Skip to main content
Iklan

Lifestyle

Rahasia agar dilirik di LinkedIn: Posting tanpa cari validasi. Begini caranya

Bagi sebagian orang, posting di LinkedIn bisa terasa seperti ajang pamer yang canggung. Tapi kalau dilakukan dengan cara yang tepat, platform ini justru bisa bantu bangun koneksi yang tulus dan karier.

Rahasia agar dilirik di LinkedIn: Posting tanpa cari validasi. Begini caranya
Situs jejaring profesional, LinkedIn dapat menjadi tempat untuk menjalin koneksi yang lebih dalam apabila kita memanfaatkannya dengan benar, menurut para ahli. (Foto: Ilustrasi CNA/Samuel Woo)

SINGAPURA: Januari lalu, aku membuat resolusi Tahun Baru dengan harapan bisa lebih rutin memposting karyaku di situs jejaring profesional LinkedIn

Aku bahkan memposting pernyataan itu di platform tersebut, serta membagikan satu artikel yang kutulis dan kubanggakan. Aku pikir pelaku bisnis akan tertarik untuk membacanya, mengingat artikel itu menyangkut soal ekonomi.

Namun seperti biasanya, resolusi Tahun Baru itu tidak berhasil kutepati. 

Singkat cerita, dalam 18 bulan setelah itu, aku memposting dua artikel lagi. Setidaknya, dari 1.000 berita yang kutulis sepanjang aku berkarir di bidang jurnalistik hingga saat ini, hanya empat yang sudah kubagikan. 

Sebenarnya, bukan karena aku merasa itu tidak penting atau tidak ada manfaatnya. Justru sebaliknya.

Contohnya, aku pernah lihat beberapa postingan mendidik lewat di linimasa dan itu menarik perhatian banyak orang. Lalu, aku berkenalan dengan beberapa penulis postingan tersebut dan mewawancarai mereka untuk bahan berita. 

Kemudian, aku juga berkenalan dengan orang-orang yang mendapat kerja melalui koneksi yang mereka dapat di plaform itu.

Bukan maksudku untuk membuatnya terkesan seperti ada imbal jasa, tapi intinya, aku mengerti bagaimana keaktifan kita di platform tersebut dapat membantu pertumbuhan karier kita.

Tapi setiap kali aku mengingatkan diri untuk posting sesuatu di LinkedIn, aku selalu kalah dengan pikiran-pikiranku yang merasa kalau aku seperti sedang mencari validasi atas tulisan beritaku.

Antara itu, atau karena terlalu lelah dengan pekerjaan dan hidup, sampai-sampai membuat tiga, empat baris kalimat dan klik "posting" saja terasa berat.

Jadi, itu sebabnya aku hanya bisa memposting 30 konten. Padahal, aku punya akun LinkedIn ini dari sejak aku lulus 10 tahun yang lalu.

Alasan lain yang membuatku malas untuk aktif di platform ini adalah karena aku pernah membaca artikel tentang bot khusus untuk meningkatkan engagement.

Bahkan ada juga yang namanya "pods", atau sekelompok pengguna yang kadang dibayar untuk klik suka, komentar dan/atau reposting konten satu sama lain, menurut artikel ini.

Lalu, bagaimana cara agar aku bisa melawan keenggananku dan berusaha menaikkan profilku di platform ini?

TUJUAN POSTING HARUS JELAS

Saat aku bicarakan hal ini dengan dr. Juliana Chan, pendiri masterclass LinkedIn Find Your Superpower, satu nasihat yang dia berikan adalah untuk selalu memiliki tujuan yang jelas saat memposting.

"Kalau aku tidak tahu 'tujuan akhirku', aku tidak akan pernah termotivasi untuk posting di LinkedIn sama sekali," kata dr. Chan.

Agar bisa konsisten, dia menganjurkan untuk memulainya secara perlahan. Biasanya, posting sekali seminggu "masih sangat bisa dilakukan", jelasnya.

Alih-alih membuat konten baru, aku cukup memilih satu dari ratusan tulisan beritaku untuk memulainya, tambahnya.

Saat aku bilang kalau aku merasa seperti tukang pamer karena menunjukkan hasil kerjaku, dia mengatakan bahwa ada baiknya ubah pola pikir yang serba "aku, aku, dan aku" dan fokus melakukan apa yang dia sebut sebagai "bercerita secara inklusif" di postinganku.

Hal itu bisa berupa cerita-cerita di balik layar yang dapat menarik hati pembaca, tips karier yang dapat bermanfaat bagi jurnalis muda atau lulusan baru yang sedang berusaha menembus dunia kerja, ataupun pelajaran yang aku petik dari tulisan berita yang dapat bermanfaat bagi orang lain.

"Bagiku, LinkedIn tidaklah performatif karena aku serius mengerjakan semua hasil ini untuk siapa saja yang membaca postinganku," imbuhnya.

Serla Rusli, pakar karier LinkedIn, menyimpulkannya seperti ini: "Orang-orang lebih menanggapi konten yang original dan reflektif yang datang dari pengalaman atau pelajaran hidup, karena itu terasa dekat dan mengena."

PERLEBAR KONEKSI

Aku yakin kalau LinkedIn hanya sekadar alat untuk mendekatkan kita dengan khalayak profesional. Akan tetapi, aku juga sadar kalau komentar atau suka tidak selalu melahirkan hubungan profesional.

Saat sedang menunjukkan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi di LinkedIn, dr. Chan mengatakan kalau dia juga mendapat teman dari platform tersebut. Ia bahkan sempat mengundang mereka datang ke acara ulang tahunnya dan pergi liburan bersamanya.

Meskipun terdengar basi, kunci untuk membangun hubungan yang benar-benar profesional dari koneksi daring adalah dengan bersikap apa adanya, menurut pakar yang berbincang denganku.

Bahkan ketika berinteraksi dengan postingan orang lain, dr. Chan menyarankan untuk tidak meninggalkan komentar generik seperti "Postingannya menarik!"

"Itu tidak hanya membuang-buang waktu kamu, tetapi juga menyulitkan pembuat postingan untuk membalas komentarmu selain balasan yang terkesan asal seperti 'makasih', yang mana artinya potensi berkoneksi jadi hilang sia-sia," jelasnya.

Sebaiknya, ambil waktu untuk memberi sesuatu yang informatif dan menjadi nilai tambah untuk pembahasan.

"Aku lihat bagaimana komentarku menjadi sorotan hanya karena yang kukomentari tidak sekedar balasan semata, tetapi juga informatif dan bermanfaat!" ungkapnya.

Perihal melebarkan sayap dan berteman dengan orang-orang yang tidak kukenal secara pribadi, dr. Chan memberi saran untuk melakukan pendekatan secara bertahap daripada langsung mengirim permintaan dingin untuk berkoneksi. 

"Permintaan koneksi yang dingin seringkali gagal," tambahnya.

Interaksi yang konsisten dengan postingan mereka, sebelum mengirimkan permintaan dengan catatan personal. Ketika orang tersebut menerima permintaan berkoneksi, dr. Chan menganjurkan untuk meninggalkan pesan yang tidak asal-asalan sebagai langkah selanjutnya. 

"(Tapi) apa pun yang kalian lakukan, jangan coba usul ide atau jual sesuatu ke mereka," sebutnya.

Ajakan untuk berkolaborasi atau bekerja sama baru dapat dilakukan setelah sudah "sama-sama akrab secara profesional" dengan koneksi baru itu.

Psikolog konseling dari platform kesehatan mental Intellect, Nicole Lee, mengingatkanku bahwa meskipun LinkedIn hanya fokus seputar karier, setiap profil di sana adalah milik orang sungguhan. Mereka ingin dilihat dan dihargai, terlepas dari posisi pekerjaan dan resume mereka.

"Meski tujuan utama dari platform tersebut untuk mencari peluang karier, membangun koneksi yang tulus dapat memberi nilai yang lebih bermakna dan dalam jangka panjang," ucapnya. 

"Ketika berkenalan dengan orang lain, ada baiknya mencari minat yang sama, tanyakan pertanyaan yang bijak, dan aktif mendengarkan. Ketika orang merasakan niat tulus kita, kepercayaan dan koneksi akan datang dengan sendirinya."

JANGAN MEMBANDINGKAN DIRI

Meskipun ada bagusnya untuk meluangkan tenaga di LinkedIn untuk membantu membangun hubungan profesional yang baru, para ahli memperingatkanku untuk selalu mengelola energi dan ekspektasi di LinkedIn, begitu juga di platform sosial lainnya.

"Meskipun mereka bisa memberi inspirasi dan motivasi, mereka juga bisa tanpa disadari memberikan rasa membandingkan, tekanan, atau gelisah, terlebih ketika harga diri kita semakin melekat pada jabatan kerja atau pencapaian karier," terang Lee.

Para ahli menganjurkanku untuk menetapkan batas-batas yang jelas, seperti batas waktu dan mematikan notifikasi tidak penting, sebagai cara praktis untuk menjaga diri.

Tak kalah penting, mereka juga mengingatkanku untuk menjaga pikiran dan perasaan diri saat menggunakan platform ini.

Jika seandainya aku terus membanding-bandingkan diri dengan orang lain, atau terus merasa harus "selangkah lebih maju" dari orang lain untuk postingan selanjutnya, atau terpaku pada metrik yang fana seperti jumlah "suka", mungkin sudah saatnya aku mengambil jeda sejenak, ujar dr. Chan.

"Ingat: Jumlah 'likes' di LinkedIn tidak bisa dipakai untuk bayar listrik. Hanya klien, atasan, kolaborator dan mentor industri kita yang membayar kita. Fokus mencari orang-orang ini saja," imbuhnya.

Alih-alih terus posting dan berinteraksi, ia menambahkan untuk fokus menulis satu konten berkualitas dan berinteraksi dengan rekan-rekan industri setiap minggunya, dan bangun hubungan akrab dengan mereka.

"Pekerjaan dan hubungan kita yang sebenarnya jauh lebih berarti daripada kehadiran kita di LinkedIn," dia memperingatkan.

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: CNA/ps

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan