Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Lifestyle

Mengapa kaum Gen Z di Hong Kong ramai-ramai tinggalkan pekerjaan tetap, pilih 'rebahan'

Saat ini, kalangan muda di Hong Kong berduyun-duyun meninggalkan pekerjaan tetapnya yang "monoton" demi pekerjaan lepas dan paruh waktu yang sejalan dengan minat mereka.

Mengapa kaum Gen Z di Hong Kong ramai-ramai tinggalkan pekerjaan tetap, pilih 'rebahan'

Meski baru empat hari bekerja penuh waktu, lulusan komunikasi Ada Siu langsung tahu bahwa ia akan mengundurkan diri dalam waktu dekat.

HONG KONG: Waktu Alex Wong kecil, ayahnya kerap menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat kerja daripada di rumah. Liburan keluarga juga hanya terjadi saat musim panas saja.

Tapi ayahnya pernah berjanji: Kalau ia sudah pensiun, mereka akan menebus waktu yang terlewati.

Tak lama setelah hari ulang tahun Alex yang ke-18, janji itu patah. Ayahnya mengalami cedera tulang belakang dan membuatnya lumpuh.

Peristiwa itu benar-benar mengubah hidup Alex. Saat itu, ia berpikir, jika pun ayahnya bekerja banting tulang untuk masa depan yang tak kunjung datang, bukankah kejadian serupa akan tetap terjadi padanya?

"Sebelumnya saya menghabiskan banyak waktuku untuk belajar," terang pria 22 tahun itu. "Sekarang saya mau santai-santai dulu, baru [akan] kupikirkan masa depan di usia 30-an."

Alex Wong bersama ayahnya yang terbaring di tempat tidur.

Keteguhan hatinya dalam memilih jalan baru begitu kukuh, bahkan ketika harus menghadapi kesulitan keuangan. Ibunya, yang seorang tulang punggung keluarga, tidak hanya menafkahi ayahnya, namun juga adiknya yang berusia enam tahun. Mereka juga harus mempekerjakan asisten rumah tangga dari Indonesia.

Alex sendiri menyikapi situasinya dengan mengambil pekerjaan di gudang beberapa hari dalam sebulan. Jika ada pekerjaan, ia dapat menghasilkan HK$310 (Rp659 ribu) per harinya. Namun saat ini ia sedang tidak terburu-buru mengincar pekerjaan tetap.

Pola pikir semacam ini justru bukan hal yang aneh. Survei dari pemerintah Hong Kong tahun lalu menemukan bahwa di antara kalangan pemuda (berusia 15 hingga 29) yang tidak bersekolah atau bekerja, 36 persen dari mereka tidak berminat mencari pekerjaan.

Tentu saja, fenomena yang disebut "tang ping" atau 'rebahan' ini telah menyebar di kota sebagai bentuk penolakan terhadap budaya banting tulang.

Sekitar 44 persen pelajar sekolah menengah dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh Hong Kong Young Women's Christian Association pada tahun lalu mengatakan bahwa mereka memilih untuk rebahan atau berniat untuk rebahan.
Bagi sebagian orang, ini adalah kebebasan. Bagi sebagian yang lain, ini adalah kejenuhan.

Ken Hui (26), misalnya. Ia bekerja penuh waktu sebagai seorang admin di bidang olahraga dan acara perencanaan selama enam bulan. Awalnya, pekerjaannya terasa menyenangkan. Namun pada tahun 2023, ia mengundurkan diri karena merasa pekerjaannya menjadi repetitif.

"Saya tak ingin kembali [kerja] penuh waktu karena saya tak mau pekerjaan saya jadi sangat monoton. Yang dikerjakan itu-itu juga setiap harinya [dan] pulangnya selalu di jam yang sama," terangnya. "Tidak ada kehidupan."

Saat ini, ia menghidupi dirinya dari pekerjaan lepas, seperti fotografi.

Ken Hui kini tinggal bersama orang tuanya.

Sementara itu, beberapa tenaga kerja Gen Z bekerja lepas penuh waktu atau mengambil lebih dari pekerjaan paruh waktu. Mereka adalah kelompok yang sedang berkembang, dikenal dengan sebutan 'slashers’ (pekerja serabutan) karena mereka punya banyak ‘slash’ (garis miring) dalam deskripsi profesi mereka.

Penata rias Joyce Fung, misalnya. Ia juga bekerja paruh waktu sebagai pembuat roti bagel di sebuah cafe. "Saya beruntung cafe-nya fleksibel soal jam kerja," ucap wanita 25 tahun tersebut. "Mereka paham kalau saya 'slasher' dan saya ambil pekerjaan lepas.

"Kalau saya sudah selesai menata rias atau sedang tidak ada pekerjaan menata rias, saya bisa kerja di sana."

Ia tidak berniat untuk berhenti, mungkin sampai kapanpun. "Saya takut sekali bosan," Joyce mengatakan. "Kalau saya terpaksa ... kerja dari jam 9 sampai jam 5 setiap harinya dan mengerjakan itu-itu saja, itu bukan gaya hidup yang saya mau."

Joyce Fung sudah lama menjadi penata rias selama tiga tahun.

DARI DUKUNGAN FINANSIAL HINGGA IMBAS COVID-19

Tahun 2022, data pemerintah setempat menunjukkan bahwa Hong Kong kehilangan 116.600 pekerja muda (berusia 18 hingga 39) selama periode dua tahun. Banyak dari mereka meninggalkan kota atau memilih berhenti bekerja.

Para ahli berpendapat bahwa alasan di balik perubahan pada Gen Z terjadi karena keuangan generasi sebelumnya stabil.

"Orang tua [mereka] ... sudah mapan dan tidak mengharapkan generasi baru untuk mencari uang banyak untuk merawat mereka," jelas Benson Chan, kepala Asosiasi Kesehatan Mental Hong Kong (MHAHK). "Generasi ini tidak begitu merasakan beban finansial."

Akibatnya, banyak dewasa muda menggantungkan keuangannya kepada keluarga mereka, dan sebagian besar dari mereka bahkan masih tinggal di rumah.

Alhasil, muncullah istilah ‘full-time children’ (anak penuh waktu), yakni orang dewasa muda yang masih tinggal bersama orang tuanya dan membantu pekerjaan rumah tangga, dengan imbalan uang saku.

Selain mengandalkan uang dari orang tua, banyak Gen Z juga lebih fokus pada kebutuhan saat ini ketimbang memikirkan target keuangan jangka panjang.

Alex mengatakan, teman-temannya banyak memiliki mentalitas 'hidup foya-foya, kerja belakangan'. Mereka lebih memilih untuk bekerja agar bisa membeli games, memperbarui gawai mereka dan menikmati hidup. "Mereka baru memikirkan kerjaan kalau mereka sudah kehabisan uang."

Benson menunjukkan bahwa besar di dunia media sosial dan kehidupan yang serba instan telah membuat Gen Z merasa tidak puas karena keinginan mereka tak terpenuhi dengan segera.

Di saat yang bersamaan, target finansial jangka panjang masih sulit untuk dicapai. Survei HSBC tahun 2024 menemukan 61 persen dari anak Gen Z di Hong Kong percaya bahwa memiliki rumah "terlampau mustahil" bagi mereka.

Bagaimanapun, Hong Kong adalah salah satu pasar properti termahal di dunia. Rata-rata harga rumah pribadi mencapai US$1,15 juta (Rp18,9 miliar).

Ken merasa hal itu tidak setimpal untuk dikejar. "Saya tak mau menghabiskan uang untuk properti dan mobil," ia berkata. "Saya kerja supaya saya bisa menghasilkan uang untuk pergi berwisata."

Benson meyakini rasa kekecewaan ini semakin mengakar. "Banyak anak muda merasa, 'Lagipula kalau saya tak berhasil memenuhi harapan, untuk apa saya harus bekerja?'" terangnya.

Pandemi juga menjadi faktor di balik pandangan Gen Z yang demikian. Situasi saat itu memutus interaksi sosial dan memperdalam rasa kesepian.

Alex mengalaminya secara langsung. Saat kuliah di China daratan, ia mendapati dirinya terjebak di tengah karantina yang ketat.

"Di lingkungan kecil, semuanya terkurung dan hanya memiliki satu pintu masuk dan keluar. Kita hanya bisa menggunakan jasa kurir untuk belanja kebutuhan sehari-hari," kenang Alex, yang juga "semakin tertutup".

Berat badan Alex juga bertambah karena jarang keluar, ungkapnya.

Rasa terkurung, ditambah dengan stres ujian, benar-benar membuat kesehatan mentalnya jatuh. Bahkan di masa-masa yang paling sulit, ia pernah memikirkan untuk mengakhiri hidupnya.

Karena Benson pernah menangani anak muda yang mengalami masalah kesehatan mental, ia menjelaskan kalau sebagian besar dari mereka kesulitan karena "mereka menghadapi tekanan luar atau tidak memiliki tujuan yang jelas terhadap masa depan mereka."

Jadi mereka merasa tidak begitu memedulikan soal sukses atau tidak. ... Mereka pikir tidak apa-apa untuk rebahan di rumah saja."

DAPATKAH GEN Z HIDUP WALAU SUKA MEMILIH-MILIH?

Terlepas dari keengganan mereka untuk bekerja penuh waktu, kaum Gen Z sepertinya tidak memiliki kemapanan yang cukup untuk menunda pencarian lowongan pekerjaan tetap, mengingat peluangnya semakin ke sini, semakin berkurang.

Ambil contoh dari wanita 24 tahun bernama Ada Siu. Ia baru lulus dari kuliah jurusan komunikasi. Ia dan beberapa temannya kesulitan mendapat pekerjaan penuh waktu selama enam bulan. Masing-masing dari mereka harus mengajukan lebih dari 100 lamaran untuk mendapatkan beberapa wawancara kerja.

"Dulu, kalau kita sudah kirim, misal, 10 lamaran kerja, kita bisa dapat satu atau dua wawancara," jelas Ada.

Pemulihan dari masa pandemi sampai saat ini masih berjalan lamban. Pertumbuhan produk domestik bruto tahun lalu, yakni 2,5 persen, adalah titik terendah dari kisaran yang telah diprediksikan. Tahun ini, pertumbuhan diharapkan mencapai 2 hingga 3 persen.

Usaha kecil dan menengah paling merasakan dampaknya. Suku bunga meninggi, properti merosot dan investor beramai-ramai kabur, semua membuat bisnis-bisnis ini kesulitan untuk bertahan.

Mereka menyumbang 98 persen dari jumlah perusahaan di Hong Kong dan mempekerjakan lebih dari 44 persen tenaga kerja swasta. Namun demikian, mereka harus berjuang keras untuk menarik talenta-talenta muda.

Beberapa bulan yang lalu, Ada berhasil memperoleh pekerjaan penuh waktu di sebuah agensi kecil. Di sana, ia mengurus perihal acara dan hubungan masyarakat. Namun ia tak lama di sana.

"Di hari keempat, ... saya sudah merasa [perusahaannya] tidak cocok untuk saya," ingatnya. "Saya langsung kembali cari lowongan. ... Saya keluar setelah sebulan bekerja."

Menurut survei tahun lalu, dua dari lima anak Gen Z dan milenial di Hong Kong kerap memikirkan untuk meninggalkan pekerjaannya. Banyak di antara mereka sedang mencari keterlibatan yang lebih besar.

"Rasanya seperti kodok ... dalam air mendidih," ujar Siu menggambarkan rasanya bertahan di perusahaan tersebut. "Saya merasa kalau saya sudah cukup menguasai posisi tersebut atau sudah punya pengalaman yang cukup, saya rasa wajar jika ingin berubah."

Bagaimanapun, pencarian lowongan sering kali dipandang sebelah mata dalam budaya kerja Hong Kong pada umumnya.

Pemuda Hong Kong sedang bekerja. Ketidakcocokan antara yang mereka inginkan dan yang dibutuhkan pasar kerja kian meningkat.

"[Pencari kerja] ... dipandang sebagai beban biaya yang tinggi bagi perusahaan karena setelah dilatih, mereka mengundurkan diri," jelas Wendy Suen, kepala solusi tenaga kerja dari perusahaan konsultan rekrutmen ConnectedConsult.

Belum lagi, anak Gen Z Hong Kong harus menghadapi persaingan dengan China daratan. Sejak 2022, pelonggaran aturan visa memberikan keleluasaan bagi penduduk daratan untuk tinggal dan bekerja di kota tersebut.

Di tahun 2023, terjadi peningkatan pada permohonan visa Program Imigrasi bagi Lulusan Non-Lokal (IANG), yang mengizinkan pelajar luar untuk tinggal dan bekerja di Hong Kong setelah lulus, menurut ekonom senior Natixis Corporate and Investment Banking, Gary Ng.

Dan sejak November, pemerintah juga mengizinkan mahasiswa sarjana non-lokal untuk bekerja paruh waktu. Ketetapan ini berlaku untuk 20.000 siswa, atau lebih dari 3 persen dari kelompok usia 15 hingga 24 tahun di Hong Kong.

Gary mengamati arus pencari kerja yang masuk ke pasar tenaga kerja tidak berkembang.

"Jika [pelajar non-lokal] ingin tinggal di Hong Kong, ... akan lebih adil untuk berasumsi bahwa beberapa [dari mereka] bersedia untuk bekerja keras, bersaing memperebutkan pekerjaan yang sama," terangnya.

Wendy menambahkan, penduduk China daratan semakin ramai berdatangan ke Hong Kong untuk menjadikannya sebagai bantu loncatan menuju kancah global. Mereka juga cenderung terbuka pada ekspektasi pekerjaan pada umumnya, seperti jam kerja yang panjang.

APA YANG AKAN MENDORONG ANAK GEN Z UNTUK BEKERJA LAGI?

Untuk menarik hati Gen Z Hong Kong, yang semakin diwarnai kejenuhan, kecemasan dan kesehatan mental, Wendy menyarankan perusahaan untuk fokus menjalankan inisiatif kebugaran.

Wendy Suen adalah seorang ahli sumber daya manusia.

Survei yang rilis pada tahun lalu oleh perusahaan rintisan kesehatan mental Intellect dan platform kekayaan digital Endowus menemukan, 31 persen anak milenial dan Gen Z Hong Kong menginginkan tempat kerjanya menawarkan lokakarya kebugaran mental.

Dalam survei terbaru lain, perusahaan komunikasi global Edelman mendapati bahwa Gen Z Hong Kong memiliki ekspektasi tinggi terhadap pemimpin mereka. Mereka menginginkan manajer yang pekerja keras sekaligus menjadi sosok teman, yang dapat mereka ajak bicara dengan luwes.

Para pekerja muda juga dikenal cenderung mencari hierarki datar dan lingkungan kerja kolaboratif. Namun, banyak dari kecenderungan ini menjadi tantangan di tempat kerja di Hong Kong, yang masih sangat hierarkis, yang sangat menekankan aturan dan profesionalisme.

Belum lagi, ada budaya jam kerja yang panjang di kota tersebut. Menurut survei Serikat Buruh Hong Kong tahun 2023, lebih dari separuh tenaga bekerja di atas 45 jam seminggu, sementara 7,3 persen dari total responden bekerja lebih dari 70 jam.

Hong Kong memiliki jam kerja terpanjang di dunia.

Anak Gen Z menginginkan fleksibilitas. Menurut penyedia ruang kerja global International Working Group, hampir delapan dari 10 pekerja Gen Z di Hong Kong lebih suka bekerja secara hibrid. Sehingga, ketidaktersediaannya menjadi alasan utama tiga dari 10 pekerja meninggalkan pekerjaan sebelumnya.

Wendy menunjukkan bahwa rata-rata karyawan Gen Z ingin "bekerja cerdas, bukan bekerja keras". Sehingga, mereka semangat menjawab tantangan, menginginkan stimulasi dan kesempatan untuk belajar.

"[Anak Gen Z sangat] menghargai waktu", ucapnya. "Mereka tahu apa yang mereka mau, dan mereka akan memintanya, dan mereka tidak ingin membuang-buang waktu orang juga."

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan