Dari mode ke aksi, pengusaha busana ukuran plus ini lawan fatfobia di Singapura
Terpicu oleh gerakan body positivity global, Rani Dhaschainey Sandra merintis The Curve Cult pada 2015, membantu perempuan-perempuan berbadan gemuk percaya diri dengan penampilannya. Sembilan tahun berlalu, pengusaha busana ini kini fokus melawan fatfobia di Singapura.

Selaku fat advocate alias aktivis penerimaan tubuh gemuk, Rani Dhaschainey Sandra getol lawan fatfobia di Singapura. (Foto: CNA/Izza Haziqah)
SINGAPURA: Pada tahun 2015, Rani Dhaschainey Sandra merintis label mode ukuran plusnya, The Curve Cult. Tujuannya adalah membantu para perempuan berbadan besar merasa nyaman akan diri sendiri. Namun, yang lebih mendesak baginya kala itu adalah menumbuhkan kesadaran body positivity di Singapura.
Butik The Curve Cult diminati oleh para wanita bertubuh besar, membantu mereka mengekspresikan gaya dan membangun rasa percaya diri melalui penampilan.
"Fashion itu bentuk ekspresi diri yang luar biasa, tapi selalu saja sulit menemukan baju-baju yang pas buat kami," kata Rani. "Bukan saja pilihan ukurannya terbatas, tapi para model dari merek-merek populer juga tidak ada yang terlihat seperti kami, atau seperti kebanyakan orang Singapura pada umumnya."
Butiknya di Far East Plaza mengisi kekosongan tersebut, menawarkan berbagai busana mulai dari baju kerja, pakaian etnis, bahkan lingerie, dengan ukuran S hingga 5XL.
Rani senang tiap kali melihat “pelanggan mengenakan pakaian yang akhirnya mereka sukai”.
Akan tetapi, pada 2019, semangat Rani mulai kendur. Dia lelah mengurusi The Curve Cult. Bergerak sendirian, dia menghabiskan sekitar 12 jam sehari untuk bisnisnya, mulai dari menjaga butik hingga menjalin kontak dengan para desainer dan pemasok.


“Saya tidak yakin yang saya lakukan sudah cukup untuk mengubah pola pikir terkait orang gemuk.”
Gerakan body positivity, yang menekankan penerimaan terhadap semua tipe tubuh dan menanamkan rasa percaya diri terhadap tubuh sendiri, mulai berkembang di Amerika Serikat pada 2012.
Tahun itu, Rani baru saja lulus kuliah dengan gelar di bidang akuntansi, dan baru segelintir orang di Singapura yang tahu soal gerakan body positivity.
"Saya cuma jadi pengamat dari jauh, tapi menghibur sekali rasanya, menyaksikan kecintaan terhadap badan gemuk dan berbagai tipe tubuh lain," ujarnya.
FATFOBIA DALAM KESEHATAN DAN KEBAHAGIAAN

Meski para pelanggannya lantas memiliki lebih banyak pilihan busana, Rani mengamati bahwa fatfobia tetap menonjol dalam sikap mereka.
“Meski beberapa orang terlihat cocok betul mengenakan busana-busana kami, mereka tetap membenci tubuh mereka,” ungkap Rani. “Ini yang benar-benar ingin saya lawan – benci diri sendiri dan sentimen fatfobia di kalangan orang-orang gemuk sendiri.”
Membenci tubuh gemuk jadi hal biasa buat saya. Jadi ketika saya pertama kali tahu soal body positivity, saya mendukung banget.”
Pada tahun 2019, gerakan body positivity mengalami pasang surutnya sendiri pula.
“Awal mulanya itu kan perihal self-love, tapi sampai pada satu titik, gerakan body positivity seolah-olah tidak tahu lagi apa maksud dan tujuannya,” ujar Rani.
“Terasa terlalu disederhanakan sekaligus terlalu rumit. Kita seharusnya mencintai segala macam bentuk tubuh, tapi kita tidak beranjak dari anggapan yang bertahan bahwa tubuh kita mendefinisikan kita, nilai-nilai kita, bahkan kesehatan kita – padahal kita lebih daripada itu.
“Citra-citra yang ditampilkan masih mengikuti patokan kecantikan tertentu, yaitu yang langsing, dan banyak orang justru merasa tidak diikutsertakan dalam body positivity,” ungkapnya.
Rani dongkol betul dengan munculnya reaksi negatif terhadap orang-orang gemuk yang pede dengan tubuh mereka. Bahkan ada asumsi bahwa hanya karena mereka tidak cukup langsing, maka mereka tidak sehat.
Kita seharusnya mencintai segala macam bentuk tubuh, tapi kita tidak beranjak dari anggapan yang bertahan bahwa tubuh kita mendefinisikan kita, nilai-nilai kita, bahkan kesehatan kita – padahal kita lebih daripada itu.”
“Gerakan ini mulai menerima banyak kritik atas dasar kesehatan, tapi entah kenapa cuma orang gemuk yang menerima sebagian besar celaan,” ujarnya. “Orang kurus, yang punya masalah kesehatannya juga, tetap jadi wajah dan puncak kecantikan dan kesehatan.
“Saya tidak suka mempertentangkan wanita gemuk dan kurus satu sama lain, tapi saya ingin menyoroti bahwa ini lebih soal penampilan ketimbang kesehatan.
“Berat badan dan diet adalah faktor penting dalam kesehatan, tapi kan bukan cuma itu. Tapi toh itu-itu saja yang didengar oleh orang gemuk – jadi saya ingin membahas sisi-sisi kesehatan lain yang bisa diperhatikan juga oleh orang gemuk,” katanya.

Guna mengatasi berbagai masalah ini serta mengubah pola pikir masyarakat tentang fatfobia dan kesehatan, sembari mengatasi kelelahannya, Rani memutuskan untuk melangkah lebih lambat. Alih-alih berjualan secara jorjoran, ia mulai menyelenggarakan berbagai acara di bawah payung The Curve Cult.
Acara-acara ini meliputi bincang-bincang virtual tentang penerimaan tubuh gemuk, lingkaran berbagi pengalaman bagi para wanita berbadan plus, kelas-kelas yang dipandu oleh para ahli gizi resmi dengan fokus pada aspek kesehatan selain penurunan berat badan dan kalori (seperti kadar gula darah dan pola tidur), serta serangkaian kelas yoga dan tari. Kegiatan-kegiatan ini diadakan tiap dua bulan dan terbuka untuk umum.
Beberapa kelas olahraga dipandu secara virtual oleh para praktisi yoga bertubuh gemuk dari Amerika Serikat. Spesialisasi mereka adalah yoga yang adaptif dan lembut, disesuaikan bagi tubuh yang lebih besar atau para penyandang disabilitas fisik.
"Menggembirakan sekali melihat begitu banyak perempuan gemuk menari dan menggoyangkan tubuh mereka dengan bebas tanpa takut dihakimi," kata Rani. "Melalui acara-acara ini, kami bisa fokus pada upaya menjaga kesehatan tubuh kami, apa pun bentuknya."
LAWAN BIAS ANTIGEMUK LEWAT PENERIMAAN DIRI

Rani masih mengurusi The Curve Cult di Far East Plaza, namun aktivismenya telah bergeser dari body positivity umum ke penerimaan terhadap tubuh gemuk (fat acceptance). Ia mendeskripsikannya sebagai "memberikan akses, rasa hormat, dan hak kepada tubuh gemuk, sekaligus menumbuhkan penerimaan di kalangan [orang gemuk]”.
“Gerakan body positivity kerap menyarankan orang untuk melakukan apa pun yang dirasa perlu demi merasa positif akan penampilannya. Tapi yang cenderung dipromosikan justru gagasan bahwa yang lebih kurus, lebih bugar, dan lebih cantik itulah yang lebih bahagia dan sehat – sampai orang-orang melakukan segala cara agar terlihat kurus, dan kita terjebak dalam siklus buruk ini.”
Menggembirakan sekali melihat begitu banyak perempuan gemuk menari dan menggoyangkan tubuh mereka dengan bebas tanpa takut dihakimi.”
Pergeseran fokus ini lantas bangkitkan kembali The Curve Cult – dan juga Rani.
“Saya tidak merasa selelah dulu lagi, meski beban kerja meningkat karena saya menjalankan lebih banyak program selain mengurusi toko busana saya,” ujarnya.
“Bahkan jika Anda tidak mencintai tubuh Anda, setidaknya berikan ruang yang layak untuknya. Saya bukan bilang ‘ayo gemuk terus!’, tapi pedulilah pada teman-teman dan orang-orang gemuk di sekitar Anda – terutama jika Anda sendiri bertubuh gemuk.”
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.