Fenomena 'Rojali' merajalela: Ketika mal ramai tapi sepi transaksi
Mal tetap penuh tapi toko sepi pembeli. Kenapa makin banyak orang cuma jalan-jalan tanpa belanja? Fenomena "rombongan jarang beli" mengungkap gaya hidup urban di tengah melemahnya daya beli masyarakat.
Ilustrasi interior di dalam mall atau pusat perbelanjaan. (Foto: iStock/JohnnyGreig)
JAKARTA: Fenomena "rojali" atau rombongan jarang beli kembali marak terlihat di berbagai pusat perbelanjaan, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Istilah ini merujuk pada kelompok pengunjung yang datang ke mal bukan untuk belanja, melainkan sekadar melihat-lihat atau window shopping. Meskipun terlihat ramai, pusat-pusat belanja ini justru minim transaksi pembelian.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, membenarkan bahwa fenomena rojali memang tengah terjadi dan bukanlah hal baru. Ia menyebut, perilaku ini muncul sebagai dampak dari belum pulihnya daya beli masyarakat.
"Di tengah kondisi daya beli yang masih belum pulih, masyarakat tetap berkunjung ke pusat perbelanjaan. Namun yang terjadi adalah perubahan pola belanjanya, dikarenakan uang yang dipegang relatif sedikit maka terjadi kecenderungan untuk membeli barang ataupun produk yang harga satuannya kecil atau murah," ujarnya, menurut laporan Detik
Alphonzus menambahkan, fenomena rojali tidak terbatas pada satu lapisan sosial saja, melainkan terjadi baik di kalangan menengah bawah maupun menengah atas. "Fenomena rojali tidak berjumlah banyak dan hanya bersifat sementara dikarenakan adanya penurunan daya beli masyarakat," tegasnya.
KONSUMEN MENENGAH ATAS
Di sisi lain, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA), David E. Sumual, menyoroti konsumsi masyarakat kelas menengah ke atas yang belum menunjukkan perbaikan signifikan. Menurutnya, kelompok ini justru menjadi penggerak utama konsumsi nasional.
"Secara konsumen keseluruhan terutama yang menengah atas yang punya uang, yang membeli durable goods seperti mobil, motor, furnitur, kemudian pakaian, luxurious goods, mereka yang men-drive 70 persen konsumsi," kata David, dikutip dari CNN Indonesia.
Ia mencatat, dalam beberapa waktu terakhir, perjalanan bisnis atau wisata ke Jakarta dari kota-kota besar lain seperti Surabaya dan Palembang juga menurun.
"Biasanya yang banyak beli itu mereka di mal-mal, misalnya orang Surabaya, orang Palembang atau orang Papua. Kalau orang Jakarta ke mal biasanya makan doang, cari diskon-diskon," ujarnya.
Lebih lanjut, David mengungkapkan bahwa masyarakat menengah ke atas saat ini lebih memilih menaruh dananya di berbagai instrumen investasi seperti deposito, giro, saham, surat berharga negara (SBN), emas, hingga emas digital. "Instrumen investasi sedang menarik bagi mereka sehingga mereka lagi ke sana dulu, tuturnya.
Data resmi turut memperkuat pernyataannya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), laju konsumsi masyarakat pada kuartal pertama 2025 hanya tumbuh 4,87 persen, lebih rendah dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang mencatatkan 4,91 persen, meskipun telah didorong oleh momen Ramadan dan Idul Fitri.
Indeks Penjualan Riil (IPR) dari Bank Indonesia pun mencatat pertumbuhan tahunan kurang dari 5 persen pada Januari hingga Maret 2025.
OPTIMISTIS MEMBAIK
Dalam wawancara terpisah dengan Kompas pada Senin (21/7), Alphonzus menyatakan bahwa secara nasional, fenomena ini belum berdampak signifikan terhadap performa pusat perbelanjaan. Wilayah di luar Jawa, katanya, masih menunjukkan daya beli yang relatif stabil.
"Belum berdampak besar. Jika daya beli masyarakat tidak kunjung pulih, maka yang akan terdampak bukan cuma sektor ritel saja tetapi tentunya juga akan berdampak terhadap banyak sektor usaha lainnya antara lain seperti manufaktur, jasa, keuangan dan lainnya," bebernya.
Sebagai respons terhadap lesunya transaksi, APPBI menggelar sejumlah program promo, khususnya menjelang Natal dan Tahun Baru. Tujuannya untuk mempercepat transisi dari periode sepi pengunjung, yang tahun ini berlangsung lebih panjang karena Ramadan dan Idulfitri datang lebih awal.
Sementar, David dari BCA mengaku tetap optimistis bahwa tren konsumsi akan membaik pada paruh kedua tahun ini, seiring dengan meredanya ketidakpastian eksternal dan adanya stimulus dari pemerintah.
"Pemerintah juga belanja dan memberikan stimulus. Saya pikir, kondisi (konsumsi) semester II akan berbeda jauh dengan semester I secara keseluruhan," ujarnya.
Optimisme serupa juga diungkapkan oleh Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Juli Budi Winantya. Menurutnya, sejumlah faktor seperti inflasi yang rendah, bantuan sosial, membaiknya sektor pertanian, dan peningkatan ekspor akan memperkuat daya beli masyarakat.
"Inflasi diperkirakan masih akan rendah dan stabil tentunya daya beli tidak akan tergerus sehingga daya beli akan tetap baik," ungkap Juli.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) memiliki pandangan berbeda terkait fenomena 'rojali'. Direktur Bina Usaha Perdagangan Kemendag, Septo Soepriyatno, menegaskan bahwa fenomena ini tidak berarti daya beli masyarakat menurun.
Menurut Septo, mal kini tak lagi sekadar tempat berbelanja, melainkan juga menjadi ruang publik dan sarana hiburan.
"Kami melihat hal ini sebagai sinyal penting karena masyarakat kembali memenuhi pusat belanja kita dan suksesnya transformasi ritel menuju model bisnis yang lebih adaptif, dengan melakukan transformasi konsep, serta terintegrasi secara digital melalui omnichannel," katanya.
Septo menyarankan agar pusat belanja memanfaatkan momentum ini untuk mengadopsi strategi yang lebih relevan, misalnya memberi ruang lebih untuk penyewa yang bergerak di bidang gaya hidup dan kuliner.
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.