AI kini merambah drama Korea, penulisan skrip pakai ChatGPT
Penggunaan AI dinilai dapat menghemat waktu dan biaya, serta memungkinkan siapa saja menjadi kreator drama atau film.

Penggunaan AI dalam produksi drama Korea berjudul Kiss Lighting — Ghost Cupid. (Foto: Tangkapan layar kanal SBS)
Penggunaan kecerdasan buatan generatif (generative AI) kini diterapkan dalam produksi drama Korea. Awal Desember lalu, penayangan drama Korea (drakor) berjudul Kiss Lighting — Ghost Cupid mencuri perhatian lantaran menggunakan AI untuk naskah dan visualnya.Â
Kiss Lighting — Ghost Cupid tayang perdana pada 4 Desember lalu, dengan perilisan awal di kanal SBS di YouTube.
Drakor ini merupakan bagian dari K-Village Project, sebuah kolaborasi antara SBS Medianet dan Korea Foundation for Cooperation of Large & Small Business, Rural Affairs.Â
Drama ini mengisahkan cerita romantis yang unik seorang hantu bernama Wooyeon (Jung Hyuk) yang membantu manusia menemukan cinta.
PAKAI CHATGPT
Menurut perusahaan produksi Kings Creative, sutradara awalnya menyusun kerangka cerita kasar yang kemudian diperhalus menggunakan ChatGPT.Â
Ide-ide yang dihasilkan dari proses ini didiskusikan dalam rapat sebelum naskah final diselesaikan oleh penulis.Â
Sementara untuk sisi visual, perangkat AI seperti HeyGen, ElevenLabs, dan Midjourney digunakan untuk menciptakan gambar-gambar yang diinginkan.

HEMAT WAKTU DAN BIAYA
Menurut laporan The Korea Times, para pakar menyebut penggunaan AI menghemat waktu dan biaya, memungkinkan siapa saja menjadi kreator drama atau film.
Produser di Kings Creative, Jung In-su, mengungkapkan bahwa AI sangat menyederhanakan proses yang sebelumnya membutuhkan banyak waktu dan tenaga.Â
"Dulu, mengganti wajah seseorang di layar berarti harus begadang selama beberapa malam untuk me-render dan membersihkan detail kulit secara manual. Dengan AI, kita bisa dengan mudah mencoba berbagai opsi hingga mendapatkan hasil yang diinginkan," ujarnya, dikutip dari The Korea Times.Â
Selain itu, biaya untuk menghasilkan ilustrasi menggunakan AI hanya kurang dari 100.000 won (sekitar Rp1 juta) per bulan, dengan jumlah gambar tidak terhingga.Â
Biaya ini tentu jauh lebih murah dibandingkan biaya ilustrasi buatan manusia yang biasanya mencapai 200.000-300.000 won per gambar.
ERA BARU KREATIVITAS
Yang Eek-jun, produser di Mateo AI Studio yang memenangkan penghargaan utama di Korea International AI Film Festival 2024 dengan film "Mateo," menyebutkan bahwa AI membebaskan kreator dari keterbatasan modal dan teknologi.
"Jika kita membuat film pendek dengan dana pribadi dan film itu tidak diterima di festival atau menarik perhatian, maka meskipun ada semangat besar, kita tetap harus berhenti selama satu atau dua tahun karena biayanya sangat mahal," kata Yang dalam konferensi pers di 2024 Immersive Day tentang AI dan masa depan kreativitas di Korea National University of Arts, Seoul, pada November lalu.Â
"Tapi sekarang, dengan adanya AI, kita bisa membuat film di rumah hanya dengan waktu dan usaha," tuturnya.Â
"Saya percaya kita sedang berada di era yang luar biasa, di mana kita bisa membuat film kapan saja dan kembali bersaing. Bahkan, bagi kami para kreator konten, ini jauh lebih penting daripada isu AI yang menguasai umat manusia," ungkapnya.Â
Jung dari Kings Creative juga mencatat bahwa AI memungkinkan orang untuk menciptakan gambar dan video yang sebelumnya tidak terpikirkan.
"Dimulai dari naskah, semuanya pada akhirnya bergantung pada big data. AI bisa mengakses informasi yang mungkin kita lupakan, dan ketika kita mencari data serta mengembangkan ide, AI menghasilkan teks berdasarkan fakta dan arahan yang kita berikan," katanya.Â
Ia menambahkan bahwa banyak penulis dan sutradara yang dikenalnya sering menggunakan ChatGPT untuk penelitian, dan menggunakannya seperti menggunakan ensiklopedia.
CERITA YANG KUAT
Namun, seiring dengan kemajuan teknologi AI yang begitu pesat, Yang dari Mateo AI Studio menekankan bahwa penceritaan yang kuat menjadi semakin penting di tengah banjirnya konten.
"Membuat film dengan durasi minimal 80 menit adalah tantangan terbesar, karena konten AI sering gagal mempertahankan perhatian penonton lebih dari satu menit," ungkapnya.Â
"Dengan rentang perhatian yang semakin singkat, kami bertanya-tanya apakah kami bisa membuat penonton tetap tertarik selama 80 menit penuh. Ini adalah tantangan terbesar bagi kami," katanya.
Yang juga mencatat bahwa pasar konten AI global menghadapi tantangan besar terkait hak cipta, terutama risiko pelanggaran karya yang sudah ada.
"Saat kami bereksperimen dengan animasi, kami melihat kesamaan antara karya kami dan studio seperti Pixar dan Disney. Ini terkait dengan hak cipta yang signifikan. Kami terus memantau perkembangan hukum di area ini," ujarnya.
POTENSI KLAIMÂ
Sementara itu, Lee Seung-ki, pengacara di Lee & Law Partners, menyoroti lanskap hukum yang kompleks terkait kepemilikan hak cipta.
"Drama dan film berbasis AI menghadirkan tantangan unik, karena AI, bukan manusia, yang menjadi penggerak proses kreatif. Ini menimbulkan pertanyaan tentang kepemilikan hak cipta, terutama mengingat sifat kolaboratif dari proyek-proyek yang melibatkan AI bersama penulis, sutradara, dan teknisi," jelas Lee.
"Perusahaan AI mungkin mengklaim hak bukan hanya atas penggunaan teknologi mereka, tetapi juga atas konten yang dibuat dengannya," tuturnya.Â
Hal ini berpotensi memicu sengketa hukum antara perusahaan AI dan kreator.Â
Untuk mengatasi risiko ini, perusahaan AI mungkin perlu membuat kontrak yang menentukan hak kekayaan intelektual sebelum melisensikan teknologi mereka untuk produksi drama dan film.Â
"Alternatifnya, kemitraan antara perusahaan AI dan produser drama dapat dibentuk untuk berbagi keuntungan yang dihasilkan oleh alat produksi berbasis AI," pungkasnya.Â
Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.