Ini alasan sebaiknya tidak menjadikan hobi sebagai bisnis sampingan
Menilai potensi keuntungan dari setiap hobi tidak baik untuk kesehatan mental kita.

Ketika saya dan beberapa teman berkumpul saat makan malam, percakapan kami menyinggung sejumlah momen penting yang kami syukuri. Salah satu teman bercerita ia kini asyik mengeksplorasi sisi kreatifnya melalui kelas kerajinan keramik yang sedang ia ikuti. Menanggapi cerita itu, teman saya yang lain dengan enteng menyeletuh, "Wah, karya keramikmu bisa dijadikan uang! Kamu bisa membuka toko dan...."
Bahkan sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, saya sudah menimpali, "Jangan! Jangan jadikan hobimu untuk mencari uang."
Saran saya itu, bagi sebagian orang, pasti terdengar aneh. Di tengah situasi ekonomi yang membuat harga-harga serba mahal, tentu tidak ada salahnya mencari penghasilan tambahan, apalagi dari sebuah hobi yang menyenangkan.
Namun, menurut definisinya, hobi merupakan suatu kegiatan yang kita lakukan di luar pekerjaan dengan tujuan untuk bersantai. Tentu saja, kita bisa memilih hobi yang menantang secara mental, seperti catur, ataupun secara fisik, seperti mendaki gunung.
Namun, hobi tidak akan lagi menjadi hobi ketika kita memperlakukannya bagaikan bisnis sampingan: memberi label harga pada karya kita dan menjualnya kepada konsumen. Hobi kita berubah menjadi sebuah pekerjaan.
Beberapa tahun terakhir, budaya kerja keras, atau yang biasa disebut grind culture atau side-hustle culture, memang mulai populer. Beberapa orang menyebut budaya semacam itu toksik, karena mendorong kita untuk terus-menerus memperhitungkan keuntungan material dari suatu hal yang kita lakukan.
Saya juga sempat menjadi "korbannya" dengan berada di komunitas, yang bisa dibilang, selalu sibuk. Sebagai orang yang tidak lagi ingin menerapkan budaya tersebut, saya bisa dengan yakin berpendapat, bahwa satu atau dua hobi yang kita lakukan sebaiknya tidak menghasilkan uang. Hal itu, akan lebih baik untuk kesehatan mental kita.
KETIKA HOBI MENJADI PEKERJAAN
Saya merupakan penulis artikel opini seputar keuangan, dan ironisnya, pekerjaan saya ini berawal dari sebuah hobi. Saya gemar berbagi pemikiran dan pengalaman soal keuangan pribadi, hingga akhirnya muncul berbagai kesempatan untuk berbicara di sejumlah acara, menulis lepas, dan bahkan merilis buku.
Dan ketika hobi ini berubah menjadi pekerjaan yang saya jalani dengan penuh waktu, meskipun sejalan dengan minat dan keterampilan yang saya miliki, rasa-rasanya saya sudah tidak bisa lagi merasakan faktor menyenangkan yang memotivasi saya di masa-masa awal menjalaninya.
Pandangan saya terhadap hobi juga sempat berubah. Saya sempat enggan melakukan hobi, yang walaupun menyenangkan, tapi memerlukan banyak waktu, energi dan biaya, serta tidak menghasilkan keuntungan material apa pun.
Kini saya menyadari satu hal: betapa salahnya pola pikir semacam itu.
Pandemi mengubah pandangan saya. Saya yang biasanya kerap sibuk, harus rela bahwa siklus pekerjaan saya menjadi lebih lambat dari yang seharusnya. Saat itulah saya menyadari bahwa saya tidak punya banyak hobi di samping membaca buku dan menonton televisi.
Walaupun dua kegiatan itu bisa membuat saya bersantai, saya rindu melakukan kegiatan yang lebih memantik kreativitas. Akhirnya, dalam dua tahun terakhir, saya mencoba belajar merajut secara otodidak dan mengikuti les menari tap bersama dengan komunitas lokal.
HOBI YANG TIDAK MENGHASILKAN UANG
Alih-alih menghasilkan uang, baik merajut ataupun menari tap justru membuat saya mengeluarkan uang. Namun, kedunya telah memberikan sesuatu yang luar biasa bagi saya.
Saya merasa kembali menemukan sisi kreatif. Senang sekali rasanya bahwa ada sebuah pencapaian yang saya raih dari mempelajari suatu keterampilan baru. Saya juga mulai merasakan manfaat dari upaya menantang pikiran dan tubuh untuk mempelajari aktivitas-aktivitas baru.
Saya dengan mudah dapat menghasilkan uang dari hobi merajut, tapi jika dibandingkan dengan biaya perlengkapan dan waktu yang diperlukan untuk saya membuat suatu karya, penghasilan itu menjadi tidak berarti. Oleh karena itulah, ketimbang hanya memikirkan keuntungan material, saya membagikan hasil rajutan kepada rekan dan sahabat, sebagai kado ulang tahun atau perayaan lainnya.
Sekarang, jika ditanya, beginilah pendapat saya soal menghasilkan uang dari hobi. Bagi kamu yang suka membuat sebuah karya fisik dari hobi semacam pertukangan kayu, melukis, membuat tembikar atau membuat perhiasan, tentu saja kamu bisa menjualnya. Terlalu banyak karya, tentu hanya akan menjadi clutter — tumpukan karya indah yang akan mempersempit rumahmu.
Namun, menjual karyamu yang jumlahnya sudah berlebih, jauh berbeda dengan membangun usaha sampingan.
Sebagai orang yang hampir selalu sibuk dan biasa mendapat pengasilan lebih dari satu sumber, saya paham betul manfaatnya memiliki banyak sumber pengasilan.
Namun, menurut saya, hobi seharusnya tetaplah menjadi hobi.
Beri diri kita kesempatan untuk sesekali berkreasi, untuk "memperkaya" diri dengan sesuatu yang tidak memberi keuntungan finansial. Bahkan, jika kita harus mengeluarkan sedikit uang, dan bukan meraihnya.