Saatnya perempuan tak sungkan akui kerja keras mereka, di kantor dan di rumah
Penelitian kerap kali menemukan bahwa perempuan terlalu rendah hati dan cenderung meremehkan kemampuan mereka.

Sebagai seorang profesional di bidang komunikasi korporat, saya terkadang dimintai tolong oleh teman-teman untuk membantu memeriksa CV, profil LinkedIn, atau ringkasan profil mereka ketika mendapat pekerjaan baru. Minggu lalu, seorang teman yang diterima bekerja di kantor barunya meminta tolong kepada saya untuk melakukan hal serupa.Â
Ia memberi saya sebuah draf pengumuman pengangkatannya, yang ditulis oleh kepala departemen sumber daya manusia (SDM). Draf tersebut tentu menggambarkan serangkaian fakta objektif tentang perjalanan kariernya. Namun, tidak ada satu pun kalimat yang dapat menggambarkan keahlian dan kemampuannya di luar deskripsi jabatan yang pernah diembannya. Â
Tidak ada kalimat seperti "profesional kawakan pemenang penghargaan" atau "pemimpin tim yang memberdayakan".
Ketika atributif semacam itu ingin saya sematkan dalam draf, teman saya malah menolak usulan itu mentah-mentah. "Janganlah, terdengar sombong", ucapnya kepada saya, disertai dengan emotikon.Â
Namun, saya bersikeras, karena kalimat seperti itu penting untuk menggambarkan kerja kerasnya. Akhirnya, setelah tarik-ulur selama beberapa waktu, dalam upaya terakhir untuk meyakinkannya, saya membalasnya dengan, "Mulailah berpikir selayaknya seorang laki-laki".Â

Penelitian terkait isu sosial kerap kali menemukan bahwa perempuan terlalu rendah diri dan cenderung meremehkan kemampuan mereka. Studi yang dilakukan oleh Harvard Business Review pada tahun 2019, mengungkapkan terdapat kesenjangan gender dalam hal promosi diri: perempuan kerap memberikan penilaian yang kurang baik terhadap kinerja mereka sendiri, dibandingkan dengan laki-laki dengan pekerjaan yang sama.
Sikap yang cenderung rendah diri yang dimiliki para perempuan membuat para pria tampil lebih percaya diri dan ekspresif tentang kinerja dan kemampuannya. Akibatnya, pekerja laki-laki lebih mudah mendapatkan pekerjaan dan diganjar upah yang lebih tinggi.
KESENJANGAN UPAH ANTAR GENDER
Contohnya saja di Singapura. Pada tahun 2020, Kementerian Tenaga Kerja Singapura melaporkan bahwa terdapat 14 persen kesenjangan upah berdasarkan gender di Negeri Singa. Hal ini berarti bahwa setiap 1 dolar Singapura yang didapatkan oleh pekerja laki-laki, pekerja perempuan hanya akan mendapat 86 sen.Â
Dengan adanya fakta semacam ini, mengapa perempuan masih sungkan mengakui kerja keras mereka? Menurut saya, jawabannya dimulai dari rumah.Â
Dalam berbagai peran domestik di rumah, perempuan selalu diharapkan untuk bekerja "di belakang layar". Bukan hanya harus melakukan pekerjaan domestik, akan lebih baik jika mereka mengerjakannya secara diam-diam dan tanpa mengharapkan pujian.Â
Perilaku ini jamak ditemukan di mana-mana, bahkan dalam tayangan di layar kaca. Tidak ayal jika sikap tersebut merasuk ke alam bawah sadar perempuan.Â
Pemikiran semacam ini pun juga sempat ada di benak saya, meskipun secara tidak sadar. Misalnya saja ketika saya tengah membagikan kisah sukses kepada keluarga atau kolega, saya lebih sering menggunakan kata ganti "kami" ketimbang "saya" untuk memberikan kesan bahwa kesuksesan itu diraih oleh tim. Padahal, kontribusi saya dalam tim itu cukup besar.Â

PROMOSIKAN DIRI SENDIRI
Ironis memang, bahwa saya ingin teman saya tidak perlu merasa sungkan untuk mempromosikan dirinya yang sudah bekerja keras, sementara saya juga merasakan hal serupa. Saya khawatir dianggap tinggi hati.Â
Contohnya saja ketika saya diminta menuliskan opini semacam ini sejak beberapa tahun lalu. Saya selalu merasa belum pantas untuk menuliskannya, seakan tidak ada hal penting yang bisa saja bagikan.Â
Namun, hari ini ada hal penting yang dengan penuh percaya diri akan saya bagikan melalui tulisan ini: marilah akui kerja keras kita bersama. Mengakui kerja keras bukanlah sebuah ketidaksopanan, namun merupakan upaya memperjuangkan pemberdayaan.
Pada bulan Maret ini, seluruh perempuan di dunia memperingati International Women’s Day. Pada kesempatan ini, saya mengajak kita semua untuk mengakui dan merayakan pencapaian kalian, baik para perempuan maupun laki-laki.Â
Ketika kerja keras kita diapresiasi di tempat kerja, janganlah mengabaikannya. Sesederhana menyatakan, "Terima kasih, senang sekali mendapat apresiasi ini," merupakan suatu upaya berterima kasih terhadap diri sendiri dengan rendah hati, tanpa perlu merendahkan diri dan menganggap itu kinerja tim.Â
Namun, ketika pencapaianmu diabaikan, bicaralah dengan sopan. Bagikan kisah sukses kamu dengan orang-orang di sekitarmu, dan jangan ragu meminta orang terdekat mempromosikan kerja kerasmu dengan apa adanya.Â
Kembali kepada draf teman saya, ia akhirnya meminta bagian SDM untuk menuliskan pengumuman pengangkatan yang lebih mencerminkan prestasinya selama berkarier, persis seperti saran saya.Â
Terkait hal ini, saya pun tidak sungkan mengakui kontribusi saya untuk mendorong teman saya selangkah maju menuju kesetaraan.
Opini ini ditulis oleh Janice Wong, profesional komunikasi strategis berpengalaman yang menyandang gelar PhD di bidang Bisnis, dengan fokus penelitian pada komunikasi korporat. Opini ini pertama kali dipublikasikan di TODAY.Â