN "KECIL"
Keberhasilan ini bukan hanya diraih oleh kedua putranya. Belum banyak anak yang bergabung ke pusat layanan ini, tetapi "untuk anak-anak yang kami tangani, kami melihat bagaimana tempat ini mengubah mereka dan betapa bahagianya mereka setelah mereka menyesuaikan diri dengan program," ujar Mina.
"(Ada beberapa anak yang) tidak bisa tenang di kelas; tidak bisa duduk diam untuk jangka waktu lama. Ada satu anak yang baru masuk (ke AltSchool). Tiap 10 detik, maunya bergerak saja. Tapi pekan ini, kami lihat dia duduk sampai satu menit. Itu satu kemenangan – dan hal itu akan kian membaik seiring waktu."
Pencapaian semacam ini, mungkin bagi sebagian orang, tidak terdengar luar biasa.
Ada anak yang enggan berbicara kini mulai dapat berkomunikasi menggunakan kartu-kartu visual. Baru-baru ini ketika dia merasa lapar di kelas, dan dia pun bergegas mengambil kartu “visual camilan”, kata Mina.
"Jadi anak ini sebelumnya seperti terjebak dalam dunianya sendiri. Ketika dia pertama kali datang, dia hanya berbaring di lantai, tidak melakukan apa-apa. Dan sekarang, dia dapat memberitahu saya bahwa dia lapar dan ingin makan – itu adalah pencapaian besar, meski bagi orang lain mungkin terlihat sepele."
Bagi Mina dan Vincent, perubahan perilaku "sepele" ini justru sangat memuaskan. Hal-hal inilah yang mendorong mereka mendirikan AltSchool, membantu para orang tua yang menghadapi tantangan-tantangan serupa.
BUNTU SOLUSI, RINTIS JALAN SENDIRI
Ketika Mason menunjukkan tanda-tanda awal keterlambatan bicara pada usia 18 bulan, keluarga Chin diarahkan ke berbagai program intervensi dini di seluruh Singapura. Intervensi dini mengajarkan berbagai keterampilan demi kemandirian anak-anak di bawah usia tujuh tahun yang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus di masa perkembangan. Upaya ini biasanya mencakup terapi wicara, fisik, dan okupasi.
Namun, ada beberapa tantangan lain. Salah satunya adalah daftar tunggu yang panjang melalui jalur layanan publik, sehingga mereka memulai terapi Analisis Perilaku Terapan untuk Mason dengan praktisi swasta terlebih dahulu. Bentuk terapi ini biasanya direkomendasikan untuk anak-anak dengan gangguan spektrum, seperti autisme, dan dirancang untuk membantu mereka mengembangkan keterampilan sosial dan emosional.
Meskipun terapi dengan terapis akhirnya membuat Mason berbicara, Mina masih merasa kemajuan putranya "sangat lambat", karena sesi yang dia ikuti hanya sekitar dua kali per pekan.
Dia juga khawatir putranya tidak akan tahu bagaimana mengingat dan menerapkan apa yang telah dipelajarinya setelah masuk lembaga prasekolah umum nantinya.
Selain itu, Mina dan suaminya harus bolak-balik mengantarkan putra mereka, dari lembaga prasekolah ke sejumlah kelas terapi, mulai dari terapi wicara hingga terapi okupasi.
Ditambah lagi, makin banyak terapis yang Mina ajak diskusi, makin ia mendambakan satu tempat dekat rumah yang mengonsolidasikan semua layanan intervensi dini sekaligus keterampilan akademis untuk anak-anak neurodivergent. Mina pun paham bahwa kebanyakan orang tua menginginkan kurikulum yang fokus pada akademik saja atau berbasis permainan saja, tetapi dia menginginkan gabungan dari keduanya.
Mina lantas menyadari ia bisa mengambil alih pendidikan anak-anaknya. Lagi pula, menjalankan bisnis merupakan "zona nyaman" baginya. Dia telah mendirikan agensi pemasaran digital Hashtag Interactive pada 2013, juga bersama suaminya.
Namun, suatu lembaga prasekolah, apalagi yang menyediakan layanan intervensi dini berikut pendidikan khusus, adalah bisnis yang sungguh berbeda.
KEKHAWATIRAN DAN PERTIMBANGAN
Tanpa pelatihan atau keahlian yang relevan di bidang pendidikan khusus atau intervensi anak usia dini, Mina menyadari pilihannya terbatas. Meski ia bisa membuka waralaba pusat kebugaran sensorik dari Amerika Serikat, misalnya, ia merasa "hal-hal spesifik semacam itu" tidak sepenuhnya memenuhi kebutuhan.
Setelah mengunjungi pusat-pusat intervensi dini lain di Singapura, ia juga menyadari bahwa peralatan terapi okupasi cenderung "berwarna sangat terang". Jika sesi dijalankan seperti lembaga prasekolah pada umumnya, akan ada "banyak benda di dinding". Lingkungan semacam itu tidak cocok untuk "anak-anak yang biasanya sangat sensitif terhadap rangsangan sensorik", seperti Mason.
"Bahkan sebagai orang tua, saya rasa itu berantakan banget," ujarnya.
"Nah, bisa Anda bayangkan seperti apa rasanya bagi anak autistik? Semuanya terasa lebih besar, lebih nyaring, lebih terang."
Maka ketika mulai merancang AltSchool, mereka "berpikir akan bagus kalau kita bisa merancangnya seperti Montessori, tetapi menjadikannya (ala) intervensi dini," tambahnya.
Ruang-ruang kelas Montessori dirancang dengan estetika yang sederhana dan rapi, memanfaatkan pencahayaan alami dan material yang hangat. Metode pendidikan ini, yang disetujui oleh Kementerian Pendidikan Singapura, menekankan kemandirian, pembelajaran praktik, dan keterampilan dunia nyata.
Selain terapi intervensi dini, Mina juga menginginkan program pembelajaran dengan struktur yang "sedekat mungkin dengan sekolah" guna mempersiapkan para siswa berkebutuhan khusus untuk pendidikan di masa depan, mungkin di sekolah umum.
Ia pun mempelajari IEYC atau Kurikulum Tahun-Tahun Awal Internasional. Kurikulum yang "sangat berpusat pada anak" dan "berbasis kemandirian" ini juga digunakan oleh lembaga-lembaga prasekolah umum lainnya.
Pada saat yang sama, mantan jurnalis majalah ini pun kian terdorong untuk belajar.
Ia pun memulai perjalanan pendidikannya sendiri, memperoleh Sertifikat Lanjutan untuk Pendidikan Inklusif dan Khusus dari College of Allied Educators pada April lalu. Dan Agustus nanti, ia akan mulai belajar untuk memperoleh Sertifikat Pascasarjana untuk Dukungan Khusus dan Inklusif demi mengejar gelar master di bidang yang sama di Newcastle Australia Institute of Higher Education di Singapura.
Di luar dorongan kewirausahaannya sendiri, ia harus mempekerjakan "orang-orang yang paham apa yang mereka lakukan", mulai dari pendidik hingga terapis. Semua guru AltSchool memiliki pengalaman atau kualifikasi pendidikan anak usia dini, meski perekrutan di bidang intervensi dini terbukti menantang karena tingginya permintaan yang melebihi ketersedian tenaga pengajar, ujarnya.
KELAS KECIL, PELAJARAN IMERSIF
Ketika membayangkan bagaimana suatu kelas sebaiknya dijalankan, Mina teringat betapa guru-guru prasekolah umum kesulitan menangani anak-anak berkebutuhan khusus karena "yang harus mereka lakukan sudah terlalu banyak", meskipun itu "bukan kesalahan mereka".
Karena itu, ia bertekad untuk menjaga ukuran kelas sekecil mungkin – satu guru untuk tiap dua hingga empat anak.
Namun, ia mengakui bahwa standar yang ketat berbanding lurus dengan biaya. Menurut harga indikatif yang tercantum di situs web mereka, biaya program setengah hari dimulai dari S$2.450 (sekitar Rp30 juta) per bulan, sementara program sehari penuh dimulai dari S$4.155 (sekitar Rp50 juta).
Ketika pusat layanan ini tengah dibangun, muncul pula perihal "rumit" terkait penentuan aneka terapi yang akan disertakan, seberapa sering dilaksanakan, dan bagaimana keterampilan akademis akan diintegrasikan ke dalam pelajaran harian. Mereka akhirnya menetapkan format kurikulum saat ini: siswa mengikuti terapi wicara dan bahasa dua kali sepekan, dan terapi okupasi sekali per pekan.
Namun, para guru mengintegrasikan strategi-strategi terapi sepanjang kurikulum harian dan bertemu para terapis secara rutin untuk membahas kemajuan anak-anak, memungkinkan mereka untuk bereaksi cepat terhadap perubahan perilaku yang signifikan, misalnya jika ada yang tiba-tiba menunjukkan keengganan terhadap pelatihan tata cara buang air.
Sunico-Chin menyadari bahwa perpaduan terapi dan pendidikan dalam satu ruang "sangat berpengaruh". "Kau berharap ada anak yang akan menggeneralisasi saat kembali ke rumah, dan beberapa anak bisa begitu, tapi anak-anak saya tidak bisa. Mereka benar-benar butuh lingkungan yang sangat imersif."
Pusat layanan ini menerapkan "pembelajaran tematik". Pelajaran-pelajaran maupun sesi-sesi terapi mengajak para siswa mendalami tema tertentu selama sebulan, misalnya astronomi atau lagu anak-anak tertentu.
Siswa juga berkegiatan di luar kelas, mulai dari berjalan santai di alam hingga mengunjungi toko bahan makanan, bahkan ke galeri seni. Praktik semacam ini tidaklah umum bagi anak-anak dengan perbedaan perkembangan, tambahnya.
"Jika Anda memiliki anak-anak yang tidak terduga cara bereaksinya terhadap rangsangan baru, kecenderungannya adalah menjaga mereka di rumah, di lingkungan yang lebih terkontrol, agar mengikuti rutinitas, supaya Anda pun tidak terkejut."
RANCANGAN INDIVIDUAL
Dengan ukuran kelas yang kecil, orang tua dapat menerima "umpan balik berkualitas" langsung dari guru tiap hari. Hal ini memenuhi keinginan pribadi Mina sebagai seorang ibu.
"Jangan beri saya umpan balik atau informasi (yang sudah jelas). Kalau saya lihat foto (anak saya) main balok, jangan cuma kasih tahu, ‘Oh dia sedang main balok.’ Kasih tahu saya apa tujuan (dari aktivitas itu), apa yang sedang diupayakan," jelasnya.
"Saya mau tahu apa yang (anak saya) lakukan tiap hari, sebab mereka pulangnya itu kan tidak seperti anak lain yang akan cerita apa yang terjadi. Saya mengandalkan guru untuk jujur sama saya. Kalaupun anak saya mengalami hari buruk, saya mau tahu apa yang terjadi... bagaimana perilaku tertentu bisa jadi masalah bagi (si anak) nantinya dan cari tahu sekarang bagaimana mengatasinya."
Untuk itu, tiap anak menerima Rencana Pendidikan Individual, yang menyoroti kelebihan, minat, dan tujuan mereka. Misalnya, anak-anak yang "lebih sensitif terhadap rangsangan sensorik" bisa mendapatkan lebih banyak waktu "jeda untuk bergerak" daripada teman-teman mereka, sehingga mereka bisa bermain di gym sebelum kembali ke meja untuk menulis lagi ketika mereka siap.
Ada juga strategi personal untuk mengatasi tantangan anak. Untuk putra sulung Mina, Mason, yang kerap "mencari rangsangan sensorik", dia diberi satu balok sensorik untuk diletakkan di bawah kakinya dan satu untuk diduduki, sehingga dia bisa duduk lebih nyaman untuk waktu yang lebih lama.
Rancangan untuk tiap anak disusun setelah periode observasi selama sebulan oleh manajer pusat sekolah, bersama dengan guru-guru yang terlatih dalam hal intervensi dini, menggunakan sistem evaluasi AEPS-3 (Assessment, Evaluation, and Programming System). Sistem ini menilai keterampilan perkembangan inti anak, seperti keterampilan motorik halus dan kasar. Anak diminta mencoba aktivitas tertentu, misalnya berjalan mengikuti garis lurus atau mengancingkan baju sendiri. Skornya dibandingkan dengan anak-anak dalam rentang usia tersebut.
Namun, Mina menjelaskan bahwa AEPS-3 bukanlah alat diagnostik.
"Saya tidak bisa menilai apakah anak Anda autistik, tapi secara fungsional, saya tahu apa saja yang harus ditangani. Jadi tidak penting bagi kami apakah si anak sudah ada diagnosis (resmi). Kami fokus pada apa yang mereka butuhkan. Kami manfaatkan kelebihan mereka, dan kami bantu mencapai (suatu tujuan)."
"UPAYA JANGKA PANJANG"
Sejauh ini, strategi tersebut tampaknya telah membuahkan hasil – setidaknya jika dilihat dari perkembangan anak-anak. Di awal masuk ke AltSchool, banyak yang "tak punya koneksi apa pun", namun kini memeluk guru mereka sebelum pulang dan menanti-nanti untuk kembali lagi esok hari.
"Kami begitu senang melihat perkembangan yang kami lihat pada anak-anak, dan bagaimana tiap hari ada hal kecil (yang berbeda). Terapi merupakan upaya jangka panjang; Anda tidak akan melihat (perubahan) dalam semalam," kata Mina.
"Cuma hal-hal kecil, tapi lantas suatu hari, saya sadari Mason berkata-kata jauh lebih banyak daripada sebelumnya. Saya heran, dia belajar dari mana, dan saya pun tahu, ya dari sini."
Mina ingin anak-anaknya merasakan apa yang dia dan suaminya rasakan ketika mereka memulai agensi pemasaran yang masih berjalan sampai sekarang: "Datang kerja tiap hari, menikmati apa yang kami lakukan dan dengan siapa kami bekerja."
Dia berharap AltSchool dapat menjadi tempat bagi kedua putranya "untuk berbahagia di mana mereka berada dan mendapatkan apa yang menurut kami terbaik bagi mereka". Dan, dia tambahkan, "semoga orang tua lain juga beranggapan ini baik bagi anak-anak mereka".
Meski anak-anak ini diharapkan bisa terus mempertahankan keterampilan setelah meninggalkan AltSchool, imbalan terbaik saat ini adalah melihat mereka menyelesaikan tugas-tugas yang mungkin menurut kebanyakan orang tidak bisa mereka lakukan.
Mina mengingat satu pelajaran tentang keberanian. Mei lalu, para guru mengajak anak-anak naik bus, yang merupakan kali pertama dan "hal besar" bagi banyak anak. Dalam perjalanan, anak-anak bahkan diberi instruksi untuk mencoba membeli makanan mereka sendiri selagi di luar.
"Semua orang mengira bakal ada meltdown. Kami sebenarnya gugup sekali mengenai hal ini; banyak dari kami yang memegangi anak-anak itu. Tapi ternyata hasilnya bagus," ujarnya sembari tersenyum.
"Sepertinya, begitu Anda mengasumsikan mereka bisa melakukannya, mereka pun akan mengejutkan Anda dalam banyak hal."
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.