Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Lifestyle

Kematian Kim Sae-ron soroti intensnya perundungan online di Korea

Mengalami depresi dan terlilit utang, sebelum meninggal Kim terus di-bully netizen, sama halnya seperti Sulli, Goo Ha-ra, dan Lee Sun-kyun yang menjadi korban perundungan hingga berujung tragis.

Kematian Kim Sae-ron soroti intensnya perundungan online di Korea

Mendiang aktris Korea Selatan, Kim Sae-ron, dalam salah satu unggahannya di media sosial. (Foto: Instagram/@ron_sae)

19 Feb 2025 11:10AM (Diperbarui: 12 Mar 2025 12:30PM)

Kematian aktris Korea Selatan Kim Sae-ron pada akhir pekan lalu memicu kritik terhadap budaya perundungan online bagi selebriti di Korea yang kerap tidak terkendali. 

Kim ditemukan sudah tidak bernyawa oleh temannya yang datang berkunjung ke rumahnya pada Minggu (16/2). Polisi menyatakan kematian bintang drakor Bloodhounds ini sebagai bunuh diri. 

Kim Sae-ron pernah menjadi salah satu aktris paling menjanjikan di dunia hiburan Korea Selatan. Lahir pada tahun 2000, Kim Sae-ron memulai debutnya dalam film A Brand New Life (2009), The Man From Nowhere (2010) dan The Neighbor (2012).

Seiring bertambahnya usia, ia mulai membintangi peran yang lebih dewasa, termasuk drama Secret Healer (2016) dan The Great Shaman Ga Doo-shim (2021).

Namun, popularitasnya menurun setelah tersandung kasus mengemudi dalam keadaan mabuk (DUI) pada 2022. Insiden ini berdampak besar pada karier profesionalnya.

Kerabat dekatnya mengungkapkan bahwa sebelum meninggal, Kim tengah berjuang melawan depresi dan terlilit utang, sementara ia kesulitan kembali ke dunia hiburan karena sentimen publik terhadapnya terus-menerus negatif. 

Di Korea Selatan, komentar online terhadap selebriti terkenal sangat tajam, terutama terhadap perempuan. 

Kim terus-menerus mendapat sentimen dan komentar negatif, baik di sosial media maupun di berbagai media massa yang memanfaatkan sorotan publik untuk menarik pembaca atau penonton. 

Meskipun memilih untuk menjauh dari sorotan publik, ia tetap menerima kritik setiap kali mengunggah sesuatu di media sosial. Bahkan pekerjaan paruh waktunya di kafe, hobinya , hingga pesta ulang tahunnya pun tidak luput dari sorotan netizen. 

Selain itu, ketika ia tertangkap kamera sedang berpesta bersama teman-temannya, curhat sulitnya mendapatkan pekerjaan, atau mengeluhkan komentar jahat di media sosial, media massa langsung memberitakannya sebagai berita negatif. 

Bahkan, saat Kim tersenyum saat syuting film independen tahun lalu, ia tetap menjadi sasaran kritik. 

PERAN MEDIA DAN MEDIA SOSIAL

Setelah kematian Kim, beberapa surat kabar utama Korea menerbitkan editorial dan opini yang mengecam komentar jahat di dunia maya. 

Beberapa di antaranya membandingkan kasus ini dengan kematian tragis penyanyi K-Pop Sulli dan Goo Hara pada 2019, serta aktor Parasite Lee Sun-kyun pada 2023. 

Berbagai media juga menyerukan perubahan terhadap budaya "tanpa toleransi" semacam ini terhadap selebriti.

Surat kabar Hankook Ilbo menyoroti peran media dalam mengeksploitasi kehidupan Kim demi jumlah klik, bahkan setelah kematiannya. 

Judul-judul berita yang provokatif dianggap hanya menonjolkan masa sulit yang pernah dialami Kim.

Lembaga pemantau media Citizens’ Coalition for Democratic Media mengkritik media Korea karena hanya menyalahkan media sosial, tanpa mengakui peran mereka sendiri dalam pemberitaan yang sensasional dan provokatif.

"Media yang dulu menyulut kebencian publik terhadap Kim melalui pemberitaan sensasional, kini justru bersikap munafik dengan menyalahkan YouTuber dan komentator anonim. Siklus pembunuhan karakter yang didorong oleh media ini harus dihentikan," bunyi pernyataan lembaga itu pada Selasa (18/2). 

"Beberapa troll internet merasa divalidasi ketika komentar mereka diangkat oleh media. Ini justru mendorong mereka untuk terus melakukannya," kata Kim Heon-sik, profesor studi sosial dan budaya di Jungwon University, dikutip dari The Korea Times.

SEJARAH TERUS TERULANG

Kasus Kim bukanlah yang pertama. Pada 2019, dua bintang K-Pop, Sulli dan Goo Ha-ra, meninggal dunia setelah bertahun-tahun menghadapi perundungan online yang kejam.

Sulli kerap dikritik keras karena unggahan jujurnya di media sosial. Bahkan, istilah "Sullin-up" sempat digunakan secara luas sebagai ejekan terhadap kontennya. 

Nasib serupa dialami Goo Ha-ra, yang menjadi korban pemberitaan media yang terlalu invasif.

Setelah kematian mereka, para legislator Korea sempat mengusulkan Sulli Act, sebuah undang-undang yang mewajibkan verifikasi nama asli untuk pengguna internet guna mengurangi komentar jahat. 

Namun, RUU tersebut akhirnya ditolak oleh Majelis Nasional Korea.

Selain itu, proposal serupa dalam Undang-Undang Telekomunikasi yang bertujuan menekan penyebaran komentar jahat juga dibatalkan setelah sesi parlemen berakhir.

Kematian aktor Parasite Lee Sun-kyun pada 2023 semakin menyoroti bagaimana media berkontribusi dalam menciptakan tekanan publik.

KBS, penyiaran nasional Korea Selatan, sempat menyiarkan transkrip percakapan pribadi sang aktor hingga menuai kecaman luas.

Padahal, informasi itu bahkan tidak berkaitan dengan penyelidikan kasus narkoba yang menjerat Lee. 

"Jika pemberitaan invasif seperti ini hanya dilakukan oleh media tabloid, dampaknya mungkin tidak terlalu besar," kata Shim Seok-tae, profesor jurnalisme di Semyung University. 

"Namun, ketika media arus utama ikut mengejar klik dengan memberitakan cerita yang menghancurkan karakter seseorang, akibatnya bisa sangat fatal."

SELEB HARUS TAHAN MENTAL?

Para ahli menegaskan bahwa pola pikir masyarakat harus berubah agar perundungan terhadap selebriti bisa dihentikan.

"Seolah-olah masyarakat kita percaya bahwa selebriti harus dipermalukan di depan umum setiap kali mereka melakukan kesalahan—seakan itu adalah bagian dari harga ketenaran," kata Profesor Kim. 

"Jika media terus mempertahankan pola ini hanya demi jumlah penonton dan klik, maka akan ada lebih banyak tragedi yang terjadi."

Kritikus budaya Hwang Jin-mi menambahkan bahwa perlakuan terhadap Kim Sae-ron terasa lebih kejam karena ia seorang perempuan.

"Ketika Kim terlibat dalam kecelakaan akibat mabuk, pemberitaan media besar-besaran. Padahal, aktor pria yang melakukan pelanggaran serupa tidak mendapat sorotan setajam itu," ujar Hwang.

Meski portal berita utama seperti Naver dan Daum telah menonaktifkan kolom komentar di artikel hiburan sejak 2020, perundungan online kini berpindah ke media sosial dan komunitas daring, di mana komentar penuh kebencian terus merajalela tanpa kontrol.

"Kim Sae-ron sejak kecil telah memerankan karakter-karakter yang emosional dan berat—mulai dari korban pelecehan anak, penculikan, hingga kekerasan seksual di masa perang," ujar kritikus budaya Kim Seong-su.

"Masyarakat Kora gagal memberinya dukungan kesehatan mental saat ia beranjak dewasa," tuturnya.

Ia menambahkan bahwa alih-alih terus-menerus menyoroti kecelakaan mabuknya, media seharusnya lebih fokus pada alasan mengapa seorang mantan aktris cilik dibiarkan tanpa dukungan psikologis dalam masa-masa sulitnya.

"Jika kita ingin mencegah tragedi serupa terjadi di masa depan, kita perlu mempertimbangkan langkah-langkah baru untuk melindungi selebriti dari komentar jahat dan pemberitaan media yang merusak," pungkasnya.

Jika kamu merasakan keinginan untuk mengakhiri hidup, cari bantuan dengan menghubungi:

Call Center 24 jam Halo Kemenkes 1500-567

Kemenkes juga menyediakan 5 rujukan RS Jiwa dengan layanan telepon konseling:

1. RSJ Amino Gondohutomo Semarang: (024) 6722565
2. RSJ Marzoeki Mahdi Bogor: (0251) 8324024, 8324025, 8320467
3. RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta: (021) 5682841
4. RSJ Prof Dr Soerojo Magelang: (0293) 363601
5. RSJ Radjiman Wediodiningrat Malang: (0341) 423444

Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan