Review film Twister: Aksi menaklukkan badai dengan sentuhan humanis
Di balik serangkaian adegan badai yang rasanya berkecamuk tiada henti sepanjang durasi penayangan 122 menit, plot utama film ini punya niat tulus untuk menyajikan tontonan yang sangat humanis.
Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya menonton film bencana. Sejak Cloverfield tahun 2008, genre ini rasa-rasanya tidak lagi menarik minat saya. Setidaknya, film-film yang termasuk dalam genre disaster movie tidak pernah lagi menjadi film yang saya tunggu-tunggu penayangannya di bioskop.
Namun, ketika tahu bahwa film Twister (1996) yang menjadi blockbuster di masanya akan dibuat reboot-nya di bawah arahan Lee Isaac Chung, yang namanya meroket sejak menggarap semi-autobiografinya, Minari (2020), saya langsung tertarik untuk menontonnya.Â
Seperti apa sih Lee akan mengemas film bergenre science-fiction/disaster yang sudah berusia 28 tahun ini menjadi sebuah paket film musim panas, alias film ber-budget besar, yang penuh aksi, dan bertabur bintang yang sedang hits?Â
Untungnya, Twister (2024) tidak mengecewakan.Â
Kamu mungkin tidak ingat apakah kamu pernah menonton Twister yang tayang tahun 1996 atau belum, tapi mungkin kamu ingat pernah menonton film dengan adengan ikonik yang menampilkan sapi terbang tersapu badai?Â
Ya, itu salah satu adegan di film Twister versi tahun 1996 yang kemudian sering malang melintang dalam tayangan ulang di televisi.Â
Jika pun kamu belum pernah menonton film awal Twister yang tayang tahun 1996 lalu, tidak mengapa, kamu tetap saja bisa menikmati film Twister versi baru ini karena film ini disebut sebagai standalone sekuel, alias sekuel yang kisahnya berdiri sendiri, tidak melanjutkan atau berhubungan dengan kisah di film sebelumnya.Â
Twister (2024) mengangkat kisah Kate Cooper (Daisy Edgar-Jones), ilmuwan perempuan yang berbakat mengetahui segala lika-liku soal badai yang hingga saat ini belum dapat dipecahkan oleh sains.Â
Ia paham kapan, berapa lama, dan seberapa dasyat badai akan terbentuk. Kate dan teman-temannya pun menjadi tornado chasers, atau para pengejar badai, kegiatan yang tentunya memicu adrenalin. Namun, perkiraan Kate tidak selalu benar.Â
Suatu ketika, perkiraannya yang meleset membuatnya kehilangan para sahabat dan kekasih dalam satu sapuan angin.Â
Bertahan hidup dari trauma kelam yang terus menghantuinya, Kate yang berasal dari kota kecil pun pindah ke New York untuk bekerja sebagai ahli meteorologi. Tidak lagi mengejar badai, ia mencoba memperkirakan cuaca, apakah badai akan terbentuk, dan berusaha memberi peringatan kepada warga. Pekerjaan yang jauh dari kata "memicu adrenalin".Â
Sampai suatu kesempatan kembali datang kepadanya, dan membuatnya mempertanyakan takdirnya, mengapa ia termasuk orang yang berhasil selamat dari tornado yang merenggut nyawa sahabat dan kekasihnya? Apakah ia ditakdirkan untuk "menaklukkan badai" agar tidak ada lagi nyawa yang melayang akibat bencana ini?
Saat itulah film mengajak kita menelusuri petualangan seru Kate kembali berhadapan dengan badai, kali ini diwarnai dengan kehadiran Tyler Owens (Glen Powell), YouTuber yang dikenal sebagai penakluk badai, dan menyiarkan aksinya secara live. Â
Tyler terlihat tengil dan menyebalkan, tapi apakah keduanya ditakdirkan untuk bersama-sama menjinakkan badai?
Di bawah arahan Lee, Twister tidak mengecewakan sebagai film musim panas yang menawarkan kisah bencana yang mengharukan.Â
Di balik serangkaian adegan badai yang rasanya berkecamuk tiada henti sepanjang durasi penayangan 122 menit, plot utama film ini punya niat tulus untuk menyajikan tontonan yang sangat humanis: bahwa manusia, bagaimana pun sulitnya dilanda bencana, akan dapat mampu bertahan dan bersikap optimistis.
Departemen akting yang berjalan dengan baik digawangi Edgar-Jones dan Powell membuat kita terhanyut dalam kisah romantis tipis-tipis berbalut serangkaian adegan tornado yang mendebarkan.Â
Adegan bencana terakhir di bioskop sangat menakutkan namun memikat, membuat film ini layak dinikmati di layar bioskop terbesar yang bisa kamu temui.Â
Inilah yang membuat Twister menarik. Film ini mampu menampilkan keseruan yang seimbang: Kita mendambakan adegan-adegan yang memacu adrenalin tetapi pilu menyaksikan kehancuran yang dibawa angin puting beliung tersebut saat menerjang kota-kota yang dipadati penduduk.Â
Film ini juga seakan ingin menunjukkan bahwa teknologi mungkin menjadi kunci manusia untuk bertahan hidup ketika alam semakin tidak bersahabat. Sayangnya, film ini tidak sama sekali menyinggung soal perubahan iklim, yang tentu saja menjadi alasan utama badai semakin sering terjadi.Â
Twister berhasil menjadi film musim panas yang mengingatkan kita bahwa pada dasarnya, manusia akan selalu ingin membantu sesama saat menghadapi kesulitan. Sulit untuk tidak tersentuh dengan kisah semacam ini.Â
Meskipun film bencana bukanlah genre yang menarik bagi saya belakangan ini, tetapi Twister terasa membawa angin segar. Akankah Twister menandakan kebangkitan genre ini di Hollywood? Kita nantikan saja.Â
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.