Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Lifestyle

Menyambangi kampung terakhir di Singapura yang tidak akan dijual pemiliknya

Sng Mui Hong, 71 tahun, dan ketiga kakaknya mewarisi kampung seluas tiga lapangan sepak bola setelah ayah mereka wafat. Ayah mereka berwasiat agar tanah kampung itu tidak dijual.

Menyambangi kampung terakhir di Singapura yang tidak akan dijual pemiliknya

Gedung-gedung tinggi menjadi latar belakang dari lahan kampung yang dimiliki oleh Sng Mui Hong dan kakak-kakaknya. Ini adalah kampung terakhir yang masih berdiri di Singapura. (Foto: CNA/Nuria Ling)

Dengan mengenakan celana panjang untuk menghindari gangguan lalat, saya menyeberang dari taman ke sebidang lahan yang dikelilingi penghijauan, lalu masuk ke kampung terakhir yang masih tersisa di Singapura.

Rasanya seperti masuk ke dunia lain, sebuah kepingan masa lalu yang tak tersentuh buldozer pembangunan. Dengan ukuran tiga kali lapangan bola, kampung ini jadi pengingat betapa sederhananya kehidupan Singapura di masa lampau.

Nuansa di Kampung Lorong Buangkok sangat santai, kontras sekali dengan hiruk-pikuk Singapura modern dengan para pekerja kantorannya yang berlomba mengumpulkan pundi uang dari gedung-gedung pencakar langit - itu termasuk saya sendiri.

Realita perekonomian di kampung ini juga sangat berbeda dengan bagian Singapura lainnya. Kampung ini dihuni sekitar 25 keluarga Melayu dan Tionghoa yang menyewa rumah-rumah kayu tradisional dengan harga yang luar biasa murah, berkisar antara S$6,50 (Rp77 ribu) dan S$30 (Rp354 ribu) per bulan. 

Pemilik tanah di kampung ini adalah seorang perempuan berusia 71 tahun yang ceria. Sambil bersepeda, Sng Mui Hong dengan kemeja kotak-kotak dan topi jeraminya menemui saya. Bersama dengan ketiga kakak kandungnya, dia mewarisi tanah kampung tersebut dari ayahnya yang meninggal dunia pada 1996.

Ayahnya adalah seorang penjual obat tradisional China. Lahan ini dulunya adalah rawa, yang dibelinya pada tahun 1959.

Namun Mui dan kakak-kakaknya tidak tinggal di kampung itu, mereka menetap di apartemen Housing and Development Board (HDB) di kawasan lain.

Sejak ayahnya meninggal, Mui dan kakak-kakaknya menolak menjual kampung tersebut - sama sekali tak tergoda dengan tawaran puluhan juta dolar Singapura. Sebelum wafat, ayah mereka mewasiatkan agar lahan seluas 12.248 meter persegi itu tidak dijual dan diwariskan ke anak keturunannya.

Sebagai tuan tanah, Mui memegang teguh wasiat tersebut.

Laporan media menyebutkan bahwa tanah itu sudah ditawar pada 2007 seharga S$33 juta (hampir Rp400 miliar).

Namun kepada CNA, Mui mengaku tidak mendengar tawaran itu langsung dari pembeli. Lagipula, dia tidak peduli dan tidak mau tahu berapa harga tanahnya.

Sng Mui Hong, 71, salah satu pemilik Kampung Lorong Buangkok. (Photo: CNA/Nuria Ling)

Pemerintah Singapura memang pada 2014 telah berencana melakukan pembangunan di lahan kampung itu, termasuk mendirikan dua sekolah, perumahan dan jalan raya. Namun pada 2017, Menteri Pembangunan Nasional Singapura Desmond Lee mengatakan bahwa pembangunan itu kemungkinan terjadi "beberapa dekade lagi".

Saya menyambangi kampung yang terletak dekat jalan raya Geral Drive di Jalan Yio Chu Kang itu untuk bertemu Mui pada Jumat sore bulan lalu. Ketika itu cuaca hujan, terlihat burung-burung dara yang bermain di genangan air, ayam-ayam mematoki tanah dan seekor kucing peliharaan melihat saya dengan takut-takut dari kejauhan.

Setelah melihat-lihat rumah di kampung itu - dan digigiti nyamuk - Mui akhirnya muncul dari balik kebunnya.

"Saya lihat kamu sudah dua jam keliling-keliling kampung," kata dia.

"Pasti kamu sedang mencari saya, jadi saya sembunyi saja," lanjut Mui sambil bercanda kepada saya yang berdiri terpaku di depan rumahnya.

Mui memang terbiasa kedatangan pengunjung. Para turis yang penasaran kerap datang menengok kampung warisan Singapura itu. September lalu, wawancara Mui di TikTok menjadi viral.

KESEDERHANAAN DI TENGAH METROPOLITAN

Ketika kami tengah berbincang, seorang perempuan Melayu datang bertanya apakah ada rumah yang disewakan. Dalam sekejap, Mui yang sebelumnya berbicara Mandarin langsung cakap Melayu dengan lancar.

Dalam 90 menit perbincangan kami, Mui menceritakan perjalanan hidupnya. Ibunya meninggal dunia ketika dia berusia empat tahun, jadi kenangan masa kecilnya sebagian besar adalah bersama ayahnya.

Saat kecil, dia kerap membuntuti ayahnya kemana pun pergi. Dari ayahnya, dia belajar soal tanaman obat yang dicari di hutan lalu kemudian dijual di pasar.

"Saya juga kadang disuruh menagih uang kontrakan karena dia nggak tega menagih penyewa yang masih berutang," kata dia. "Dan sebelum senapan ilegal, saya ingat pernah menembakkannya sekali karena penasaran."

Kenangan indah itu membuat saya mengerti mengapa dia bersikeras mewujudkan wasiat ayahnya. Dia mencintai ayahnya yang telah mengurusi anak-anaknya seorang diri. Tidak ada uang sejumlah apa pun yang bisa menggantikan kasih sayang itu.

Saya tekun mendengarkan ketika dia bercerita soal gaya hidupnya, yang bagi saya sangat asing. Ketika ditanya mengapa sangat menikmati kehidupan di kampung, dia mengaku senang bercocok tanam.

"Ketika mood saya nggak bagus, saya bisa bicara ke pohon mangga. Saya tanya mereka, 'kenapa kalian nggak berbuah dan berbunga, padahal sudah saya rawat lama lho? Ayolah berbuah untuk saya!'," kata dia.

Mui juga menyayangi binatang. Ada beberapa sangkar burung di atap rumahnya. Dia mengatakan, burung-burung itu diberikan oleh pemilik sebelumnya yang malas memeliharanya lagi. Akhirnya, burung-burung itu dirawat oleh keponakannya yang tinggal bersama Mui.

Peristiwa paling menegangkan adalah ketika dia bertemu ular. Dalam beberapa tahun terakhir, dia mendapati ular-ular masuk ke dapurnya dan ingin memakan ayamnya. Salah satu ular sangat besar, dia menduga itu kobra.

Sebagai seorang gadis kota yang tinggal di apartemen tinggi, saya tidak bisa membayangkan jika ada di situasi seperti itu. Melihat kecoak atau kadal keluar dari lemari saja saya teriak histeris - apalagi kobra.

Ayam peliharaan Sng Mui Hong di kampungnya di Buangkok. (Foto: CNA/Nuria Ling)

"UANG UJUNG-UJUNGNYA HABIS JUGA"

Mui sudah pensiun bekerja. Dengan uang sewa rumah yang luar biasa murah di kampung itu, saya penasaran bagaimana dia bisa menghidupi diri. Bukankah dia bisa dengan mudah mendapatkan jutaan dolar dengan menjual kampung itu?

Lagi pula, dia sekolah hanya sampai kelas 5 SD. Sepanjang hidupnya, dia menjalani kerja serabutan, seperti menjadi kasir.

Saya baru tahu kalau kebanyakan penghasilannya berasal dari menyewa rumah-rumah kosong di kampung itu untuk perusahaan media, mahasiswa atau pusat komunitas. Disewa harian dengan harga antara S$50 dan S$400, rumah-rumah itu digunakan untuk lokakarya atau syuting film.

"Tapi sebenarnya, sebagian besar mereka anggarannya cekak dan saya tidak dibayar. Tapi nggak masalah," kata dia. "Nggak ada jaminan selalu ada yang menyewa ruangan. Kadang, dalam sepekan ada beberapa kali sewa, tapi di lain waktu hanya satu sewa dalam sebulan."

Mui juga mendapatkan pemasukan dari uang bulanan yang diberikan keponakan yang tinggal bersamanya, yaitu Sng Lee Kim, 51, seorang asisten eksekutif di sektor pendidikan. Dari pemasukan ini, Mui bisa membiayai hidupnya sehari-hari.

Mui mengakui bahwa dia tidak punya banyak tabungan. Ketika dia dirawat karena sakit lambung tahun ini, Mui harus membayar sebagian tagihan rumah sakit dengan uang tunai, karena tabungan medisnya (MediSave) tidak cukup.

"Selama saya punya uang yang cukup untuk hidup, saya akan baik-baik saja. Jangan serakah. Bahkan kalau saya punya banyak uang, ujung-ujungnya akan habis juga," kata dia.

Mui yang sudah puas dengan kehidupan yang sederhana, menurut saya adalah bentuk ketangguhannya untuk tidak ikut larut dalam kehidupan Singapura yang serba kilat.

Pemandangan kampung itu seakan melawan kemajuan. Rumah-rumahnya seperti di tahun 1950-an, tetap berdiri kendati dikangkangi gedung-gedung pencakar langit yang memenuhi hampir semua ruang di Singapura - termasuk juga di sekeliling kampung Mui.

Berbagai fasilitas di Singapura diperbarui setiap beberapa tahun sekali. Blok-blok perumahan rutin dicat agar tampil baru. Tapi kampung ini secara keras kepala masih tampak seperti puluhan tahun lalu.   

Masih ada tiang kabel telepon yang menjuntai di atas tanahnya. Semak-semak rimbun terlihat di sekeliling rumah-rumah. Warganya sering mampir ke teras tetangga, ngerumpi.

Sementara orang Singapura stres mencari cara mendapat pekerjaan bergaji tinggi, mengumpulkan dana pensiun, dan getol berinvestasi, tapi di sini Mui seakan tak tergoda dengan uang jutaan dolar yang bisa mengubah hidupnya.

BAGAIMANA MASA DEPAN KAMPUNG INI?

Mui sudah memasuki masa senjanya. Jika nanti dia tiada, apakah masa depan kampung ini juga akan sirna?

Kepada CNA, Mui mengaku tidak mengkhawatirkan hal itu.

Dia memang hidup melajang dan tidak punya anak. Maka nantinya kampung itu akan diwariskan ke keponakan-keponakannya. Namun Mui mempercayai mereka. 

"Mereka setuju untuk tidak menjual tanah ini. Mereka tahu karakter saya, dan tidak akan serakah," kata Mui. "Lagi pula kebanyakan dari mereka sudah menikah dan punya rumah sendiri."

"Mereka memiliki kenangan indah saat masa kecil di kampung ini. Salah satu dari mereka bahkan bilang: 'Kayanya lebih baik membiarkannya seperti ini agar supaya bisa dilihat oleh generasi-generasi mendatang'."

Foto-foto Sng Mui Hong di masa mudanya. (Foto: CNA/Nuria Ling)

Keponakan yang tinggal dengannya juga mengaku sudah punya penghasilan dari pekerjaannya dan tidak perlu uang banyak. Dia bahkan punya ide menyumbangkan rumah untuk organisasi amal.

Sampai saat itu tiba, keduanya tetap akan tinggal di kampung tersebut, jika memang pemerintah tidak mengambilnya dari mereka.

Mui hanya tersenyum dan tetap santai ketika saya bertanya soal bagaimana ke depannya. Sepertinya, justru saya yang lebih khawatir akan masa depan kampung ini.

"Jangan terlalu berpikir terlalu jauh. Semakin banyak berpikir, semakin pusing. Berpikiran sedikit terbuka, maka kamu nggak akan punya masalah dalam hidup," kata Mui. Itu memang filosofi hidupnya yang beberapa kali diutarakan dalam wawancara kami.

Sikap santai Mui terwujud dalam kehidupan keseharian di Kampung Lorong Buangkok, dan itulah yang membuat para pengunjung yang datang setiap minggunya jatuh cinta dengan nuansa jadul namun alami di dalamnya.

Di sini, waktu seakan berhenti - dan masih akan tetap seperti ini selama Mui dan keluarganya memegang teguh wasiat sang ayah.

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. ​​​​​

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan