Skip to main content
Iklan

Lifestyle

'Tanpa masa depan?' 3 remaja di Singapura berbagi kisah putus sekolah dan menata ulang hidup

Meski hanya segelintir remaja yang putus sekolah di Singapura, tiga di antaranya kini berjuang menapaki jalan sendiri di tengah stigma masyarakat yang menghakimi mereka sebagai "pecundang".

'Tanpa masa depan?' 3 remaja di Singapura berbagi kisah putus sekolah dan menata ulang hidup

(Dari kiri): Nurul Afiqah Anati Isa, Mohd Sulaiman Mohd Lizam, dan Christine Ng — ketiganya putus sekolah menengah.

SINGAPURA: Dua tahun lalu, Mohd Sulaiman Mohd Lizam menjadi ayah, sehingga ia pun memutuskan untuk berhenti sekolah menengah demi menafkahi keluarga kecilnya. Ia mengambil kerja malam di gudang-gudang dan menjadi kurir pengantar barang.

Saat menginjak usia 17, ia sempat merasa putus sekolah akan membuat dirinya dipandang sebagai remaja "tanpa masa depan".

Belum lama ini, ketakutan itu sirna ketika ia mengetahui ia memperoleh donasi sebesar S$4.187 (sekitar Rp54 juta), jauh melampaui target awal S$1.500 (Rp19,3 juta) yang ditetapkan pekerja sosialnya melalui kampanye Give.Asia.

Dukungan tersebut datang dari para penonton serial On The Red Dot berjudul Dropouts yang mengikuti kisah tiga remaja Singapura, termasuk Sulaiman, yang harus meninggalkan bangku sekolah cukup awal.

"Sebagian besar uangnya untuk kebutuhan putri saya," kata Sulaiman kepada CNA Insider. "Sisanya saya tabung."

Sulaiman bersama putrinya, Liyana.

Tak hanya donasi, seorang penonton anonim bahkan membiayai ujian Normal (Technical) Level atau N(T)-Level yang akan diikutinya tahun ini sebagai peserta mandiri.

Satu mantan gurunya juga mengulurkan tangan dengan menyumbang S$300 (Rp3,8 juta), ditambah biskuit, popok, dan perlengkapan lain untuk putrinya, Liyana, yang kini berusia 18 bulan.

"(Komentar mereka) … merupakan hal-hal yang sebelumnya tak pernah saya dengar," ujar Sulaiman. "Saya tidak menyangka ternyata ada begitu banyak orang yang percaya pada saya."

Dukungan serupa mengalir di media sosial setelah tayangan itu dirilis. Di YouTube, akun @kurogax berkomentar, yang terjemahannya berbunyi: "Siap mendampingi dan berani bertanggung jawab di usia semuda ini bukan hal yang biasa."

Di Instagram, komentar @kipperwinkle dapat diterjemahkan menjadi: "Salut untuk anak muda ini yang mengutamakan kepentingan putrinya dan berusaha keras agar ia tumbuh dengan segala yang dibutuhkannya."

Namun yang paling membekas bagi Sulaiman adalah pesan dari seorang ayah yang mengaku kisahnya membuat ia termotivasi "untuk lebih dekat dengan anak-anaknya sendiri".

Meski bersyukur, Sulaiman masih menyesuaikan diri dengan sorotan publik. Sekelompok anak pernah mendatanginya setelah menonton acara itu di sekolah. "Saya cuma bilang ke mereka, ya, jangan ulangi kebodohan yang saya lakukan," ujarnya tertawa.

Christine Ng, yang juga tampil dalam seri tersebut, sama terkejutnya akan respons positif publik. Putus sekolah di kelas 3 SMP, menurutnya masyarakat cepat menghakimi, menganggap anak putus sekolah seperti dirinya sebagai "pecundang".

Christine mengatakan ia pernah dicap sebagai "pengaruh buruk".

Sejumlah penonton memilih melihat lebih dalam. Sebagai contoh, @abbylaikahei menilai Christine matang secara emosional.

Komentarnya — setelah diterjemahkan — berbunyi: "Dia tidak menyalahkan orang lain, dan dia tahu persoalannya ada pada dirinya sendiri, berbeda dengan banyak orang yang berusia lebih tua tetapi justru menyalahkan dunia, menyalahkan pemerintah (dan) orang tua atas keadaan mereka."

Kini berusia 17 tahun, Christine menyalurkan energinya ke pekerjaan lepas di bidang pemasaran digital. Pelatihan formal yang ia jalani memang terbatas, namun Christine mengandalkan semangatnya yang membara.

Setelah program tersebut tayang, ia menerima tawaran-tawaran kolaborasi lewat kolom komentar, dan basis kliennya bertambah menjadi empat klien tetap. Sejak itu, ia menyempurnakan pendekatannya — beralih dari cold call ke periklanan dan berbagai ajang berjejaring.

Dulu, Christine biasa melakukan cold call ke 20 hingga 30 calon klien dalam sehari.

Tidak semua komentar bernada simpatik. Pengguna YouTube @mrlaoben menyebut Christine "sangat beruntung lahir di keluarga kaya" dan menilai orang tuanya "membiarkan perilakunya".

Penonton lain, @dnsh1762, mencibir: "Masa iya (dia) putus sekolah cuma karena tidak bisa berteman."

Christine, yang mengutarakan pergulatan kesehatan mental dan isolasi sosial sebagai alasan putus sekolah, memilih tidak terlalu mengambil hati komentar-komentar semacam itu.

"Orang tidak tahu kisah saya (secara utuh)," ujarnya. "Mungkin mereka hanya melihat satu bagian dari dokumenter itu lalu langsung menarik kesimpulan."

Remaja ketiga yang ditampilkan, Nurul Afiqah Anati Isa, lebih berhati-hati terhadap sorotan warganet dan mengaku hanya membaca sebagian komentar.

Afiqah (kiri) bersama kakak perempuan dan ibunya.

Putus sekolah di kelas Secondary 2 (setara kelas 8 atau kelas 2 SMP), remaja 18 tahun ini paham tampil di depan kamera berisiko, apalagi masa lalunya di pusat rehabilitasi remaja seperti Singapore Girls' Home kini terekspos ke publik.

Namun, penonton seperti @MiloDinosaur-o6w memberikan dukungan dan "menyemangati agar ia menemukan spesialisasinya serta (berharap) agar ia senantiasa tangguh".

Pengguna YouTube lainnya memuji ketiga remaja ini karena berani berbagi cerita. Akun @moozel4757 menuliskan komentar, dengan terjemahan: "Saya sangat terharu oleh kisah kalian dan kemauan kalian untuk mengubah hidup."

On The Red Dot menelusuri alasan mereka meninggalkan sekolah dan bagaimana mereka melangkah maju, setahap demi setahap.

BUKAN SEKADAR MASALAH BELAJAR

Menurut Kementerian Pendidikan Singapura, dalam lima tahun terakhir, kurang dari satu dari 100 siswa meninggalkan sekolah menengah tanpa menuntaskannya.

Namun, bagi tiga remaja yang ditampilkan dalam On The Red Dot, alasannya bukan sekadar rasa malas belajar atau gejolak emosi khas remaja. Mereka mengalami bentuk keterasingan di sekolah.

Sulaiman kerap merasa "sendirian di kelas", sementara Afiqah masih ingat perihnya dikucilkan.

Kabur dari rumah saat di kelas Primary 6 (setara 6 SD). Afiqah ditempatkan di rumah kesejahteraan Pertapis, lalu Singapore Girls' Home. Di situ ia bersekolah hingga pertengahan Secondary 2.

Saat kembali ke sekolah biasa, ia dua tahun lebih tua daripada teman-teman sekelasnya, dan itu sangat membebaninya.

Afiqah berjalan di koridor Singapore Girls' Home.

"Ada seseorang di sekolah yang tahu soal masa lalu dan usia saya, padahal guru-guru saya dan petugas kesejahteraan siswa sudah sepakat untuk tidak membocorkannya kepada siapa pun," kenangnya.

"Saya merasa mereka selalu memperhatikan tato-tato saya, meski sudah saya tutupi dengan plester, dan juga ngomong di belakang saya."

Akhirnya, rasa tidak nyaman itu menjadi begitu berat hingga ia memutuskan berhenti sekolah.

Christine, di sisi lain, mengingat dirinya pernah digambarkan sebagai anak "ceria" di rapor SD — mudah akrab dengan teman-temannya.

Namun, semuanya berubah di kelas Primary 5. Nilainya anjlok, tekanan dari orang tua dan guru les mengikis minatnya pada sekolah.

Saat masuk kelas Secondary 1 pada 2021, ia merasa "benar-benar lupa caranya berinteraksi" dengan teman-teman sekelas.

"Lompatan dari sekolah dasar ke sekolah menengah itu sangat besar," ujar Christine.

"Saya ke sekolah cuma duduk bengong, berusaha berteman, tapi tidak berhasil," katanya. "Saat itu saya memutuskan sebaiknya berhenti sekolah saja."

Di rumah, rasa terisolasi semakin mendalam. Meskipun keluarganya tidak pernah merasa malu akan dirinya, Christine sendiri "sangat malu" dan menjauh dari semua orang.

Ia menemukan pelarian pada games online — seperti Roblox dengan voice chat, yang menyajikan ruang untuk bertemu banyak orang. "Rasanya menyenangkan punya teman online, apalagi karena ada yang bisa diajak bicara," ujarnya.

Teman saya dulu cuma komputer."

Ia lantas bermain game hingga 15 jam sehari, kadang tanpa tidur. Hobi berubah menjadi adiksi, menghalangi kembalinya dia sejenak ke bangku sekolah hampir satu setengah tahun.

Cemas dengan kondisi mentalnya, orang tua Christine mencari pertolongan. Ia lantas didiagnosis dengan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), oppositional defiant disorder (ODD), dan gangguan bipolar.

Christine paling suka bermain games tembak-menembak di Roblox.

Meskpun  diagnosis itu masuk akal, ia butuh waktu berbulan-bulan untuk menerimanya. "Kenapa harus selalu saya?" ia sempat bertanya-tanya.

Bagi Sulaiman, tak ada banyak waktu untuk berlarut-larut dalam kebingungan ketika pada usia 15 tahun ia tahu pasangannya, Azirah, hamil.

Tadinya dia memang sudah sering bolos dan sulit fokus belajar, tetapi kehadiran seorang anak menjadi titik balik. Sulaiman ingat betul nasihat ayah Azirah (dalam bahasa Melayu): "Berani buat, berani tanggung."

"Saya sudah berani membuat anak dengan pasangan saya," ujarnya.

Maka saya juga harus berani bertanggung jawab … jadi itu yang saya lakukan."

BERJUANG MENCAPAI TUJUAN

Kini, Sulaiman dan Azirah, 19 tahun, bergantian mengambil shift kerja sebagai kurir pengantaran.

Namun, Sulaiman masih memendam cita-cita menjadi montir dan hidup bersama keluarganya dengan keuangan yang stabil. Dia sadar, langkah pertama adalah meraih sertifikat ujian N(T)-Level.

Delapan tahun sejak pertama kali berteman, hubungan Azirah dan Sulaiman tetap kuat.

Sulaiman pun menemukan Project Starfish, suatu program dengan kelas-kelas gratis bagi para remaja putus sekolah yang ingin mempersiapkan diri mengikuti ujian N(T)-Level secara mandiri.

Kelas diadakan setiap Senin, dan Sulaiman hampir selalu hadir kecuali jika ada alasan penting, seperti harus menambah shift kerja atau anaknya sakit.

Situasi ini sangat berbeda dengan kebiasaannya dulu yang bolos sekolah hanya karena bangun kesiangan.

Rasa cemasnya juga jauh berkurang dibandingkan hari pertama, ketika ia dengan gugup memasuki ruangan berisi 60 hingga 70 wajah asing.

Untungnya, banyak siswa laki-laki di kelas itu yang menyapanya lebih dulu. "Awalnya saya merasa kesepian karena di situ bukan wilayah saya. Tapi ternyata bisa berteman juga," kenangnya.

Hari pertama Sulaiman di Project Starfish penuh rasa gugup.

Kini, mereka bahkan memiliki grup Telegram untuk berbagi kabar. Pada hari masuk kelas, mereka membuat panggilan grup agar semua bangun tepat waktu.

Namun, tetap saja penyesalan sesekali muncul. Ia rindu rutinitas bersekolah. Kadang ia pun masih membanding-bandingkan dirinya dengan teman-teman sebaya yang sudah melangkah lebih jauh.

"Kalau lihat ada orang seumuran saya sedang belajar, pasti ada rasa sedih. Karena saya bisa saja ada di posisi itu," ujarnya. Namun ketika perasaan itu datang, ia kembali fokus pada hal terpenting.

"(Ketika) saya menatap (putri saya Liyana), itu yang bikin saya terus maju dan tidak mau berhenti," kata Sulaiman.

"Saya berusaha menjaga (pikiran) positif, memastikan putri saya punya masa depan yang lebih baik daripada saya."

Menurutnya, menjadi ayah telah mengubah dirinya. "Tanpa (Liyana), sampai sekarang saya bakal masih gampang marah. Dulu saya punya masalah emosi; susah mengendalikan diri."

Sulaiman punya bakat memperbaiki macam-macam hal, dari sepeda hingga skuter listrik.

Christine juga tengah menata ulang hidupnya. Terapi dan obat-obatan membantu menjernihkan pikirannya, sekaligus menguatkan tekadnya.

Sejak resmi keluar dari sekolah tahun lalu, Christine telah menempuh pelatihan sebulan penuh di program vokasi dan keterampilan hidup YMCA (Young Men's Christian Association) Singapura, dirancang untuk membekali remaja putus sekolah dengan kompetensi kerja sekaligus membuka peluang pekerjaan.

Di sana, ia belajar manajemen keuangan, menyusun target karier, hingga menulis resume.

Setelah itu, Christine mengambil kursus pemasaran digital di Hatch, mitra pelatihan vokasi YMCA, untuk mempertajam keterampilan pemasaran serta desain user experience dan user interface.

Di sisi lain, Afiqah kini lebih mandiri dan proaktif di rumah — memasak, mencuci, dan membantu ibunya — sambil fokus menyiapkan diri menghadapi ujian N(T)-Level tahun ini sebagai peserta mandiri.
 

Afiqah tekun belajar, mempersiapkan diri mengikuti ujian Normal (Technical) Level.

Dengan dukungan Impart, lembaga amal pendamping remaja rentan, ia mendapat bimbingan mingguan untuk Bahasa Inggris, Bahasa Melayu, Sains, dan Matematika. Di luar itu, ia belajar mandiri minimal dua jam sehari, tiga hingga empat kali seminggu.

Cita-citanya jelas: menjadi akuntan. Ia mengaku baru sekarang merasa memiliki arah hidup.

"Beberapa anggota keluarga saya bekerja di bidang keuangan, dan saya juga suka matematika," ujarnya. "Saya harus benar-benar berjuang untuk sampai ke sana."

Upayanya tidak main-main. "Saya bisa lihat dia sangat termotivasi dari seberapa banyak latihan soal yang sudah dia kerjakan," kata tutornya, Amirah Nurhuda.

Dia memeriksa jawabannya sendiri, mengoreksi dengan teliti, dan … juga cepat tanggap dalam belajar."

Namun waktu terasa mengejar Afiqah dan Sulaiman. Keduanya harus menuntaskan materi bertahun-tahun hanya dalam hitungan bulan. 
"Kami belajar dengan intens," kata Sulaiman. "Saya sempat kesulitan mengejar, tapi pelan-pelan … nantinya pasti bisa."

Keduanya berencana setelah ujian akan melanjutkan pendidikan ke Institute of Technical Education (ITE): Sulaiman ingin masuk jurusan otomotif, sementara Afiqah memilih bidang keuangan.

Keduanya berharap kisah mereka bisa memberi inspirasi bagi remaja putus sekolah lain agar tidak berhenti berupaya menuju cahaya di ujung lorong.

Christine sependapat bahwa yang penting adalah kembali fokus. Ia menargetkan memperoleh ijazah setara SMP dalam dua tahun, lalu lanjut ke program bisnis di politeknik, sebelum nanti pada akhirnya meluncurkan perusahaan sendiri bersama tim yang solid.

"(Putus sekolah) itu pilihan yang saya ambil," kata Christine, yang kini fokus mengembangkan bisnis lepasnya. "Saya tidak bisa mundur meskipun jalannya berat."

Satu hal yang pasti, ia tak lagi membiarkan pandangan orang lain menguasai dirinya.

"Karena pada akhirnya," ujarnya, "hidup ini adalah pertarungan antara kita dengan diri sendiri."

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: CNA/ps

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan