Ketulusan Saleha Rashidi membantu para perempuan mantan terpidana membuka lembaran hidup baru
Sebagai manajer rumah singgah Rise Above Halfway House, Saleha Rashidi bantu para perempuan berstatus mantan terpidana untuk terhubung lagi dengan keluarga, mencari pekerjaan dan tempat tinggal, serta menyesuaikan diri di masyarakat.

SINGAPURA: Pagi itu, saya tiba di Rise Above Halfway House, pusat rehabilitasi bagi para narapidana untuk mengisi sisa masa tahanan dengan upaya-upaya reintegrasi ke masyarakat.
Halaman depan tampak kosong. Kepada dua staf yang ada, saya sampaikan keinginan untuk berjumpa dengan Saleha Rashidi, manajer pusat di rumah singgah tersebut — kami punya janji untuk bertemu. Saya pun diantar ke satu ruangan besar dan diminta menunggu. Menurut salah satu staf, telah terjadi “suatu insiden,” namun ia tidak menjelaskan lebih lanjut.
Saya menanti selama setengah jam. Saleha pun muncul dan mengatakan bahwa seorang penghuni sedang diproses untuk dikirim kembali ke penjara.
Hal semacam ini bisa terjadi jika penghuni berulang kali melanggar peraturan, seperti melewati jam malam atau membawa barang terlarang seperti rokok, korek api, benda tajam, atau narkoba ke dalam rumah singgah, jelasnya.
Satu van dari Singapore Prison Service — lembaga pemasyarakatan Singapura — datang menjemput penghuni yang akan dikembalikan. Saat itu, rumah singgah ini membatasi pergerakan semua penghuni, dan itulah yang tengah berlangsung di awal kedatangan saya.
“(Tujuannya) untuk melindungi martabat orang yang dikembalikan, supaya tidak jadi tontonan,” kata Saleha.
Kejadian semacam ini penuh tekanan dan mengikis semangat para penghuni dan staf. Namun, ini bisa terjadi karena jalan perubahan bagi para mantan terpidana dipenuhi ujian dan masalah. Tugas Saleha sebagai manajer pusat di Rise Above Halfway House ialah memberi mereka kesempatan untuk mencoba lagi.
MEMBANTU MENUJU KEMANDIRIAN
Rise Above dikelola oleh Persatuan Pemudi Islam Singapura (PPIS), bekerja sama dengan Singapore Prison Service. Rumah singgah sekuler khusus perempuan pertama di Singapura ini mulai beroperasi pada September 2022, dan terbuka untuk mantan terpidana dari segala ras dan agama.
Sebelum menjadi manajer pusatnya, perempuan 37 tahun ini telah melakukan kerja sosial selama 10 tahun di PPIS. Mencari tantangan yang lebih bermakna, dia langsung bergabung dengan tim untuk membuat buku panduan dan merenovasi tempat ketika PPIS merintis Rise Above.

Saleha dibantu tim beranggotakan 10 orang. Jumlah penghuni selalu berkisar 30 orang, usia 24 hingga 64 tahun. Sebagian terjerat kasus narkoba dan kejahatan ringan, dengan masa tahanan satu hingga lima tahun.
Misinya: Membantu para mantan pelanggar hukum bertransisi lebih baik menuju dunia luar selepas dari penjara.
Sebagai langkah pertama, para penghuni dibantu terhubung kembali dengan keluarga. Bahkan sebelum calon penghuni tiba, Saleha dan para pekerja sosialnya mengunjungi keluarga, bercengkerama, lalu mengundang mereka ke rumah singgah pada hari kedatangan penghuni tersebut.
Selepas kunjungan awal, Rise Above terus memfasilitasi pertemuan dengan keluarga dan, jika dibutuhkan, mengadakan sesi-sesi keluarga untuk membantu mengatasi berbagai masalah.

Para penghuni menjalani masa penyesuaian agar siap kembali ke masyarakat. Mereka biasanya tinggal selama enam hingga 12 bulan di sini. “Mungkin kedengarannya singkat ya, tapi rasanya seperti kamp tanpa akhir,” kata Saleha, setengah bercanda.
Sebab, banyak yang harus diurus. Misalnya, Saleha dan timnya harus memastikan para penghuni memiliki kartu EZ-Link dan akses ke Singpass. Mereka yang lebih lama di penjara mungkin harus membuat akun Gmail baru dan belajar keterampilan digital dasar seperti menggunakan kode QR, tambahnya.
Kami ingin mereka pulih, percaya diri, dan melihat diri mereka sebagai manusia tangguh, apa pun yang sudah mereka lalui.”
Salah satu peran utama Rise Above Halfway House adalah membantu para penghuninya memasuki dunia kerja. Mereka dibimbing membuat resume, berlatih wawancara, dan berlatih kemampuan yang berdaya saing seperti keterampilan kuliner dan seni digital. Setelah mendapatkan pekerjaan, penghuni diperbolehkan bekerja dengan batasan jam malam.
Jika perlu, tim Rise Above juga dapat membantu mencarikan akomodasi yang sesuai sebelum penghuni meninggalkan tempat ini.
KEPINGAN KISAH DI RUMAH SINGGAH
Tempat ini memiliki ritme hariannya sendiri. Tiap pagi, penghuni yang suka berkebun sigap menyirami tanaman. Mereka yang peduli dengan kesehatan akan berolahraga, misalnya berlari di treadmill.
Untuk urusan bersantap, mereka membuat jadwal memasak dan menyerahkan daftar menu berikut bahan-bahannya sebelum tiba giliran beraksi di dapur. Tergantung siapa kokinya, makan malam bisa berupa makaroni goreng atau ikan kuah asam pedas.

“Keahlian mereka beda-beda. Tapi umumnya semua suka makanan pedas. Dan pedasnya itu pedas volkano,” ujar Saleha, tertawa.
Mereka pun menyukai kegiatan hiburan seperti bermain bulu tangkis, menonton film, atau sekadar duduk-duduk di halaman depan ketika cuaca sejuk. Sebagian punya bakat tersembunyi; salah satu penghuni pernah memenangkan lomba menulis lagu di rutan, dan ia menyanyikan lagunya di pesta akhir tahun rumah singgah ini.
Bekerja di lingkungan seperti ini bisa terasa berat. Saleha sering harus bekerja lembur. Kadang ada pula situasi genting; suatu kali ada yang sakit dan harus dilarikan ke rumah sakit pada pukul 11 malam.
MEMBUKA LEMBARAN BARU
Kepingan kisah di atas cerminan pengorbanan tulus Saleha untuk tempat yang turut ia rintis dari nol. “Banyak kenangan manis di sini,” katanya. Ia bahkan ikut melukisi dinding-dindingnya dengan mural pada hari ulang tahunnya September lalu, dibantu para sukarelawan.

“Dinding-dinding ini tadinya kosong. Karena ingin membuat ruang yang menenangkan untuk para penghuni, kami minta ke satu desainer pro bono untuk bikin mural di beberapa ruangan. Temanya perempuan, pemulihan, dan kecantikan.
“Kami ingin mereka pulih, percaya diri, dan melihat diri mereka sebagai manusia tangguh, apa pun yang sudah mereka lalui. Kami ingin mereka merasa diberdayakan, bisa bikin keputusan yang sehat untuk diri mereka sendiri, dan punya semangat berbagi,” ujarnya.
Meski Rise Above Halfway House baru setahun belakangan menerima penghuni, Saleha bangga mendengar kisah-kisah positif dari mereka yang telah melewati program ini.
Seorang ibu dua anak yang diikutkan kursus kuliner saat tinggal di Rise Above telah bekerja di industri makanan dan minuman, dan baru-baru ini dipromosikan ke posisi pengawas gerai. Ada yang bekerja sebagai tenaga pemasaran di industri kecantikan, dan kini berkomunikasi lebih baik dengan orang tuanya setelah sesi keluarga yang diadakan di rumah singgah ini.
Saat membantu para mantan pelanggar hukum, saya ingat saya bukan sedang berurusan dengan individu saja, tapi juga dengan istri, saudara perempuan, atau anak perempuan seseorang.”
Saleha menambahkan, ada dua penghuni yang sebelumnya dipulangkan ke penjara tetapi kembali lagi ke Rise Above, dan kondisi mereka kini jauh lebih baik.
Ia paham, ketika mantan pelanggar hukum membuka lembaran baru, banyak tantangan menghadang. Ada yang diliputi keraguan diri, berjuang melawan pengaruh buruk pasangan yang terjerat masalah narkoba atau geng, dan ada pula yang tak punya dukungan keluarga.
Meski makin banyak penyedia lapangan kerja yang inklusif dan suportif, ada saja yang ragu-ragu memberikan kesempatan kepada para mantan pelanggar hukum, imbuhnya.
“Ada yang tidak mau repot-repot wawancara. Begitu dengar bahwa (pelamar) tinggal di rumah singgah, mereka langsung tutup telepon.
“Kadang saat wawancara, begitu tahu (pelamar) punya catatan kriminal, mereka akan bilang mereka tidak bisa berada di industri ini. Pekerja sosial saya juga pernah dengar ada yang bilang, ‘Saya tidak mau (mereka nanti) menyimpan narkoba di tempat kerja’,” ungkapnya.

Kukuh mengadvokasi para mantan pelanggar hukum, Saleha berujar: “Saat membantu para mantan pelanggar hukum, saya ingat saya bukan sedang berurusan dengan individu saja, tapi juga dengan istri, saudara perempuan, atau anak perempuan seseorang”
“Mantan pelanggar hukum itu sama seperti orang lain yang punya aspirasi, bakat, dan kemampuan. Kita semua pernah buat keputusan buruk; kita semua pernah kesusahan.
“Tapi saat kita mau bangkit, siapa yang siap kasih ruang, kesempatan, dan sumber daya? Saya betul-betul merasa bahwa salah satu hal yang masih bisa diupayakan lagi oleh masyarakat adalah menciptakan ruang-ruang bagi tiap individu untuk mengatasi tantangan-tantangan hidup mereka,” pungkasnya.
Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.