Fenomena job hugging: Bertahan di pekerjaan meski sudah lelah, karena cari kerja baru lebih lelah lagi
Terlihat setia, padahal banyak pekerja bertahan karena takut ambil risiko di pasar kerja yang tidak pasti.
Ilustrasi pekerja laki-laki pusing dan lelah bekerja di depan laptop. (Foto: iStock/yasindmrblk)
Setelah masa great resignation yang sempat viral pada 2021–2022, yang disusul dengan gelombang pekerja yang berpindah-pindah pekerjaan (job hopping), kini muncul tren baru di dunia kerja, yaitu job hugging.
Istilah ini merujuk pada kecenderungan pekerja tetap "memeluk erat" dan mempertahankan pekerjaan mereka di tengah ketidakpastian ekonomi global yang membuat pasar tenaga kerja menjadi suram.
Sebagaimana banyak tren lainnya, job hugging marak terjadi di para pekerja muda, mereka yang termasuk generasi milenial dan Gen Z. Para pelaku job hugging ini memilih untuk tetap di posisi sekarang walaupun sudah tidak merasa berkembang dan tidak bahagia dengan pekerjaan mereka.
"Sekarang dunia lagi diliputi ketidakpastian — secara ekonomi, politik, maupun global — dan kondisi seperti ini bikin orang cenderung diam di tempat," kata Matt Bohn, konsultan pencari eksekutif di Korn Ferry, dikutip dari CNBC.
Pada masa job hopping, banyak anak muda memilih pindah-pindah kerja demi gaji yang lebih tinggi dan fleksibilitas. Tapi sekarang, kondisi sudah jauh berubah.
Lonjakan PHK, inflasi yang meningkat, dan ekonomi global yang tidak stabil membuat banyak orang lebih memilih bertahan daripada mengambil risiko besar.
"Pasar tenaga kerja lagi stagnan — tingkat perekrutan, resign, dan PHK semua rendah," ujar Laura Ullrich, Direktur Riset Ekonomi di Indeed Hiring Lab. "Gerakannya nyaris minim banget."
MAKIN TAKUT PINDAH KERJA
Tingkat pekerja yang secara sukarela mengundurkan diri (quits rate) telah berada di sekitar 2% sejak awal tahun ini, menurut data dari Departemen Tenaga Kerja AS. Selain masa-masa awal pandemi Covid-19, angka ini belum pernah serendah itu sejak 2016.
Ullrich menjelaskan bahwa angka tersebut mencerminkan bagaimana para pekerja memandang pasar kerja. "Mereka mungkin merasa cemas untuk mencari kerja baru atau tidak optimis akan bisa mendapat pekerjaan yang sesuai," jelasnya.
Survei dari ZipRecruiter pun menunjukkan hal serupa: jumlah pencari kerja yang tidak percaya bahwa masih banyak lowongan yang tersedia naik dari 26 persen menjadi 38 persen dalam tiga tahun terakhir.
Laporan Glassdoor Worklife Trends 2025 mengungkapkan bahwa 65 persen pekerja merasa "terjebak" dalam pekerjaan mereka sekarang. Angkanya bahkan mencapai 73 persen di industri teknologi.
Fenomena ini mencerminkan meningkatnya kecemasan di tempat kerja. Banyak pekerja yang sebenarnya ingin pindah, tapi takut menghadapi realitas pasar kerja yang dingin.
Menurut Stacy DeCesaro, konsultan pengelola di Korn Ferry, saat ini banyak orang hanya diam menunggu situasi membaik.
DeCesaro juga memperkirakan akan ada lonjakan pengunduran diri besar-besaran setelah kondisi ekonomi kembali pulih.
"Setelah pasar membaik, saya pikir situasinya akan sangat aktif karena ada banyak tuntutan terpendam seperti, 'Saya sudah sengsara di sini untuk sementara waktu, tetapi saya hanya menunggu peluang yang lebih baik atau pasar yang lebih baik untuk bergerak,'" ungkapnya.
KAMU SEDANG JOB HUGGING?
Menurut CEO Summit Group Solutions Jennifer Schielke, ada beberapa sinyal yang bisa menunjukkan seseorang sedang "memeluk" pekerjaannya:
- Stres meningkat yang memengaruhi suasana kerja tim.
- Kinerja yang stagnan karena hanya fokus pada hal yang sudah dikuasai.
- Karyawan yang sebenarnya sudah melampaui posisi saat ini, tapi tetap bertahan karena takut mengambil langkah baru.
RISIKO JOB HUGGING
Walau terlihat aman, bertahan terlalu lama di satu posisi juga bisa berisiko.
Menurut Laura Ullrich, mereka yang jarang pindah kerja biasanya mengalami kenaikan gaji yang lebih lambat dibandingkan para job switchers.
Di sisi lain, Matt Bohn menyebut bahwa pekerja yang terlalu nyaman bisa kehilangan motivasi untuk berkembang, belajar skill baru, atau mengambil tanggung jawab lebih. Ini bisa berdampak pada daya jual mereka di pasar kerja.
Bahkan, perusahaan bisa mulai merasa bahwa performa karyawan yang "jalan di tempat" ini tidak lagi sesuai dengan standar.
Schielke mengatakan bahwa pemimpin seharusnya tidak menganggap rendahnya tingkat turnover sebagai tanda keberhasilan. Mereka harus sadar bahwa stabilitas tidak selalu berarti loyalitas.
"Para pemimpin hebat akan menyadari bahwa stabilitas tidak sama dengan komitmen dan akan memanfaatkan waktu ini untuk membangun budaya yang lebih kuat yang bertahan lebih lama dari pasar saat ini," jelasnya.
Menurut DeCesaro, agar karyawan tidak langsung kabur saat melihat peluang lain, manajemen perlu membuka ruang dialog dan mempererat komunikasi dengan tim.
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.