Ini sebabnya Gen Z lebih suka tulis pesan dan email ketimbang telepon
Rupanya, banyak Gen Z yang merasa cemas ketika harus melakukan panggilan telepon.

TODAY: Sebelum melakukan panggilan telepon, Nivani Elangovan, terlihat sibuk mencatat poin-poin penting dan memetakan apa saja yang mungkin terjadi dalam percakapan telepon yang akan segera ia alami.
Menurutnya, mengetik nomor telepon sudah jarang dilakukannya, karena hal itu saja sudah membuatnya cemas. Apalagi membayangkan bercakap-cakap di telepon.
“Aku tidak suka menelepon... karena aku jadi lebih cemas soal hal-hal yang tidak pasti. Aku suka ketika punya rencana yang pasti dan sebisa mungkin sudah siap,” katanya kepada TODAY melalui sambungan telepon.
“Melalui surel atau pesan teks, setidaknya itu tertulis dan aku punya waktu untuk memikirkan cara membalas dan apa yang ingin aku katakan. Ketika melalui telepon, ada begitu banyak ketidakpastian tentang apa yang bisa terjadi," tambahnya.
“Bahkan jika aku harus menelepon, aku akan mengambil post-it dan mencatat semua poin yang perlu aku bahas,” ujar perempuan berusia 26 tahun ini.
Perasaan cemas saat harus menelepon tidak hanya dialami oleh Nivani. Banyak Gen Z lainnya, yang saat tumbuh dewasa telah mengenal komputer dan internet, mengalami kecemasan serupa.
Survei yang dilakukan oleh perusahaan telekomunikasi Australia, More Telecom, pada Mei 2023 terhadap lebih dari 1.000 responded dari kalangan Gen Z berusia 18 hingga 26 tahun menemukan bahwa hanya satu dari sepuluh anak muda yang lebih memilih berbicara dengan keluarga dan teman melalui telepon.
Sekitar 49 persen di antaranya mengakui bahwa menelepon membuat mereka merasa cemas, sementara enam dari sepuluh Gen Z mengaku takut melakukan atau menerima panggilan telepon.
Ternyata, kecenderungan Gen Z untuk menulis pesan bukanlah fenomena baru. Kalangan milenial, yang berusia antara 27 dan 42 tahun, sudah menunjukkan tanda-tanda serupa, menurut pakar sosiologi.
Survei yang dilakukan oleh Pew Research Centre pada 2012 menyebutkan remaja di Amerika Serikat berusia 12 hingga 17 tahun mengirim dan menerima 60 pesan pada tahun 2011, naik dari 50 pesan pada survei tahun 2009.
Survei yang sama menemukan bahwa hanya 26 persen remaja di AS yang mengaku masih menelepon teman mereka. Angka ini turun dari 38 persen pada tahun 2009.

Di Singapura, 12 pemuda berusia 35 tahun ke bawah mengatakan kepada TODAY bahwa menulis pesan menjadi mode komunikasi utama bagi mereka, meskipun tiga orang di antaranya mengaku masih lebih memilih menelepon.
Manajer umum firma hubungan masyarakat SPRG Singapura, Edwin Yeo, menambahkan bahwa preferensi anak muda untuk menulis pesan di lingkungan kerja bisa memiliki dampak negatif.
“Panggilan telepon sebenarnya bisa membuat lebih nyaman, khususnya saat melakukan brainstorming dan klarifikasi... karena tidak ada kebingungan. Kita bisa mendengar nada suara mereka, tidak seperti menulis pesan,” ujar pria berusia 56 tahun ini.
Peneliti utama di Institute of Policy Studies di Singapura, dr. Carol Soon, mengaku tidak heran Gen Z lebih cenderung untuk menulis pesan.
Menurutnya, mengirim pesan memberikan lebih banyak keleluasaan terhadap waktu dan isi perbincangan. Mereka dapat berkomunikasi kapan pun mereka mau, dan memungkinkan mereka untuk menghindari berbasa-basi.
“Alasan ini juga menjelaskan mengapa mereka dari generasi lain juga lebih suka menulis pesan. Menelepon hanya dilakukan untuk berkomunikasi yang sifatnya mendesak atau berbicara dengan anggota keluarga yang lebih tua,” ujar dr. Soon.
Sementara, pakar sosiologi di Universitas Nasional Singapura, Profesor Tan Ern Ser, mencatat sisis negatif dalam mengirim pesan teks.
Pertama, ketergantungan anak muda menulis bisa bisa jadi meningkatkan kesalahpahaman ketika berkomunikasi. Menulis pesan tentu menghilangkan sejumlah gestur dan ekspresi wajah, membuat mereka sulit memiliki keterampilan dalam berinteraksi sosial.
“Menurut saya, satu hal negatif lain dari hanya mengirim pesan adalah ketika kita tidak mengangkat telepon darurat dari seseorang yang tidak punya waktu untuk menulis pesan teks, tidak mampu mengirim pesan teks — seperti seorang yang lebih tua yang tidak melek huruf, atau tidak mampu menggunakan fitur teks dari ponsel pintar — atau hanya memiliki akses ke telepon rumah,” katanya.
Lain halnya dengan dr. Andrew Yee, asisten profesor di Universitas Teknologi dan Desain Singapura, yang menilai bahwa bentuk komunikasi baru tersebut bukanlah masalah.
“Selama tujuannya berkomunikasi, seperti membangun hubungan dan menyampaikan makna, dapat tercapai dengan baik, saya rasa kita perlu terlalu khawatir tentang hal itu,” katanya.