Makanan Asia hambar tanpa garam, tapi apakah kita terlalu banyak mengonsumsinya?
Pepatah 'Bagai sayur tanpa garam' menunjukkan makanan Asia kaya akan asupan natrium. Namun, menguranginya bisa menjadi langkah sederhana untuk memperpanjang usia dan mengurangi biaya kesehatan.
SINGAPURA: Makanan-makanan khas negara-negara Asia sering kali terkenal kaya akan garam. Di Indonesia sendiri, kita sampai memiliki pepatah, "Bagai sayur tanpa garam" untuk menunjukkan keadaan yang hambar. Namun, survei yang baru-baru ini dilakukan menunjukkan bahwa mungkin kita terlalu banyak mengonsumsi garam dalam makanan sehari-hari.
Survei tersebut menunjukkan bahwa rata-rata penduduk di Singapura mengonsumsi 3.620 mg natrium per hari, padahal asupan harian yang disarankan untuk orang dewasa yang sehat adalah 2.000 mg - atau sekitar satu sendok teh garam.
Survei itu memang dilakukan di Singapura pada tahun 2021-2022. Namun, bisa jadi ada kemiripan antara antara asupan garam kita dengan masyarakat di Negeri Singa, karena kedua negara sama-sama memiliki budaya jajanan kaki lima, atau yang disebut dengan hawker di Singapura.
Nine in 10 people in Singapore are consuming more salt than what is recommended, with the prevalence of hypertension or high blood pressure nearly doubling since 2010, according to surveys by the Ministry of Health and Health Promotion Board. Sabrina Ng reports.
Natrium, yang biasa ditemukan di garam, adalah nutrisi penting yang dibutuhkan oleh tubuh manusia untuk menjalankan fungsi sehari-hari. Ginjal kita bahkan memiliki pengaturan tersendiri agar dapat menjaga konsentrasi natrium dalam darah dalam tingkat yang sehat. Sayangnya, ketika ada kelebihan natrium dalam tubuh, kerja ginjal menjadi sangat berat dan mengakibatkan peningkatan tekanan darah, yang merupakan penyebab utama penyakit jantung dan stroke.
Yang pasti, menghindari makronutrien atau mikronutrien — lemak, karbohidrat, gula, atau natrium — bukanlah hal yang baik. Namun, mengurangi asupan natrium harian kita dapat menjadi langkah sederhana untuk memperpanjang usia dan mengurangi biaya kesehatan.
Langkah paling aman untuk mengontrol asupan natrium yang kita konsumsi adalah dengan memasak makanan sendiri, sehingga kita dapat menentukan kadar garam yang digunakan. Namun, sebagian besar warga Singapura lebih sering makan di luar daripada memasak sendiri, dengan banyaknya jajanan kaki lima yang menawarkan harga makanan murah dengan rasa yang lezat.
Menurut Badan Promosi Kesehatan Singapura, 31 persen makanan yang dimakan di luar rumah mengandung lebih dari jumlah natrium yang direkomendasikan setiap hari. Khususnya, makanan dari pusat jajanan kaki lima.
TANTANGAN DALAM MENGURANGI GARAM
Mengurangi garam dalam membuat masakan-masakan khas Asia memang menjadi tantangan tersendiri. Pasalnya, penggunaan garam sudah jamak digunakan dalaman makanan Asia, khususnya untuk memperpanjang masa simpan makanan pada masa sebelum lemari es ditemukan.
Contohnya saja, telur dan ikan asin yang biasa dikonsumsi dengan bubur atau lobak yang diawetkan untuk dimakan dengan telur dadar, adalah beberapa contoh bagaimana budaya makan di Asia banyak menggunakan makanan yang diawetkan secara alami dengan garam.
Contoh lainnya, semangkuk mie bakso ikan, yang tampaknya tidak berbahaya, tetapi satu porsi saja mengandung banyak sekali natrium.
Para pelanggan yang sadar akan kesehatan mungkin dapat meminta makanan mereka dimasak dengan menggunakan sedikit garam atau kecap asin. Namun, mengurangi penggunaan garam saat memasak mie bakso ikan bukan hanya akan mengorbankan rasa lezatnya, tetapi juga membuat bakso ikan tidak dapat kenyal seperti yang diinginkan.
MENGURANGI GARAM, BUKAN KELEZATAN
Menambahkan asupan natrium secara berlebihan — baik dalam bentuk garam dapur maupun monosodium glutamat (MSG) — merupakan cara untuk menutupi makanan yang kurang lezat atau menyamarkan bahan makanan yang murah. Ketika dibuat dari bahan-bahan berkualitas, makanan dapat menjadi lezat bahkan dengan bumbu yang minimal.
Sam Wong dari Lucky House Cantonese Private Kitchen yang populer, misalnya, terkenal dengan supnya yang direbus perlahan tanpa tambahan garam atau gula — kelezatan didapatkan hanya dari kaldu tulang. Namun, memasak dengan cara ini memang membutuhkan waktu yang lama.
Mengingat jajanan kaki lima menawarkan harga yang sangat murah, tidak heran jika makanan yang disajikan dimasak dengan menggunakan banyak garam dan MSG untuk menambah cita rasa.
Kunci untuk mengurangi asupan garam pada makanan Asia adalah dengan mengedukasi masyarakat bahwa harga makanan kaki lima yang murah akan membuat kita mengeluarkan "biaya" kesehatan yang tinggi di kemudian hari. Khususnya, biaya kesehatan untuk penyakit-penyakit yang berhubungan dengan kelebihan natrium.
Untuk sementara ini, pedagang kaki lima dapat didorong untuk mengurangi jumlah garam pada masakan mereka. Terkait hal ini, salah satu strategi yang dapat dilakukan pihak berwenang adalah dengan memberikan subsisi bagi pedagang kaki lima yang memilih menyajikan makanan yang lebih sehat.
Artikel ini ditulis oleh Pamelia Chia, penulis buku masak Wet Market to Table dan Plantasia: A Vegetarian Cookbook Through Asia. Dia juga menulis Singapore Noodles, buletin dengan misi melestrarikan kuliner Singapura.