Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Lifestyle

Kecanduan gadget bisa picu tantrum pada anak, simak cara mengendalikannya

Paparan gadget yang terlalu lama dapat mengubah perilaku anak menjadi negatif.

Kecanduan gadget bisa picu tantrum pada anak, simak cara mengendalikannya
Ilustrasi anak bermain gadget, gawai, handphone, hp, sosial media. (Foto: iStock/Koh Sze Kiat)
25 Apr 2024 02:31PM (Diperbarui: 03 May 2024 01:58PM)

Anak-anak kecil bermain gadget sudah menjadi pemandangan yang biasa belakangan ini. Banyak di antaranya bermain game online bersama teman, menonton video di YouTube, ataupun mulai terpapar konten di berbagai platform sosial media, seperti Instagram dan TikTok. 

Namun, sadarkah kamu bahwa paparan gadget yang terlalu lama terhadap anak ternyata bisa memicu terjadinya tantrum? 

Tantrum adalah kondisi saat seorang anak menunjukkan ledakan kemarahan dan frustrasi yang tidak terkendali. Biasanya, tantrum pada anak terlihat ketika ia meluapkan ledakan emosi kemarahan dengan merengek rewel, berteriak histeris, memukul, menendang-nendang, ataupun berguling-guling di lantai.

Menurut anggota Unit Kerja Koordinasi Tumbuh Kembang Pediatri Sosial Ikatan Dokter Anak Indonesia Dr. dr. I Gusti Ayu Trisna Windiani, Sp.A(K), tantrum salah satunya dapat disebabkan karena anak terlalu lama terpapar gadget. 

"Anak yang menonton atau mendapatkan paparan gadget lebih dari 20 menit, 66 persen mengalami tempered tantrum, karena penggunaan atau paparan gadget terlalu lama akan mengubah perilaku menjadi negatif," kata dokter yang biasa disapa Trisna itu, dikutip dari Antara. 

Trisna menjelaskan bahwa tantrum terjadi pada anak ketika ia tidak menyukai perubahan mendadak saat melakukan hal yang ia sukai. Misalnya, ketika orang tua memintanya berhenti bermain gadget atau melakukan aktivitas lain. 

Ketika mengalami tantrum, 86 persen anak akan menangis, 40 persen anak berteriak, dan 13 persennya merengek.

Menurutnya, tantrum dapat terjadi pada anak usia 18 bulan sampai empat tahun. Lama dan frekuensi tantrum akan berkurang seiring dengan pertambahan usia anak.

Para orang tua, lanjut Trisna, harus selalu memantau perkembangan emosional anak berdasarkan usia.

Anak berusia 15 bulan sudah dapat merasakan kesedihan dan emosi orang lain. Sementara pada usia 22 bulan, anak sudah bisa menentang jika dilarang. Lalu, ketika ia berusia dua tahun, maka anak sudah mulai belajar mengendalikan emosi.

"Usia tiga tahun sudah bisa berbagi dengan orang lain tanpa diminta, empat tahun sudah bisa menunjukkan rasa bahagia, takut, marah, karena perkembangan emosional sudah terbentuk dengan baik," katanya.

Dokter lulusan Universitas Udayana itu menyatakan bahwa tantrum sebenarnya adalah bagian dari perkembangan emosional yang normal terjadi pada anak. Akan tetapi, kondisi ini bisa menjadi abnormal jika berlanjut dan tidak diintervensi.
 

Ilustrasi sosial media. (Foto: iStock/P Kijsanayothin)

Tantrum yang berat, sering terjadi, dan berlangsung lama, menurut dia, bisa jadi merupakan indikasi adanya masalah internalisasi dalam mengontrol emosi dan masalah eksternalisasi dalam bersikap kepada orang lain.

Dia menyarankan orang tua melakukan pengecekan terkait kondisi anak ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat jika sang anak memiliki ciri-ciri, "mengalami tantrum lebih dari 15 menit lebih dari lima kali dalam sehari, melukai diri sendiri dan orang lain saat tantrum, dan suasana hatinya tidak segera kembali normal setelah tantrum."

"Periksakan anamnesis, apakah sakit atau infeksi atau gangguan tumbuh kembang, keterlambatan bicara, skrining pendengaran. Kalau lebih lanjut cek laboratorium untuk dilihat adanya kelebihan timbal dan ada gangguan perilaku abnormal," lanjut Trisna. 

Meskipun demikian, dr. Trisna juga menegaskan bahwa anak-anak juga bisa tantrum jika mengalami infeksi, gangguan tidur, lelah, atau lapar serta belum punya keterampilan menanggulangi perasaan sendiri.

DAMPAK BURUK MEDSOS BAGI ANAK
 

Ilustrasi sosial media Instagram. (Foto: Unsplash)

Salah satu hal yang kerap dilakukan anak ketika bermain gadget adalah mengonsumsi berbagai konten di platform media sosial YouTube, Instagram dan TikTok. Padahal, berbagai aplikasi media sosial itu dapat berdampak buruk bagi kesehatan psikologis dan emosional anak, terutama anak remaja. 

Penelitian demi penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara penggunaan media sosial dengan kecemasan, depresi, gangguan fokus, gangguan hiperaktif, anoreksia, dan kondisi lainnya. 

Bahkan, berbagai kondisi mental yang buruk itu tercatat melonjak tajam sejak tahun 2012, ketika gadget mulai marak digunakan. 

Penelitian global terhadap 27.969 orang berusia 18 hingga 24 tahun yang dilakukan oleh lembaga nirlaba Amerika Serikat, Sapien Labs, pada tahun lalu melaporkan bahwa semakin muda seorang anak menggunakan ponsel pintar untuk pertama kali, maka semakin besar pula dampaknya. 

Sebanyak 74 persen responden perempuan yang pertama kali menggunakan ponsel pintar pertama pada usia enam tahun mengaku sering mengalami gangguan kesehatan mental seperti "tertekan" atau mengalami "kesulitan".

Namun, angka tersebut menurun drastis menjadi 46 persen bagi perempuan yang menggunakan gadget pertama kali pada usia 18 tahun. 

Penurunan yang tajam juga terjadi pada responden pria, yakni penurunan dari 42 persen menjadi 36 persen. 

Selain itu, anak-anak yang menghabiskan sebagian besar masa pertumbuhannya di dunia maya berisiko kehilangan interaksi tatap muka yang dapat membantu membangun ikatan sosial yang kuat.

Hal ini juga diamplikasi dengan penggunaan media sosial yang kurang bijak. Anak akan lebih mudah memaki, menghina dan merundung orang lain di platform media sosial, karena tidak ada reaksi langsung dari orang lain, berbeda dengan interaksi di dunia nyata.

Media sosial juga dapat memicu kecanduan, dan memang didesain untuk seperti itu. Media sosial dirancang untuk memberikan dopamin berupa like.

Kecanduan terhadap media sosial bahkan kerap kali disamakan dengan kecanduan pada mesin judi slot, yang membuat pelanggan tetap bermain. 

CARA MENGATASINYA

Terdapat beberapa cara agar para orang tua dapat pelan-pelan mengurangi ketergantungan anak terhadap gadget. Menurut Matthew Brooker dari Bloomberg, mulailah dari perubahan sikap para orang tua. 

"Simpan ponsel ketika berada di rumah dan kurangi scrolling tanpa tujuan di media sosial," ujarnya. 

Selain itu, salah satu peneliti perintis di bidang ini, Jean Twenge, juga menyarankan agar, "Gunakan ponselmu seperlunya untuk satu atau dua jam sehari. Lalu, jalani hidupmu."

"Berlarilah atau berenang, melihat matahari terbenam, tidurlah. Temui temanmu, bukan di Snapchat, tetapi secara langsung. Perhatikan ekspresi wajah teman mereka, dengarkan nada suara teman mereka, dan peluklah. Singkatnya, jadikan ponselmu sebagai alat yang kamu gunakan, bukan alat yang menggunakanmu."

Source: Others/ps(ih)

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan