Review film We Live in Time: Ketika cinta, ambisi, dan kenangan berkelindan dalam duka
Dibintangi oleh Andrew Garfield dan Florence Pugh, film ini mengajukan pertanyaan mendalam: jika waktumu terbatas, kenangan apa yang ingin kamu tinggalkan?
We Live in Time merupakan film drama terbaru garapan John Crowley yang menawarkan pengalaman sinematik perpaduan romansa, duka, dan refleksi tentang makna kehidupan.
Film ini mempertemukan Andrew Garfield dan Florence Pugh, aktor dan aktris yang sudah mengantongi nominasi Oscar melalui berbagai film mereka sebelumnya.
Dengan alur non-linear yang unik, film produksi Studio Canal dan rilisan A24 ini menggambarkan kisah tentang cinta, ambisi, dan kenangan yang terbentuk di tengah duka akibat penyakit mematikan.
We Live in Time seolah mengajukan pertanyaan mendalam kepada penontonnya: jika waktumu di dunia ini terbatas, kenangan seperti apa yang ingin kamu tinggalkan?
BERMULA DARI TABRAKAN
Cerita dimulai dengan Tobias (Andrew Garfield), pegawai perusahaan sereal Weetabix yang baru bercerai setelah istrinya lebih memilih berkarier di Swedia.
Saat hendak membeli pulpen untuk menandatangani surat cerai, ia ditabrak mobil yang dikendarai oleh Almut (Florence Pugh), koki berbakat dan pemilik restoran yang ambisius.
Kisah pertemuan kedua tokoh utama ini, atau yang kerap disebut adegan meet-cute, memang dibuat sekomedik itu.
Kedekatan mereka pun tumbuh menjadi hubungan yang lebih intim, meskipun dihadang pandangan yang berbeda soal membangun keluarga.
Tobias ingin hidup bersama Almut dalam bentuk keluarga tradisional: dalam sebuah institusi pernikahan dan membesarkan anak bersama.
Sementara Almut tidak pernah berkeinginan memiliki anak atau menjadi seorang ibu.
Selain perbedaan pandangan ini, kisah cinta mereka harus diuji lagi saat Almut didiagnosis menderita penyakit mematikan, dengan harapan hidup yang terbatas.
Bagaimana Tobias dan Almut dapat merangkai kenangan dan merayakan cinta bersama meskipun duka sudah pasti akan datang menghampiri?
ALUR CERITA ACAK
Sutradara John Crowley dan penulis naskah Nick Payne memilih alur cerita non-linear, di mana adegan-adegan melompat antarperiode waktu tanpa penjelasan eksplisit.
Hal ini memberikan ruang bagi film untuk menjadikan emosi para karakternya sebagai fokus utama cerita, terlepas dari musim kehidupan mereka.
Dalam keterangan pers film ini, Crowley menjelaskan keputusan kreatifnya untuk mengadopsi cara bertutur semacam ini.
"Saya tertarik menggunakan waktu secara sinematik untuk benar-benar mengekspresikan bagaimana rasanya berada di dalam sebuah hubungan," ungkapnya.
Hasilnya, We Live in Time memang berhasil menjadi film duka yang tidak biasa. Berbagai adegan yang tersaji terasa sinematik dan sangat intim.
Adegan demi adegan dalam alur maju-mundur seakan menunjukkan bagaimana cinta dapat mengubah persepsi kita tentang waktu, dan bagaimana momen-momen kecil dapat menjadi monumental.
Sajian sinematik ini didukung dengan keindahan visual pedesaan Inggris yang menjadi latar film ini.
Musik scoring karya Bryce Dessner pun menciptakan suasana yang mendukung perjalanan cinta Tobias dan Almut.
KURANG EMOSIONAL
Meski demikian, alur yang acak ini dapat membingungkan bagi sebagian penonton yang terbiasa dengan struktur linear.
Selain itu, pengungkapan penyakit mematikan yang diderita Almut di awal film mengurangi elemen kejutan dan rasa penasaran penonton untuk mengikuti perjalanan kisah mereka.
Selain itu, drama ini berbalut komedi yang rasanya tidak dapat berbaur dengan sempurna dengan tone cerita.
Adegan meet-cute Almut dan Tobias misalnya, terkesan seperti komedi slapstick.
Begitu pula dengan adegan melahirkan di pom bensin, seakan mengganggu keindahan hubungan yang telah dibangun dengan elegan sejak paruh pertama film.
Selain itu, perubahan persepsi Almut terhadap institusi keluarga terasa begitu mendadak.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: Mengapa Almut tiba-tiba mengambil keputusan yang akan mengorbankan kesehatannya sendiri?
Perubahan persepsi ini terasa sangat bertolak belakang dengan kepribadiannya yang digambarkan tegas, ambisius, bahkan sempat memutuskan hubungan ketika Tobias mempertanyakan pilihannya.
CHEMISTRY YANG LUAR BIASA
Namun, satu hal yang menjadi kekuatan utama film We Live in Time adalah chemistry yang luar biasa antara Andrew Garfield dan Florence Pugh.
Garfield mampu menampilkan kelembutan sosok Tobias yang berpadu sempurna dengan akting Pugh yang menampilkan Almut yang ambisius dan tegas.
Akting kedunya semakin memperindah jalinan romansa yang tragis, memberikan kesan autentik dan manusiawi.
Alhasil, We Live in Time menjadi drama yang lembut, yang akan membangkitkan kembali keyakinan penonton pada kisah-kisah romansa klasik.
Film We Live in Time merayakan kehidupan dan jejak kenangan yang kita tinggalkan setelah kepergian kita, mengingatkan kita bahwa kenangan terhadap orang yang kita cintai akan melampaui waktu.
Namun, meski dari trailer terlihat seperti film yang akan menguras air mata, We Live in Time kurang dapat menggugah emosi secara maksimal karena alur ceritanya yang non-linear.
Film We Live in Time sudah tayang di bioskop Indonesia sejak 22 November 2024.
📢 Kuis CNA Memahami Asia, eksklusif di saluran WhatsApp CNA Indonesia, sudah dimulai. Ayo uji wawasanmu dan raih hadiah menariknya!