Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Lifestyle

Sudah saatnya para ayah berperan lebih besar dalam pengasuhan anak

Para ayah sering kali hanya dipandang sebagai asisten ibu dalam mengasuh anak. Sudah saatnya para ayah lebih sering turun tangan. 

Sudah saatnya para ayah berperan lebih besar dalam pengasuhan anak
Meskipun peran pengasuhan tradisional selalu mengetengahkan peran ibu sebagai pengasuh utama, kini semakin banyak para ayah yang ingin memainkan peran penting dalam membesarkan anak. (Photo: iStock/Edwin Tan)

SINGAPURA: Putra saya lahir tahun lalu. Bersama dengan istri saya, sebagai seorang ayah baru saya turut berjuang di hari-hari awal kelahirannya. Lengan, punggung, dan bahu saya terasa sakit karena terlalu sering menggendongnya untuk membantunya tertidur.

Seiring berjalannya waktu, ikatan saya dengan putra saya semakin dekat. Kini, saya selalu menantikan waktu berjalan pagi bersamanya, atau menggendongnya di dada atau di punggung. 

Saya sadar, para ayah kini lebih ingin terlibat dalam pengasuhan anak, dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Meskipun peran pengasuhan tradisional kerap kali mengetengahkan peran ibu sebagai pengasuh utama, kini semakin banyak para ayah yang ingin memainkan peran penting dalam membesarkan anak.

Dalam survei terbaru tentang Pernikahan dan Pengasuhan Anak di Singapura, jumlah responden yang menilai bahwa ibu harus mengasuh anak secara penuh waktu turun menjadi 24 persen pada 2021, ketimbang 40 persen pada 2016, di antara para responden yang belum menikah. 

Tren yang sama terjadi pada responden yang sudah menikah, yakni penurunan 40 persen dari 56 persen pada tahun 2016. 

Hal ini menunjukkan bahwa para ayah dapat, dan ingin, memainkan peran yang lebih besar di rumah.

DUKUNGAN LEBIH BESAR UNTUK AYAH YANG BEKERJA

Di Singapura, data statistik menunjukkan bahwa hanya 53 persen ayah yang memenuhi syarat untuk mengambil cuti ayah yang dibiayai pemerintah pada tahun 2021. 

Setelah berbincang dengan berbagai pemangku kepentingan, saya mendapati bahwa para ayah yang meminta fleksibilitas kerja karena ingin membantu dalam pengasuhan anak kerap menghadapi rintangan, seperti mendapat stereotipe gender dan dinilai kariernya tidak berkembang. 

Bahkan, ada beberapa ayah yang mengakui kepada saya bahwa mereka harus pindah kerja karena memiliki nilai yang tidak selaras dengan atasan mereka terkait hal ini. 

Banyak juga yang mengaku tuntutan pekerjaan mereka tidak memungkinkan mereka mengambil cuti ayah. Hal ini didukung oleh fakta bahwa beberapa perusahaan mengaku keberatan atas penerapan cuti ayah, dengan alasan pertimbangan bisnis.

Padahal, untuk mendukung pengasuhan anak oleh para ayah dan ibu yang bekerja, perusahaan seharusnya terbuka terhadap berbagai pengaturan kerja yang fleksibel. Manajemen seharusnya memberikan contoh agar karyawan terdorong untuk menjadikan keluarga sebagai prioritas.

Bagi banyak perusahaan, prinsip ini dapat diterapkan dengan melakukan restrukturisasi posisi, menerapkan solusi bekerja secara digital, atau menambah tenaga kerja. 

Meskipun hal ini bisa menjadi biaya tambahan bagi perusahaan, namun tentu akan mendatangkan manfaat jangka panjang, yakni karyawan akan lebih berminat untuk bertahan di perusahaan tersebut. Selain itu, menganut nilai kesetaraan dalam bekerja juga dapat menarik simpati, bukan hanya dari para pekerja, namun juga dari konsumen.

PROGRAM RAMAH AYAH

Tidak dapat dipungkiri, bias gender di masyarakat masih mengakar kuat, yakni ibu selalu dianggap sebagai memainkan peran utama dalam pengasuhan anak, sementara ayah hanya dapat membantu. Persepsi semacam ini harus diubah. 

Edwin Choy, salah satu pendiri Centre for Fathering, pernah berkata dalam sebuah wawancara media, "Ketika istri mempersiapkan kelahiran, suami mempersiapkan diri untuk menjadi seorang ayah".

Di luar kebijakan seperti cuti ayah dan pengaturan kerja yang fleksibel, budaya kerja yang ramah keluarga, dan ramah ayah, akan secara aktif mempromosikan dan mendorong penguatan keluarga.

Perusahaan dapat menyelenggarakan lokakarya dengan kegiatan yang akan meningkatkan ikatan antara ayah dan anak. 

Centre for Fathering, misalnya, memiliki berbagai program seperti Back to School with Dad, yang mendorong para ayah untuk menemani anak-anak mereka ke sekolah pada awal tahun ajaran baru. 

Ada juga inisiatif Eat With Your Family Day, yang mendorong perusahaan untuk mengizinkan karyawannya pulang lebih awal pada hari Jumat terakhir di setiap masa sekolah.

Perusahaan kerap kali memberikan pelatihan bagi karyawan sebelum mereka menjalani peran baru. Namun, banyak perusahaan yang mengabaikan kebutuhan untuk membekali para ayah baru dengan keterampilan untuk menjadi orang tua yang baik.

Sebagai contoh, para ayah seharusnya dapat dibekali dengan keterampilan pengasuhan anak, seperti misalnya melakukan aktivitas yang meningkatkan sentuhan antara anak dan ayah (skin-to-skin activity), dan meningkatkan kesadaran bahwa keterlibatan aktif para ayah akan membawa manfaat bagi sang anak anak.

Para ayah juga dapat belajar bagaimana mendukung istri yang telah melalui berbagai perubahan fisik, fisiologis, dan psikologis sebelum dan sesudah kehamilan. Selain itu, program layanan kesehatan dan sosial juga seharusnya dapat dirancang untuk mengikutsertakan dan mendorong para ayah untuk lebih aktif dalam peran mereka.

BUTUH SATU ANAK UNTUK MEMBANGUN SATU KOTA

Para ayah harus bangkit tidak hanya sebagai individu tetapi juga sebagai sebuah kelompok. Dalam beberapa tahun terakhir di Singapura, para ayah membentuk berbagai komunitas, misalnya kelompok ayah lajang, ayah yang bercerai, ayah yang tinggal di rumah, dan ayah dari anak-anak berkebutuhan khusus.

Ketika para ayah bersatu, berbagi pengalaman, saran, dan dukungan emosional, mereka merasa lebih percaya diri dan siap menghadapi tantangan menjadi ayah. 

Kita sering mendengar ungkapan, butuh satu kota untuk membesarkan seorang anak. Namun, baru-baru ini, ada anggapan yang lebih tepat menurut saya, butuh satu anak (dengan ayah yang turut berperan besar dalam pengasuhannya) untuk membangun satu kota. 

Pasalnya, seorang ayah yang terlibat besar dalam pengasuhan akan memberikan manfaat sosial, perilaku, dan psikologis yang besar dan berjangka panjang bagi sang anak. Pada akhirnya, anak yang memiliki perilaku dan kondisi psikologis yang baik lah yang akan berperan dalam pembangunan masyarakat dan kota.

Tulisan ini ditulis oleh dr. Xander Ong, CEO di Centre for Fathering dan duta gerakan DADs for Life dan MUMs for Life.

Source: CNA/ps(ih)

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan