Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Lifestyle

Perjuangan presenter Singapura berhasil hamil di usia 51 tahun setelah 10 kali jalani proses bayi tabung

"Saya sudah seperti anjing bulldog," kata Glenda Chong soal tekadnya untuk bisa hamil. Saat ini, dia tengah mengandung empat bulan, seorang bayi laki-laki.

Perjuangan presenter Singapura berhasil hamil di usia 51 tahun setelah 10 kali jalani proses bayi tabung

Glenda Chong dan suaminya Justin Chan dengan hasil USG bayi mereka pada tanggal 26 September 2024. (Foto: CNA/Raj Nadarajan)

SINGAPURA: Saya datang membawa sekantong tisu di tas ketika bertandang ke rumah presenter berita kawakan Glenda Chong.

Bungalow indah bercat hitam dan putih yang disewanya bersama sang suami, Justin Chan, terletak di permukiman yang tenang dan rindang pepohonan di bagian timurlaut Singapura. Para penduduk di kawasan ini kebanyakan memelihara ayam atau kalkun, tidak terkecuali Glenda dan suaminya.

Meski kami bekerja di kantor yang sama, tapi akhir bulan lalu adalah kali pertama kami berbincang.

Pembawaan Glenda luar biasa ramah. Cara dia berbicara dengan orang asing juga santai. Tidak diragukan lagi, ini berkat pelatihan profesional yang telah dijalaninya.

Pagi itu kami mulai berbicara hal-hal ringan soal "hutan belantara" tempat dia dan dua anjing peliharaannya tinggal. Namun saya sudah bersiap untuk pembicaraan yang akan menguras air mata.

Ini seharusnya jadi perbincangan yang menyenangkan soal bagaimana rekan kerja saya yang berusia 51 tahun itu menjalani kehamilan empat bulannya setelah 10 tahun berjuang menjalani program in-vitro fertilisation (IVF) atau bayi tabung. Tapi saya tahu betul, itu adalah sebuah perjalanan yang tidak mudah bagi dia. 

Pun bagi saya.

Editor saya mengetahui betapa saya sangat familiar dengan program bayi tabung. Dia bahkan menawarkan agar saya menyerahkan saja tugas wawancara ini ke rekan yang lain. Dia khawatir saya larut dalam emosi.

Sudah selang tiga tahun sejak saya terakhir menjalani program bayi tabung. Namun pergolakan emosi dalam enam tahun terakhir masih membuat saya malas membicarakannya lagi. Saya mengira Glenda pun akan seperti itu.

Betapa pun juga, kami berdua telah melalui harapan dan kekecewaan yang berkali-kali datang usai disuntikkan obat-obatan demi meningkatkan peluang kehamilan.    

MANFAATKAN PELUANG SEBAIK MUNGKIN, KARENA PENYESALAN BERTAHAN SELAMANYA

Glenda duduk di kursi rotan hadiah pernikahan dari mendiang orang tuanya ketika saya bertanya apakah dia dan suaminya yang pengacara memang ingin punya anak.

Glenda, mengenakan kardigan putih dan gaun longgar oranye sehingga membuat perut hamilnya sulit terlihat, menjawab bahwa impian mereka sejak menikah pada 2014 adalah membentuk sebuah keluarga.

Kehidupan "masa kecil yang luar biasa" membuat mereka ingin berbagi kehidupan yang indah ini dengan "Justin dan Glenda kecil".

"Tidak lama setelah kami menikah, itulah saat kami mulai mencoba (punya anak)," kata dia. 

Glenda sadar, mereka agak sedikit telat karena ketika menikah usianya sudah 41 tahun, dan suaminya 38 tahun.

Jadi Glenda melakukan yang terbaik agar dirinya bisa hamil — mulai dari setop minum alkohol dan kopi, lalu rajin olahraga agar tetap fit.

Berbagai cara yang melelahkan telah mereka lalui. Mulai dari rutin mengecek suhu tubuh untuk mencari tahu kapan berovulasi, menjalani terapi obat dan akupuntur di ahli obat tradisional China dan mengecek melalui aplikasi ponsel untuk mengetahui siklus masa suburnya.

"Seks-nya sesuai permintaan saja," kata Glenda sambil tertawa. Chan yang duduk di sampingnya selama wawancara menimpali: "Jadinya tidak terlalu romantis ... dan seluruh rumah baunya seperti kamar pengobatan."

Setelah dua tahun yang tidak membuahkan hasil, akhirnya mereka beralih ke IVF, program kehamilan yang memungkinkan perempuan menghasilkan lebih banyak sel telur ketimbang biasanya. Sel telur itu kemudian diekstraksi dan dibuahi dengan sperma di sebuah tabung untuk menghasilkan embrio sebelum akhirnya ditanamkan kembali ke rahim pasien.

Secara teori, program ini sepertinya terdengar mudah. Namun tingkat kesuksesan program bayi tabung bagi perempuan di atas usia 40 tahun hanya sekitar 20 persen. Peluangnya kian menipis seiring pertambahan usia, nyaris nol di usia 45 tahun.

Dalam 10 tahun terakhir, Glenda berkisah, mereka telah mendatangi enam dokter, termasuk dua di luar negeri.

Mereka berganti dokter "seperti berganti kaos kaki", langsung pindah ke yang lain setelah mendengar adanya teknologi atau prosedur baru.

"Sebagai gambaran, ketika kami tengah berusaha, salah satu dokter kandungan kami pensiun," kata Glenda. Mereka telah menghabiskan ratusan ribu dolar Singapura dan melakukan hampir semua pengujian.

Chan mengatakan: "Kami ingin memanfaatkan peluang sebaik mungkin. Karena, kau tahu, penyesalan bertahan selamanya."

Ketika ditanya berapa banyak prosedur bayi tabung yang telah dilaluinya, Glenda agak lupa. Tapi menurut dia, mereka sudah melakukan tujuh kali prosedur bayi tabung dan tiga kali transfer embrio beku.

Setiap kali prosedur baru dilakukan, sel telur harus kembali diambil dan siklusnya diulangi lagi. Sementara transfer embrio beku adalah memindahkan embrio hasil pembuahan untuk dipindahkan ke rahim.

Saya tidak kaget jika Glenda sudah lupa apa yang telah dia lalui.

Bertahun-tahun menjalani prosedur bayi tabung, seseorang sudah tidak lagi mengingat berapa banyak pertemuan dengan dokter, tes darah, mencubit lemak di perut (yang jadi mudah karena obat-obatannya membuat berat badan naik) dan pembekuan lemak sebelum menyuntikkan obat-obatan dosis khusus setiap harinya.

Belum lagi ditambah sederet pertanyaan dan dorongan dari dokter. Jadi, kecuali bisa menghasilkan kehamilan dengan bayi yang sehat, berbagai detail itu sebaiknya dilupakan saja.

Saya akhirnya menyadari bahwa perjalanan ini menjadi semakin sulit dan sulit lagi. Sering melakukannya bukannya jadi lebih mudah, malah lebih berat"

Glenda menyadari usianya semakin tua. Akhirnya, mereka memutuskan Juni lalu menjadi prosedur bayi tabung terakhir, apa pun hasilnya nanti.

Sepertinya momen untuk berhenti melakukannya juga pas - tahun ke-10 pernikahan mereka, dan kali ke-10 mereka menjalani program bayi tabung.

"Saya ingat berkata kepada Justin ... Beneran, ini akan jadi yang terakhir buat saya ... kalau tidak berhasil juga, kami akan berhenti dan mulai merencanakan pensiun, apa yang mau dilakukan nanti, hal-hal seperti itu," kata dia.

Keputusan menjadikannya yang terakhir malah justru membuat Glenda lebih tenang. Dia mengaku sangat relaks ketika menjalani prosedur itu lagi.

"Kami tidak punya harapan apa-apa, cuma, yah, kalau berhasil, ya berhasil. Syukurlah. Kalau tidak berhasil, ya sudah," kata dia.

Kegembiraan lantas menyergap ketika kali ini upaya mereka membuahkan hasil. Tapi mereka tidak lantas kegirangan dengan sontak menelepon sahabat atau saudara-saudara.

Mereka menahan diri untuk membagikan kabar gembira itu, karena khawatir akan "kesialan". Pasalnya, kehamilan yang masih terlalu dini rentan mengalami masalah, seperti kekurangan kromosom pada bayi.  

Semua rekan kerjanya, kecuali empat orang, baru tahu soal kehamilannya setelah membaca artikel ini.

Kendati sudah dipastikan melalui berbagai tes bahwa dia benar-benar hamil, namun pasangan itu tidak ingin terlalu larut dalam kebahagiaan.

Penampilan rumahnya, yang disewanya pada 2019 agar anjing-anjing mereka lebih luas berkeliaran, masih sama.

Dia tidak berniat membeli peralatan bayi atau merancang kamar bayi sampai dekat hari kelahiran nanti.

Selain itu, dia juga masih belum memutuskan bagaimana akan mengabarkan ihwal kehamilannya kepada 35.000 pengikutnya di Instagram.

Glenda Chong dan suaminya melihat sonogram bayi mereka pada 26 September 2024. (Foto: CNA/Raj Nadarajan)

SEPERTI BULLDOG DAN RUDAL SERBU

Kami memasuki pertanyaan yang sepertinya akan membuat saya menangis dan akhirnya menggunakan tisu yang sudah saya bawa di dalam tas.

Saya bertanya, apakah dia pernah ingin menyerah, dan apakah ada orang-orang yang memintanya untuk menyerah saja.

Ketika sudah gagal tiga kali, kenang Glenda, seorang perawat tanpa ditanya tiba-tiba menasihatinya bahwa memang terkadang usaha itu "tidak berhasil".

"Saya tidak tahu bagaimana perasaan saya ketika itu. Di satu sisi, tidak ada yang berhak berkata seperti itu kepada saya. Tapi di sisi lain, dia mungkin sudah menangani ratusan bahkan ribuan perempuan, dan dia tahu soal itu ... saya kira itu nasihat yang baik," kata dia.

Selain adanya orang-orang yang pesimistis, semangat Glenda sempat merosot setelah jumlah sel telur untuk dibuahi berkurang drastis.

Dari paling banyak 20 sel telur, belakangan tubuhnya hanya mampu menghasilkan satu sel telur saja.

"Jadi tidak peduli seberapa keras saya mencoba ... Saat itulah saya benar-benar terpukul, dan saya sadar bahwa waktu tidak memihak saya ... harapan mulai pudar," kata dia, mengaku perasaannya sangat kacau ketika itu.

"Ini sudah bukan lagi soal perasaan, tapi soal bukti empiris. Kamu melihat sendiri apa yang terjadi, dan tidak ada yang bisa kamu lakukan."

Apakah dari serangkaian prosedur tersebut ada yang menghasilkan kehamilan yang tidak sempurna atau keguguran?

Glenda mengaku pernah mengalami satu keguguran, tapi kehamilan masih di tahap sangat awal setelah pembuahan sehingga dia "tidak merasakan apa-apa".

Menurut dia, lebih baik gagal di awal daripada sudah tumbuh menjadi embrio dengan kualitas yang buruk.

Perjuangan untuk hamil terkadang juga menimbulkan keretakan dalam rumah tangga, dan saya bertanya pada Glenda apakah dia pernah mengalaminya.

Glenda mengatakan, cekcok biasanya seputar apakah mereka harus melanjutkan program bayi tabung atau tidak. Suaminya tidak ingin Glenda melalui kegagalan lagi - karena dia tahu betapa emosi istrinya terkuras, meski dari luar dia kelihatan baik-baik saja.

Justin pernah mengatakan ketika kami sedang cekcok ... 'Apakah saya saja tidak cukup?' Kamu lebih dari cukup, tapi saya mau yang lebih dari kamu. Saya mau ada 'kamu yang kecil' berlarian ke sana kemari"

Bekerja di bidang pemberitaan, kata Glenda, membuatnya terlatih mengendalikan emosi dan menjaga penampilan dirinya.

Bahkan dia menganggap bahwa dia "sudah tak punya perasaan" terhadap dirinya sendiri karena menahan tangis atau bersedih.

"Lakukan sesuatu untuk membuat dirimu lebih baik. Jangan bersedih, karena kamu sendiri yang memilih jalan ini, jadi lakukan saja. Dengan cara ini saya membuat diri saya tegar," kata dia.

Dia pergi hiking dengan teman-temannya atau jalan-jalan untuk menjernihkan pikiran. Suaminya punya julukan untuk istrinya itu karena sifatnya yang pantang menyerah: Si rudal serbu.

Sementara Glenda menyebut dirinya sendiri seperti ini: "Saya seperti anjing bulldog. Kau tahu, ketika saya sudah bersungguh-sungguh, saya akan terus menggigit dan tidak meninggalkan sisa."

Glenda Chong bersama suaminya Justin Chan dan anjing mereka, Cash, di rumah mereka pada 26 September 2024. (Foto: CNA/Raj Nadarajan)

MENGHADAPI KEHAMILAN BERISIKO TINGGI

Menurut Glenda, kehamilannya sejauh ini lancar-lancar saja. Dia tidak mengalami mual di pagi hari, tapi di malam hari dia merasa sangat tidak nyaman.

Sekali lagi, hal itu tidak mengganggunya, dan rasa tidak nyaman ini hanya muncul selepas dia bertugas sebagai presenter berita dan pulang ke rumah.

Meski sekarang beban kerjanya masih sama, tapi nantinya dia akan mengurangi jam tampilnya di TV. Jelang tanggal kelahiran, dia akan lebih banyak di balik meja, yang menurutnya pasti akan sulit bagi dirinya.

Glenda yang telah berada di industri televisi sejak 1997 pernah mendapatkan penghargaan presenter terbaik pada Asian Television Award pada 2001 dan bertugas sebagai koresponden CNA di Shanghai, China, pada 2008 hingga 2011.

Dia juga tidak mengidam apa pun. Namun dia tiba-tiba menjadi tidak suka pada sayur-sayuran yang berwarna putih, steak, dan anehnya, pada suaminya.

"Ada satu pekan di mana saya tidak ingin melihat dia. 'Saya tidak mau kamu di sini. Kamu bau banget, tampangmu mengganggu ... tinggalkan saya sendirian," kata dia sambil tertawa.

Karena hal itu, Chan mengaku terpaksa harus tidur di ruang belajar selama seminggu.

Karena usianya, kehamilan Glenda termasuk berisiko tinggi. Dia harus rutin seminggu sekali mengecek kandungannya ke dokternya, dr. Suresh Nair, direktur medis di klinik fertilitas Seed of Life.

Dalam wawancara via email, Suresh yang telah menangani Glenda sejak 2017 merasa optimistis tentang kehamilannya. Pasalnya, kata Suresh, sel telur yang dibekukan adalah miliknya ketika dia masih muda serta sangat fit dan sehat.

Glenda diwanti-wanti untuk tidak bepergian dengan jarak hingga lima jam dari Singapura. Namun jika memang terpaksa harus pergi, dia harus memesan tempat di rumah sakit setempat, hanya untuk berjaga-jaga.

Percakapan kami selama satu jam diakhiri pembicaraan soal rencana liburan mereka. Kami juga melihat beberapa hasil USG bayi Glenda dalam empat bulan terakhir, termasuk yang terlihat seperti sedang mengacungkan jempol.

Saya meninggalkan rumahnya dengan perasaan lega yang tak terbayangkan.

Menjalani program bayi tabung bukan soal seberapa kuat tubuh kita melaluinya, tapi seberapa siap hati kita menerima hasilnya. Dan hati Glenda yang sekuat baja layak dapat pujian.

Saya kemudian mempertimbangkan untuk kembali menjalani program bayi tabung, dan berharap bisa setegar Glenda, sehingga saya tidak perlu menggunakan tisu yang saya bawa untuk menyeka air mata.

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini. 

Source: Today/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan