Skip to main content
Iklan

Lifestyle

Saat AI jadi teman curhat: 1 dari 5 siswa SMA akui pernah pacaran dengan AI

Di balik maraknya penggunaan AI untuk tugas sekolah, siswa harus sadar bahwa mereka tak sedang berbicara dengan manusia.

Saat AI jadi teman curhat: 1 dari 5 siswa SMA akui pernah pacaran dengan AI

Ilustrasi percakapan antara pengguna dengan platform AI. (Foto: iStock/Vertigo3d)

14 Oct 2025 02:09PM (Diperbarui: 14 Oct 2025 02:15PM)

Survei terbaru mengungkap bahwa hampir 1 dari 5 siswa SMA mengaku pernah, atau mengenal seseorang yang pernah, memiliki hubungan romantis dengan kecerdasan buatan (AI).

Selain itu, 42% responden mengatakan mereka atau seseorang yang mereka kenal pernah menggunakan AI untuk menemani atau menjadi teman curhat.

Temuan ini berasal dari riset terbaru yang dilakukan oleh Center for Democracy and Technology (CDT), sebuah lembaga nirlaba yang berfokus pada advokasi hak sipil, kebebasan sipil, serta penggunaan data dan teknologi secara bertanggung jawab.

CDT melakukan survei terhadap sekitar 800 guru sekolah negeri kelas 6 hingga 12, 1.000 siswa SMA (kelas 9–12), dan 1.000 orang tua di Amerika Serikat. Mayoritas responden — 86% siswa, 85% pendidik, dan 75% orang tua — menyatakan bahwa mereka menggunakan AI selama tahun ajaran terakhir.

Penulis survei ini sekaligus perwakilan CDT, Elizabeth Laird, mengatakan bahwa hasil survei menunjukkan beberapa korelasi yang cukup kuat.

Salah satunya adalah: "Semakin sering sekolah menggunakan AI, semakin besar kemungkinan siswa mengakui, 'Aku mengenal seseorang yang menganggap AI sebagai teman,' atau 'Aku mengenal seseorang yang menganggap AI sebagai pasangan romantis.'"

RISIKO BAGI SISWA

Menurut Laird, hasil survei juga menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat penggunaan AI di sekolah maka semakin tinggi pula tingkat kemungkinan adanya pelanggaran data, interaksi bermasalah antara siswa dan AI, serta deepfake yang dihasilkan oleh AI.

Deepfake merupakan istilah yang merujuk pada video atau foto manipulatif buatan AI yang bisa digunakan untuk melecehkan atau melakukan perundungan seksual terhadap siswa.

Siswa yang bersekolah di institusi dengan tingkat penggunaan AI yang tinggi juga lebih sering melaporkan bahwa mereka atau teman mereka menggunakan AI untuk dukungan kesehatan mental, teman bicara, pelarian dari kenyataan, bahkan untuk hubungan romantis.

"Aku kira penting bagi siswa untuk menyadari bahwa mereka sebenarnya tidak sedang berbicara dengan manusia, ujar Laird, dikutip dari NPR.

"Mereka sedang berinteraksi dengan alat, dan alat tersebut punya batasan. Penelitian kami menunjukkan bahwa literasi AI dan pelatihan yang diterima siswa masih sangat mendasar [terkait hal ini]," tambahnya.

Selain itu, studi ini juga menemukan bahwa para pengajar yang sering menggunakan AI dalam proses belajar-mengajar mengakui bahwa teknologi tersebut meningkatkan efektivitas pengajaran, menghemat waktu, dan membantu pembelajaran yang lebih personal bagi siswa.

Namun, di sisi lain, siswa di sekolah yang penggunaan AI-nya tinggi justru mengaku mereka memiliki kekhawatiran yang lebih besar terhadap teknologi ini, termasuk perasaan kurang terhubung dengan para guru.

"Yang kami dengar dari para siswa adalah meskipun ada nilai positif dari teknologi ini, ada juga konsekuensi negatif yang ikut muncul," ujar Laird.

"Dan kalau kita ingin benar-benar merasakan manfaat AI, kita harus mendengarkan pendapat para siswa [terkait hal ini]," pungkasnya. 

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: Others/ps

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan