Pekerjaan kamu terancam AI? Jangan panik, begini cara bertahan di era kecerdasan buatan
Dari marketing hingga perbankan, gelombang otomatisasi berbasis AI, termasuk dengan ChatGPT, sudah terasa nyata. Namun, jangan buru-buru menyerah. Manusia masih punya keunggulan, asal tahu strateginya.

Para pekerja perlu terus meningkatkan keterampilan agar tidak tergantikan oleh kecanggihan teknologi kecerdasan buatan. (Ilustrasi: CNA/Nurjannah Suhaimi)
SINGAPURA: Selama lebih dari 15 tahun, Jacky Tan bekerja sebagai konsultan lepas yang membantu usaha kecil dan menengah (UKM) meningkatkan profil bisnis mereka lewat kampanye pemasaran.
Namun, seperti banyak bisnis lainnya, usahanya terpukul saat pandemi COVID-19 mengguncang perekonomian. Ketika konsumen menahan belanja dan arus barang tersendat, pemasaran menjadi prioritas terakhir bagi banyak perusahaan.
Meskipun pandemi telah berakhir, bisnis Tan tak kunjung pulih. Kali ini, penyebabnya adalah disrupsi baru: generative AI atau kecerdasan buatan generatif.
"Perubahannya begitu tiba-tiba," ujar pria 43 tahun ini, merujuk pada teknologi AI yang mampu menciptakan konten baru seperti teks, gambar, video, hingga musik. Salah satu contohnya adalah chatbot ChatGPT yang populer saat ini.
Ketika para calon klien menyadari mereka bisa menggunakan AI untuk membuat materi konten dan pemasaran sendiri, mereka pun menolak penawaran Tan, atau memanfaatkan AI sebagai alat tawar-menawar agar mendapatkan harga lebih murah.
"Sebagian bahkan 'mengancam' dengan bilang kalau kami tidak mau menerima penawaran yang lebih murah itu, mereka bakal pakai AI saja untuk urusan pemasaran dan penulisan konten mereka."
Jacky Tan sempat menerima beberapa proyek dengan bayaran rendah, namun akhirnya memilih mundur karena upah yang diberikan tidak sepadan dengan tenaga dan waktu yang ia curahkan.
Setelah menganggur selama tujuh bulan, ia memutuskan berhenti total dari dunia pemasaran.
Di penghujung 2023, ia memilih membuka usaha kuliner rumahan, berangkat dari hobi memasak yang ia latih selama pandemi. Sejak saat itu, ia mantap dengan jalan yang ia tempuh.
"Awalnya saya tidak terpikir buka usaha makanan sama sekali – sampai akhirnya saya menerima bahwa AI memang telah mengambil alih pekerjaan saya."
Kini, ia menjalankan CheekyDon, bisnis makanan rumahan yang menjual nasi mangkuk ala Jepang.
Dan Jacky Tan tentu saja bukan satu-satunya korban di dunia pasar kerja yang terguncang oleh kehadiran AI generatif.

Perusahaan teknologi seperti ByteDance dan Meta – pemilik TikTok dan Facebook – telah mengumumkan rencana pemutusan hubungan kerja (PHK), baik untuk menggantikan posisi manusia dengan AI maupun untuk mengalihkan sumber daya agar dapat fokus pada pengembangan teknologi AI.
Baru-baru ini, CEO DBS Group Piyush Gupta menyampaikan bahwa bank tersebut diproyeksikan akan memangkas pekerjanya sebanyak "sekitar 4.000 (orang) atau 10 persen", dan akan berdampak terutama pada mereka yang berstatus kontrak dan temporer, karena AI diperkirakan akan mengambil alih banyak peran manusia.
DBS menyatakan kepada CNA pengurangan ini akan terjadi melalui proses alami, karena AI "dapat menurunkan kebutuhan untuk memperbarui" peran-peran temporer dan kontrak yang nantinya berakhir.
Di sisi lain, Gupta – yang mengundurkan diri pada 28 Maret lalu – juga mengatakan sekitar 1.000 pekerjaan baru akan tercipta berkat perkembangan AI.
Profesi seperti operator entri data, desainer grafis, dan akuntan termasuk di antara pekerjaan yang diperkirakan akan mengalami penurunan permintaan paling besar."
Pernyataannya sejalan dengan pandangan banyak tokoh teknologi: Meskipun AI akan menggantikan sejumlah pekerjaan, ia juga akan menciptakan jenis-jenis pekerjaan baru – bahkan berpotensi menambah jumlah lapangan kerja secara keseluruhan.
Namun bagi mereka yang akan kehilangan pekerjaan akibat AI, pernyataan tersebut bisa jadi terdengar tidak menenangkan. Lagi pula, berbagai pekerjaan baru yang nantinya tercipta kemungkinan tidak dapat diakses secara merata karena ketimpangan keterampilan.
Forum Ekonomi Dunia (WEF) memperkirakan antara 2025 dan 2030 sebanyak 11 juta pekerjaan akan tercipta berkat AI dan teknologi pemrosesan informasi. Namun dalam periode yang sama, sembilan juta pekerjaan diprediksi akan hilang, menurut laporan Future of Jobs yang dirilis Januari lalu.
Laporan tersebut tidak memerinci jenis pekerjaan apa saja yang akan tergeser atau tercipta akibat AI.
Namun, secara keseluruhan, diindikasikan posisi seperti spesialis big data, insinyur teknologi keuangan, serta spesialis AI dan pembelajaran mesin merupakan peran dengan proyeksi persentase pertumbuhan tertinggi selama periode tersebut.
Sementara itu, profesi seperti operator entri data, desainer grafis, dan akuntan termasuk di antara pekerjaan yang diperkirakan akan mengalami penurunan permintaan paling besar.

Mengapa teknologi yang seharusnya meningkatkan produktivitas justru kemungkinan besar berujung menggeser jutaan pekerja?
Menurut Dr. Kelvin Seah, ekonom ketenagakerjaan dari National University of Singapore (NUS), semua ini berakar dari ketidaksesuaian antara aneka keterampilan yang dimiliki pekerja saat ini dan kebutuhan keterampilan untuk peran-peran baru dalam bisnis.
"Beberapa peran itu mungkin membutuhkan keterampilan-keterampilan yang benar-benar berbeda, yang tidak dimiliki oleh karyawan yang ada. Bahkan dengan pelatihan ulang, belum tentu para anggota staf ini bisa sepenuhnya menguasainya," jelasnya.
Menurut beberapa analis, merekrut tenaga baru yang sudah memiliki keterampilan yang dibutuhkan sering kali lebih cepat daripada melatih ulang karyawan yang ada.
Namun strategi ini juga ada batasnya, terutama di pasar tenaga kerja yang ketat; banyak perusahaan berlomba menjaring talenta dari kelompok yang terbatas.
Untuk itu, para pekerja disarankan untuk terus meningkatkan keterampilan guna mengurangi risiko tergantikan oleh AI.
Peningkatan keterampilan ini bisa mencakup pembaruan keahlian teknis agar relevan dengan kebutuhan pekerjaan masa depan terkait AI, atau memperdalam soft skills seperti kemampuan berinteraksi dan berpikir strategis – kualitas yang hingga kini belum dapat ditiru oleh teknologi.
SIAPA PALING TERDAMPAK?
Menurut survei global terhadap 11.000 eksekutif yang dimuat dalam laporan Future of Jobs oleh WEF, 41 persen responden memperkirakan akan mengurangi tenaga kerja akibat kemampuan AI mereplikasi berbagai peran.
Namun, mereka juga mengantisipasi akan merekrut talenta baru dengan keterampilan yang relevan dengan AI.
Menurut para ahli ekonomi dan sumber daya manusia, pekerjaan yang paling rentan terdampak AI biasanya memiliki karakteristik yang sangat terstruktur, berulang, atau berfokus pada penyusunan dan pengolahan informasi.
Dampaknya akan bervariasi tergantung pada industrinya – bergantung pada sejauh mana pekerjaan semacam itu mendominasi struktur kerja di sektor tersebut. Namun, sektor teknologi, perbankan, dan keuangan paling sering disebut para pakar yang diwawancarai CNA.
Jonathan Lasenby dari perusahaan perekrutan eksekutif global Ethos BeathChapman menyatakan: "AI kemungkinan besar akan berdampak pada industri dan peran yang melibatkan tugas-tugas yang sangat terstruktur, repetitif, dan berbasis aturan. Dan sektor seperti manufaktur, teknologi, layanan kesehatan, begitu juga keuangan dan akuntansi akan menghadapi disrupsi signifikan karena banyak dari fungsi inti mereka yang sifatnya bisa diprediksi dan rutin."
Menurut David Blasco, direktur negara Randstad Singapore, untuk sektor perbankan dan keuangan, beragam posisi di bidang layanan pelanggan, kepatuhan, dan manajemen risiko berada dalam risiko tinggi terdampak otomatisasi digital.
"AI akan semakin sering digunakan untuk tugas seperti layanan pelanggan otomatis melalui chatbot dan algoritma canggih untuk penilaian risiko kredit dan pengawasan kepatuhan," ujarnya.
Sektor manufaktur dan logistik juga rentan terhadap otomatisasi karena tingginya tingkat pemrosesan data dan aktivitas repetitif, tambah Blasco. Namun, perubahan di kedua sektor ini cenderung lambat karena modalnya lebih besar dan proses integrasinya lebih kompleks.
Fenomena ini bukan sekadar proyeksi. Selain ByteDance dan Meta, perusahaan perangkat lunak pembelajaran bahasa Duolingo pada Januari 2024 memilih untuk tidak memperpanjang kontrak sekitar 10 persen tenaga kontraknya.
"Kami tidak lagi membutuhkan orang sebanyak itu untuk jenis pekerjaan yang sebelumnya ditangani oleh sebagian tenaga kontrak ini. Sebagiannya bisa dikaitkan dengan AI," ujar perwakilan Duolingo kepada Bloomberg.
Di kawasan Asia Tenggara, CEO Grab Anthony Tan mengatakan dalam wawancara media baru-baru ini: "Manusia yang tidak memanfaatkan AI di perusahaan akan digantikan oleh manusia yang memanfaatkan AI."
"Hal yang sama akan berlaku bagi perusahaan, dan saya benar-benar percaya bahwa jika kita memanfaatkan AI, bukan hanya individu yang menjadi superhuman, tapi seluruh perusahaan juga akan menjadi superhuman."
Pada Juni 2023, dalam email internal yang mengumumkan PHK terhadap 1.000 pekerja, Anthony Tan menyatakan bahwa Grab harus menyesuaikan diri dengan lingkungan operasional yang baru – termasuk naiknya biaya modal dan perkembangan AI generatif yang bergerak sangat cepat."
Para pekerja disarankan untuk terus meningkatkan keterampilan guna mengurangi risiko tergantikan oleh AI."
Disrupsi akibat AI tidak terbatas pada sektor teknologi. Bloomberg melaporkan bahwa Morgan Stanley, bank asal Wall Street, berencana memangkas sekitar 2.000 pegawai bulan ini – sebagian kecil di antaranya terkait dengan AI dan otomatisasi.
Citigroup dalam laporannya pada Juni tahun lalu memperkirakan sekitar 54 persen pekerjaan di sektor perbankan memiliki potensi tinggi untuk diotomatisasi.
Namun, para analis sepakat dampak nyata AI terhadap hilangnya pekerjaan dan perubahan komposisi tenaga kerja masih sulit diprediksi – setidaknya untuk saat ini.
Salah satu penyebab ketidakpastian ini adalah reaksi negatif terhadap perusahaan-perusahaan yang mengumumkan secara terbuka rencana mengganti tenaga kerja dengan AI. Akibatnya, banyak perusahaan lain dengan rencana serupa cenderung sembunyi-sembunyi, sehingga angka yang diberitakan menjadi lebih rendah.
Selain itu, kemampuan AI untuk menjalankan berbagai tugas terus berkembang pesat, sehingga sebagian perusahaan memilih pendekatan wait-and-see sebelum mengambil keputusan rekrutmen jangka panjang, demikian menurut para pakar kepada CNA.
"Di tahap ini, sifat pekerjaan-pekerjaan terkait AI masih cair – sebagian peran mungkin berkembang menjadi spesialisasi baru, sementara yang lain bisa dilebur ke dalam fungsi yang sudah ada," ujar Jonathan Lasenby.
"Dampak penuhnya baru terlihat jelas ketika adopsi AI sudah matang dan berbagai bisnis menemukan cara paling efektif untuk mengintegrasikan teknologi ini ke dalam operasional mereka."

REVOLUSI INDUSTRI KEEMPAT
AI kini dipandang oleh sejumlah pengamat sebagai pendorong utama Revolusi Industri Keempat.
Revolusi Industri Pertama hingga Ketiga masing-masing ditandai oleh hadirnya mekanisasi, listrik serta konektivitas yang lebih baik, dan pergeseran menuju ekonomi berbasis teknologi informasi.
Meskipun ketiganya menimbulkan disrupsi lapangan kerja, para analis menilai perbedaan utama kali ini terletak pada luas jangkauan dan skala perubahan yang dibawa oleh AI.
Profesor Madya Walter Theseira dari Singapore University of Social Sciences menjelaskan bahwa bentuk otomatisasi sebelumnya biasanya terbatas pada tugas atau peran tertentu saja.
"Tampaknya AI mampu menggantikan rentang tugas yang jauh lebih luas dibandingkan berbagai teknologi sebelumnya," ujar ekonom ketenagakerjaan tersebut.
Lebih penting lagi, berbeda dengan gelombang otomatisasi sebelumnya yang cenderung menggantikan pekerjaan berkeahlian rendah hingga menengah, AI kini justru menyasar berbagai pekerjaan yang dinilai berkeahlian tinggi, ujar Profesor Madya Theseira.
Manusia yang tidak memanfaatkan AI di perusahaan akan digantikan oleh manusia yang memanfaatkan AI."
Lyon Poh, mitra dan kepala transformasi korporat di firma konsultan KPMG Singapura, menyatakan: "Bahkan dalam profesi yang bersifat non-rutin, aspek tertentu dari pekerjaan masih dapat ditingkatkan atau disederhanakan dengan bantuan AI."
Ia membagikan daftar pekerjaan yang kini mengalami tingkat otomatisasi tugas tertinggi:
- Pengarang, penulis, dan penerjemah (otomatisasi sebesar 43 persen)
- Pemrogram dan pengembang perangkat lunak (26 persen)
- Profesional hubungan masyarakat dan direktur komunikasi (25 persen)
- Teknisi dukungan pengguna teknologi informasi (23 persen)
- Desainer grafis (15 persen)
- Asisten pribadi dan sekretaris lainnya (11 persen)
- Profesional hukum (11 persen)

PEKERJAANMU TERANCAM?
Survei dari agen perekrutan Reeracoen terhadap 400 profesional di Singapura tahun lalu menunjukkan 53,5 persen responden khawatir pekerjaan mereka akan diambil alih oleh AI.
Sementara itu, Februari lalu, Pew Research Center di AS merilis hasil survei terhadap lebih dari 5.000 pekerja: 52 persen menyatakan cemas akan dampak jangka panjang penggunaan AI di tempat kerja, dan 32 persen merasa AI akan mengurangi peluang kerja dalam jangka panjang.
Laporan Future of Jobs dari WEF pada Januari lalu mencatat semua sektor secara global akan mengalami penurunan dalam tugas-tugas yang sepenuhnya dilakukan oleh manusia.
Namun, menurut David Blasco dari Randstad, yang lebih realistis adalah melihat bagaimana AI mendisrupsi keterampilan tertentu, bukan sektor secara keseluruhan.
Profesor Madya Walter Theseira menawarkan kerangka berpikir "substitusi tugas versus pelengkap tugas". Dalam artian, pekerjaan yang sepenuhnya bisa dilakukan AI kemungkinan besar akan tergantikan.
Sebaliknya, ragam pekerjaan yang mencakup tugas-tugas rutin yang bisa dilakukan AI, tetapi juga mengandalkan aspek-aspek signifikan, masih belum bisa diambil alih oleh teknologi ini. AI menjadi semacam pelengkap dan alat bantu untuk menyelesaikan tugas semacam ini.
Jika demikian, bagaimana pekerja bisa melindungi diri dari disrupsi AI?
Salah satu pendekatan yang mungkin, menurut Dr. Kelvin Seah dari NUS, adalah menghindari industri atau pekerjaan yang sudah diketahui sangat rentan terhadap penggantian oleh AI.
Sebagai gantinya, fokuslah pada pekerjaan yang "membutuhkan sentuhan manusia – keterampilan sosial, empati, interaksi sosial, dan kemampuan membaca emosi manusia secara akurat."
"Pekerjaan yang membutuhkan interaksi manusia kemungkinan besar akan lebih tahan terhadap penggantian oleh AI saat ini," prediksinya.
Namun, disrupsi akan terus terjadi seiring majunya teknologi AI.
“Realitas pahitnya adalah kita sebagai individu harus terus meningkatkan keterampilan untuk melindungi diri dari risiko menjadi redundan," tuturnya.
"Jadi, peningkatan keterampilan tidak bisa dianggap sebagai kegiatan satu kali lalu selesai, melainkan sebagai proses berkelanjutan," tambah Dr. Seah.
Berpindah karier juga bisa menjadi solusi.
"Strategi utama lain adalah mengeksplorasi keterampilan lintas bidang, perubahan karier – kalau perlu di luar industrimu saat ini – dan tingkatkan keterampilan yang sesuai," tambah Samir Bedi.

BERTAHAN DI ERA AI
Setiap pekerja tentu diharapkan bertanggung jawab atas kemajuan kariernya sendiri. Namun, menurut para pakar, perusahaan juga memikul tanggung jawab untuk memastikan karyawannya tidak digantikan oleh AI secara semena-mena.
Memang, menggantikan pekerja senior dengan tenaga kerja muda yang melek teknologi bisa tampak sebagai langkah cepat dan efisien. Namun, lebih menguntungkan bagi perusahaan dalam banyak kasus untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja yang ada.
Melatih pekerja menggunakan AI lebih bermanfaat karena merekalah yang paling paham cara AI bisa menyempurnakan proses dan operasional, ujar Lyon Poh dari KPMG.
Menurut Yash Thakker dari Searce, penyedia solusi teknologi berbasis cloud yang juga menawarkan layanan berbasis AI, perusahaan yang berencana melakukan pengurangan tenaga kerja sering kali dihadapkan pada tantangan tak terduga.
"Berbagai perusahaan menyadari bahwa pengetahuan institusional, penilaian manusia, dan kemampuan beradaptasi tetap tak tergantikan, meski tugas-tugas rutin dapat diotomatisasi," jelasnya.
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.