Harvard ungkap rahasia orang Indonesia paling bahagia, meski bukan negara kaya
Temuan mengejutkan dari studi global Harvard menunjukkan bahwa kebahagiaan masyarakat Indonesia justru tumbuh dari hal-hal sederhana.
Ilustrasi keluarga bahagia. (Foto: iStock/ibenk.88)
Temuan mengejutkan dari Global Flourishing Study, penelitian yang melibatkan Universitas Harvard, menempatkan Indonesia di peringkat teratas sebagai negara dengan tingkat kesejahteraan dan kebahagiaan tertinggi di dunia, mengungguli Amerika Serikat, Jepang, dan Swedia.
Global Flourishing Study dilakukan secara kolaboratif oleh Harvard Human Flourishing Program, bekerja sama dengan Baylor University, Gallup, dan Center for Open Science ini melibatkan lebih dari 200.000 responden di 23 negara dan wilayah, dilakukan selama periode 2022–2024.
"Keunikan dari Global Flourishing Study adalah pada skalanya," ujar peneliti utama sekaligus kontributor laporan, dr. Byron Johnson, yang merupakan profesor ilmu sosial di Baylor University.
"Kami mengikuti sebanyak 207.000 partisipan dari seluruh dunia, menggunakan lebih dari 40 bahasa di enam benua berpenghuni. Artinya, penelitian ini mewakili sekitar 64% populasi dunia," ujarnya, dikutip dari The Conversation.
Studi yang hasilnya dipublikasikan dalam jurnal Nature Mental Health pada Mei 2025 ini menilai kesejahteraan, atau flourishing, dari berbagai dimensi kehidupan, mulai dari kebahagiaan, kesehatan, makna hidup, karakter, hubungan sosial, hingga keamanan finansial.
Sementara, peneliti utama dari Harvard T.H. Chan School of Public Health, dr. Tyler VanderWeele, yang juga merupakan rekan Johnson dalam studi ini, menjelaskan bahwa flourishing menggambarkan seseorang yang menjalani kehidupan yang baik secara menyeluruh, lebih dari sekadar bahagia secara pribadi.
NEGARA KAYA BELUM TENTU BAHAGIA
Menariknya, hasil studi menunjukkan bahwa negara-negara maju tidak otomatis memiliki masyarakat yang lebih sejahtera secara holistik. Negara kaya cenderung unggul dalam hal keamanan finansial, tetapi justru lemah dalam aspek makna hidup, hubungan sosial, dan karakter prososial.
Sementara itu, Indonesia, yang bukan termasuk negara dengan pendapatan tinggi, justru unggul dalam hal hubungan sosial, rasa kebersamaan, dan nilai-nilai karakter yang kuat.
"Indonesia memang tidak menonjol secara ekonomi, tetapi memiliki kekuatan dalam hubungan sosial dan nilai-nilai karakter yang mendukung masyarakatnya," bunyi laporan New York Post.
Brendan Case, peneliti lain dari Harvard, menambahkan, "Kami tidak mengatakan kekayaan atau umur panjang tidak penting. Namun, temuan ini menunjukkan bahwa mungkin ada harga yang harus dibayar dalam proses pengembangan."
"Indonesia memberi contoh bahwa kesejahteraan bisa tumbuh dari kedekatan sosial dan nilai-nilai budaya," ujar Case.
KUNCI KEBAHAGIAAN
Menanggapi hasil riset ini, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti, menegaskan bahwa kunci kebahagiaan masyarakat Indonesia terletak pada nilai gotong royong.
"Itu dasarnya apa? Saling menolong atau gotong royong. Dan itu tidak semua negara punya prinsip gotong royong," ujarnya pada akhir pekan lalu, dikutip dari CNN Indonesia.
Studi ini juga menemukan bahwa kebahagiaan orang Indonesia bukan berasal dari kebijakan pemerintah, melainkan dari warisan budaya yang masih hidup hingga kini, mulai dari tahlilan, arisan, hingga obrolan larut malam di warung kopi. Kegiatan sederhana ini menciptakan hubungan sosial yang hangat dan rasa memiliki yang semakin langka di dunia modern.
Namun, para peneliti juga mencatat bahwa generasi muda di banyak negara justru memiliki tingkat flourishing yang lebih rendah dibandingkan kelompok usia lainnya.
"Data kami menunjukkan bahwa jika digabungkan dari 22 negara, tingkat flourishing meningkat seiring bertambahnya usia. Artinya, kelompok usia termuda justru melaporkan tingkat flourishing paling rendah," jelas VanderWeele.
Senada, dr. Felix Cheung dari University of Toronto menambahkan, "Anak muda sedang memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang tidak beres."
Dikutip dari Detik, ia menjelaskan bahwa tekanan kompetisi di dunia pendidikan dan kerja, serta rasa frustrasi terhadap mobilitas sosial yang terbatas, menjadi penyebab menurunnya kesejahteraan mental generasi muda.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kesejahteraan hidup bukanlah sesuatu yang tetap, setiap orang bisa menumbuhkannya.
"Salah satu cara menilai flourishing adalah menjawab 12 pertanyaan inti kami," kata VanderWeele.
"Salah satu responden bahkan memutuskan untuk mulai melakukan kegiatan sukarela setelah menyadari bahwa ia kehilangan rasa tujuan yang lebih dalam dalam hidupnya."
Menurut Cheung, flourishing bisa ditemukan dalam berbagai kondisi, tidak hanya di negara maju. "Flourishing bukan hanya soal kaya atau sukses," katanya. "Ini tentang memiliki makna, hubungan, dan rasa syukur yang membuat hidup terasa utuh."
Temuan Harvard ini menjadi pengingat bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu sejalan dengan kemakmuran ekonomi. Di banyak negara maju, modernisasi sering kali datang dengan meningkatnya rasa kesepian dan tekanan hidup.
Indonesia, dengan segala kesederhanaannya, menawarkan sesuatu yang lebih berharga: kehidupan yang penuh makna, rasa syukur, dan kebersamaan.
Di dunia yang kian individualistis, dari tawa di warung kopi, doa bersama di kampung, hingga uluran tangan saat tetangga membutuhkan, Indonesia membuktikan bahwa kebahagiaan sejati bisa lahir dari hal-hal sederhana.
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.