Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Lifestyle

Budaya seksisme di rumah menjadi bibit ketidaksetaraan. Bagaimana perempuan menyikapinya?

Perempuan harus selalu membantu urusan dapur, bersikap lemah lembut, dan pantang membicarakan menstruasi. Pemahaman yang kerap ditanamkan sedari kecil ini merupakan bentuk seksisme, dan menjadi awal mula sulitnya perempuan meraih kesetaraan. 

Budaya seksisme di rumah menjadi bibit ketidaksetaraan. Bagaimana perempuan menyikapinya?
Pernahkah diarahkan untuk membantu di dapur meskipun kamu tidak tertarik memasak? Itu merupakan bentuk budaya seksisme di rumah. (Photo: iStock/golero)

Saya teringat sebuah cerita dari kolega saya. Ketika bertandang ke rumah sanak saudara, ia kerap kali diarahkan untuk langsung menuju dapur dan bergabung dengan sejumlah anggota perempuan lain di keluarga tersebut. Hal ini tidak lain tidak bukan adalah karena ia perempuan, dan tugasnya adalah untuk membantu urusan dapur. 

Lain lagi cerita teman saya, seorang perempuan yang masih melajang. Ia curhat bahwa ketika berkunjung ke rumah saudara, hal yang paling sering dibicarakan adalah bahwa wajahnya polos, minim riasan. "Bagaimana ingin mendapat pasangan?," tanya para kerabatnya. 

Tidak hanya sampai di situ. Sahabat saya yang lain juga bercerita bahwa dia dibesarkan di keluarga yang tidak pernah mengucapkan kata "haid" atau "menstruasi", dan hanya menggunakan sinonimnya seperti "datang bulan" atau "kedatangan tamu bulanan". 

Oleh sebab itu, di keluarganya, pembalut merupakan barang langka yang dapat terlihat di depan umum. Anggota keluarga perempuan pun harus selalu mencuci celana dalam mereka dengan tangan, sementara para lelaki dengan mudah memasukkannya dalam mesin cuci bersama dengan pakaian lain. 

Berbagai bentuk budaya seksisme itu diajarkan sedari kecil kepada para perempuan oleh para orang tua. Tidak heran, kondisi seperti ini terus tertanam di kalangan perempuan dan dianggap hal yang normal. 
 

Mengutip Britannica, seksisme merupakan bentuk diskriminasi yang berdasarkan pada jenis kelamin atau gender seseorang. Budaya seksisme membentuk suatu keyakinan bahwa satu jenis kelamin atau gender lebih unggul daripada jenis kelamin atau gender lainnya.

Seksisme dapat memengaruhi siapa saja, tetapi terutama memengaruhi perempuan dan anak perempuan. Budaya seksisme dapat mempengaruhi harga diri, jenjang karier, hubungan, dan kesehatan mental perempuan. 

"Seringkali, hal ini terjadi tanpa disadari karena budaya dan pengalaman kita sebagai masyarakat Asia yang mengusung nilai tradisional," ujar Thivya Lakshmi, psikolog klinis di The Center for Psychology.

Namun, para perempuan yang mengalaminya mungkin merasa sulit untuk mendiskusikan seksisme dalam konteks keluarga. 

"Dibutuhkan keberanian untuk membicarakan topik ini dengan anggota keluarga yang sudah lanjut usia karena hal ini mungkin dianggap menentang keyakinan mereka, atau dicap sebagai pemberontak," ujar Abigail Yang, psikoterapis dan konselor di Talk Your Heart Out.

Budaya seksisme membentuk suatu keyakinan bahwa satu jenis kelamin atau gender lebih unggul daripada jenis kelamin atau gender lainnya. (Photo: iStock/years)

DIMULAI DARI RUMAH

Pemahaman soal pembagian peran berdasarkan gender di rumah biasanya dimulai dari pembagian pekerjaan rumah. Anak-anak perempuan selalu diberikan tugas domestik seperti memasak dan bersih-bersih. Sementara, anak laki-laki biasanya diminta mengerjakan hal tugas di luar rumah, termasuk mencuci mobil.

"Di banyak budaya Asia, perempuan selalu diajarkan mereka harus bisa melakukan tugas domestik, seperti memasak dan bersih-bersih, karena akan suatu saat harus menikah dan pindah ke keluarga lain," kata Lakshmi. 

Selain itu, standar berbeda diterapkan untuk anak perempuan dan laki-laki. Anak perempuan selalu diminta bersikap sopan, sementara anak laki-laki kerap dimaafkan jika bersikap kasar dan membuat kegaduhan, tambahnya.

"Contoh lainnya adalah bahwa para orang tua kerap memuji anak perempuan atas penampilan fisik mereka, memperkuat gagasan bahwa nilai utama perempuan terletak pada penampilan, alih-alih pada kecerdasan atau potensi diri," kata Sophia Goh, konselor utama di Sofia Wellness Clinic.

"Di sisi lain, remaja perempuan kerap kali mendapat komentar yang tidak menyenangkan soal penampilan, berat badan, atau kebiasaan makan. Hal ini dapat membuat mereka membenci bentuk tubuh yang tidak ideal," ujarnya.

DAMPAK BUDAYA SEKSISME 

Seiring berjalannya waktu, banyak perempuan yang menginternalisasi peran dan keyakinan gender yang mereka dapatkan sedari kecil, kata Goh. 

"Hal ini menyebabkan para perempuan kerap merasa rendah diri dan sulit mengekspresikan pendapatnya. Sikap seperti ini dapat membatasi aspirasi karier dan rasa pemberdayaan secara keseluruhan," ujarnya.

Ketika nilai-nilai tersebut terinternalisasi, sementara semakin banyak perempuan yang memilih berkarier di luar rumah, mau tidak mau para perempuan merasakan mentalitas beban ganda: mereka harus dapat berprestasi cemerlang secara di ranah profesional namun tetap harus mampu mengerjakan tugas-tugas domestik secara baik.. 

"Perempuan terus-menerus merasakan tekanan untuk memenuhi tuntutan kedua peran tersebut dengan sempurna," tambah Goh.

Hal ini terlihat dari para pasien perempuan yang berkonsultasi psikologi dengan Lakshmi.

"Sering kali, perempuan mengeluh mereka seperti tidak terlihat dan tidak terdengar, padahal telah melakukan segalanya dengan baik, berkarier dan di dalam rumah. Mereka merasa tidak mendapatkan pengakuan yang setara oleh para pria, terutama di rumah", ujarnya. 

Sementara, Goh menilai bahwa budaya seksisme bagaikan pedang bermata dua yang tidak hanya dapat membatasi potensi perempuan, namun juga laki-laki. 

"Ekspektasi masyarakat terhadap maskulinitas dapat membatasi pria untuk mengekspresikan emosi secara terbuka atau terlibat dalam pengasuhan anak, terutama saat mereka bertransisi menjadi suami dan ayah," jelas Goh.

Berusahalah untuk memahami persepsi mereka yang lebih tua, merefleksikan pandangan kita dan berbagi pendapat. (Photo: iStock/ChayTee)

BAGAIMANA MEMBICARAKAN SEKSISME DI RUMAH

Untuk memulai membicarakan budaya seksisme dan bagaimana menyikapinya, penting untuk diingat bahwa para orang tua dan kerabat kita biasanya tidak bermaksud jahat.

"Mereka bahkan mungkin tidak menyadari bahwa mereka melanggengkan norma-norma gender yang sudah usang karena ini menjadi ekspektasi dan stereotip yang mereka hadapi saat beranjak dewasa," ujar Goh. 

"Oleh karena itu, akan sangat membantu jika kita memfokuskan percakapan dengan tujuan untuk memberi informasi kepada para orang tua kita, ketimbang melontarkan tuduhan-tuduhan emosional."

Salah satu pendekatan yang baik adalah memulai dengan mendengarkan. Berusahalah untuk memahami persepsi mereka yang lebih tua, merefleksikan pandangan kita dan berbagi pendapat.

Ia menambahkan: "Sebagai contoh, kepada anggota keluarga yang sudah lansia dan berpendapat bahwa perempuan harus tinggal di rumah untuk mengurus rumah tangga, kita bisa memulainya dengan menyatakan, 'Aku paham dulu Bapak/Ibu harus mengikuti aturan ini, tapi rasanya sekarang semakin sulit jika aku tidak membantu menambah penghasilan keluarga'." 

Cara lain yang tidak konfrontatif untuk mendiskusikan peran gender yang adil adalah dengan berbagi cerita tentang perempuan yang mereka anggap sukses, serta aspirasi pribadi mereka, saran Lakshmi.

"Hal ini akan mendorong para anggota keluarga melihat lebih jauh potensi perempuan dan menghargai bagaimana perempuan memiliki keterampilan dan kemampuan di luar rumah," jelasnya.

Sementara menurut Yang, budaya seksisme memang topik yang sangat sulit dibicarakan bagi banyak perempuan dan laki-laki muda. Meskipun demikian, memulai percakapan terkait hal ini tetaplah penting.

"Percakapan semacam ini membantu menyebarkan pesan. Bahkan jika [anggota keluarga] tidak setuju dengan hal itu, mereka akan menjadi sadar."

Yang menambahkan bahwa tujuan dari memulai percakapan tentang peran gender di dalam rumah bukan untuk memulai pertikaian atau menyakiti orang yang kita cintai, tetapi untuk memperluas pemahaman kita tentang apa yang dapat dilakukan oleh para perempuan dan laki-laki. 

Source: CNA/ps(ih)

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan