Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Lifestyle

Review konser Olivia Rodrigo di Singapura: Kejujuran sang musisi gen z mampu menyihir milenial

Usianya memang masih 21 tahun, tetapi kejujuran Rodrigo merangkul gejolak emosi yang dirasakan khas remaja perempuan, dibalut kepiawaian dalam menuangkannya menjadi deretan lagu yang catchy, sungguh memikat.

Review konser Olivia Rodrigo di Singapura: Kejujuran sang musisi gen z mampu menyihir milenial

Konser Olivia Rodrigo di Singapore Indoor Stadium, Singapura, pada 1 Oktober 2024. (Foto: CNA/Grace Yeoh)

Orang gila mana yang bersedia bertemu mantan kekasih setelah ia berbulan-bulan ghosting lalu tiba-tiba menelepon kita saat sendirian dan kita bisa merasakan ada maksud tersembunyi di balik semua ini? 

Kira-kira begitulah pertanyaan yang muncul di benakku saat mendengar lebih dari 12.000 orang menyanyikan bersama lirik lagu Bad Idea Right? pada Selasa malam (1/10), hari pertama konser Olivia Rodrigo di Singapore Indoor Stadium, Singapura. 

Namun, melihat lebih dari sepuluh ribu orang tampaknya relate dengan lirik lagu itu, kupikir, mungkin itu bukan hal yang sama sekali gila. 

Mungkin begitulah orang yang sedang jatuh cinta—pikiran rasionalnya hilang entah ke mana. 

Dan musisi gen z berusia 21 tahun ini begitu memahami perasaan semacam itu, dan mengemasnya menjadi sensasi pop-rock yang asik betul didengar telinga. 

Begitulah lagu tentang godaan untuk kembali ke mantan kekasih membuka konser Olivia Rodrigo. Lagu ini menjadi pengantar yang sempurna bagi para penonton konser yang mungkin belum terlalu akrab dengan berbagai karyanya.

Konser Olivia Rodrigo di Singapore Indoor Stadium, Singapura, pada 1 Oktober 2024. (Foto: CNA/Grace Yeoh)

Singapura menjadi salah satu negara yang disambangi Rodrigo dalam tur konser Guts. Setelah penampilannya semalam, Rodrigo akan tampil untuk malam kedua pada hari ini, Rabu (2/10). 

Sebelumnya, ia sempat mampir di Bangkok, Seoul, Hong Kong, dan Tokyo. Penyanyi berdarah Filipina-Amerika ini kemudian akan melanjutkan perjalanan ke Manila untuk konser satu malam.

Pada hari ketika tiket konsernya mulai dijual, saya sampai mematikan notifikasi di hari kerja agar tidak terganggu oleh berbagai pesan di aplikasi Slack.

Saya ingin bisa fokus mengerjakan hal yang lebih penting daripada pekerjaan: ticket war

Untung saja, setelah tiket untuk konser satu malamnya ludes terjual dalam waktu singkat, konser Rodrigo pun ditambah satu hari lagi. 

Rodrigo lahir tahun 2003, sehingga termasuk generasi z. Namun, lagunya dapat pula mewakili perasaan sebagian milenial, termasuk saya, dan mungkin mereka yang menggemari musisi pionir pop-punk awal dekade 2000-an, seperti Avril Lavigne dan Paramore. 

Tidak heran jika Rodrigo menyebut kedua musisi itu memiliki pengaruh besar terhadap karya-karyanya. 

Bahkan, daya tarik Rodrigo di kalangan penggemarnya yang milenial bisa menjadi lelucon tersendiri. Sepertinya memang aneh jika milenial masih relate dengan lagu-lagu yang diproduksi oleh orang yang berusia lebih muda. 

Jujur saja, saya tidak menyangka bahwa single Rodrigo yang viral, Drivers License, serta-merta menjadikan saya salah satu penggemarnya, yang akrab disebut Livies. 

Begitu mendengar single itu pada 2021, lagu itu seakan melekat di kepala saya. Sungguh tidak menyangka mantan bintang Disney itu bisa menghasilkan lagu yang sangat catchy semacam itu. 

Begitu album debutnya Sour rilis pada akhir 2021, saya, bersama banyak milenial lainnya, langsung jatuh cinta.

Bukan hanya kejujuran dalam lirik-lirik Rodrigo—yang sangat menggugah sekaligus meresahkan—yang membuat saya tertarik. Saya terpikat dengan caranya yang tampak begitu santai dalam menghadapi gejolak emosi khas remaja yang naik dan turun tak beraturan. Bukan dalam kilas balik, melainkan saat mengalaminya. 

Lirik-lirik lagu Rodrigo dengan gamblang menuangkan berbagai emosi, seperti marah, cemburu, dan tidak bahagia.

Namun, semua emosi itu bukan digambarkan sebagai sesuatu yang memalukan. Sebaliknya, Rodrigo merangkul semua perasaan itu. 

Karena semua emosi itu adalah bagian dari perjalanan seorang remaja perempuan yang beranjak dewasa. Konsep ini asing bagi milenial seperti saya, yang terbiasa menekan dan mengabaikan perasaan. 

Ketika dia merilis album studio keduanya, Guts pada 2023, saya sudah menjadi salah satu penggemar beratnya. 

Bisa dibilang, saya berada dalam hubungan parasosial dengan seorang penyanyi remaja perempuan berusia 20 tahun, yang menurut saya adalah orang paling keren se-dunia saat ini.

Konser Olivia Rodrigo di Singapore Indoor Stadium, Singapura, pada 1 Oktober 2024. (Foto: CNA/Grace Yeoh)

Kembali ke konser semalam, ketika Rodrigo membawakan lagu Vampire, lagu ketiga dalam setlist konser, seluruh stadion tenggelam dalam perasaan mereka, berteriak sekeras mungkin merapal lirik lagu yang bercerita tentang perasaan dimanfaatkan, dibohongi, dan akhirnya diperalat oleh seorang kekasih. 

Menyanyikan lagu ini bersama lebih dari 10 ribu orang membuat saya merasa ini adalah bentuk katarsis murni bagi siapa pun yang sedang patah hati. Seluruh orang yang berada dalam Singapore Indoor Stadium semalam seakan terhanyut dalam perasaan yang sama. 

Dan hebatnya, bahkan ketika menyanyikan lagu drama patah hati, Rodrigo tetap menemukan cara untuk menunjukkan bakatnya yang luar biasa—secara vokal, emosional, bahkan teatrikal.

Setlist berjalan terus dan lagu-lagu selanjutnya sengaja dipilih yang lebih ceria, misalnya saja Love Is Embarrassing.

Dalam lagu ini, Rodrigo mengejek dirinya sendiri karena tertarik pada seseorang. Kepercayaan diri dan keteguhannya di atas panggung jauh melampaui usianya yang muda.

Jika kamu melihat cara dia begitu lihat mengucapkan monolog singkat sebelum memulai Teenage Dream, kamu tidak akan menyangka dia baru berusia 21 tahun. 

Rodrigo menulis lagu itu beberapa hari sebelum ulang tahunnya yang ke-19. Motivasinya saat itu sederhana, andai ia bisa memutar waktu dan dapat memberi nasihat kepada dirinya sendiri di masa yang lebih muda, ia akan bilang bahwa akan banyak "hal ajaib" di masa depan. 

Sifatnya yang bijaksana itu, baru dapat saya lakukan sekitar satu dekade dari usianya. Itu sebabnya saya paham betul jika lirik Rodrigo dianggap bagaikan ayat suci bagi para penggemarnya. 

Dan saya berharap para penggemarnya merasa beruntung sang idola dapat mengingatkan kita kita terhadap inti kehidupan: bahwa semuanya akan berjalan sebagaimana mestinya.

Konser Olivia Rodrigo di Singapore Indoor Stadium, Singapura, pada 1 Oktober 2024. (Foto: CNA/Grace Yeoh)

Pada paruh kedua pertunjukan, Rodrigo mengungkapkan bahwa lirik yang menjadi ciri khas dari lagu Happier–"I hope you’re happy but don’t be happier"–datang begitu saja saat ia sedang syuting.

Saya ingat pertama kali mendengar lirik itu, kejujuran Rodrigo yang terasa begitu segar dalam lagu itu langsung melekat dalam ingatan. 

Rodrigo bisa dengan jujur dan secara harfiah mengungkapkannya dalam lagu, tanpa membuat lagunya menjadi datar, dan itu membuat saya iri.

Saya sadar bahwa rahasianya bukanlah dia tumbuh di dunia yang tidak mempermalukan intensitas emosi yang dialami. Namun, ia melawan semua stigma tersebut. 

Rodrigo merupakan salah satu dari perempuan gen z yang mengubah wajah musik pop. Selain Rodrigo, ada Sabrina Carpenter, yang begitu ceria dan luar biasa nyaman dengan sisi seksualitasnya. 

Ada pula Chappell Roan, yang terkenal dengan lirik lagu-lagu yang tegas dan memotivasimu untuk mengungkapkan aspirasimu. 

Namun Rodrigo berbeda, hanya karena ia berani merangkul seluruh perasaannya, dengan seapaadanya, seringkali tampak kacau, namun itulah yang menular kepada para penggemarnya. 

Bagi para milenial berusia 30-an seperti saya, kejujuran Rodrigo itu cukup menjadi sarana yang menyembuhkan.

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan