Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Lifestyle

Bersepeda 1.630km dari Singapura, Irene Tan kunjungi tanah kelahiran kakeknya di Pulau Sumatra

Padukan hobi bersepeda dengan keinginan untuk kunjungi negeri kelahiran kakeknya di Indonesia, Irene Tan bersepeda seorang diri dari Singapura ke Sabang tahun lalu. 

Bersepeda 1.630km dari Singapura, Irene Tan kunjungi tanah kelahiran kakeknya di Pulau Sumatra

Irene Tan (kanan) bersama penduduk setempat yang ia temui selama perjalanan bersepeda solonya di Indonesia. (Foto: Irene Tan)

Irene Tan adalah seorang pendidik anak usia dini yang cinta bersepeda dan sejarah. Tahun lalu, perempuan berusia 50 tahun ini menggabungkan dua hal tersebut: Ia bersepeda sendirian dari Singapura dengan misi menelusuri akar leluhur dan mengunjungi tempat kelahiran kakeknya di Riau, lalu lanjut hingga Sabang di penghujung barat Pulau Sumatra. Kepada Izza Haziqah dari CNA Women dia mengisahkan perjalanannya tersebut.

SINGAPURA: Sepuluh tahun lalu, saya tidak bugar dan tidak berjiwa petualang. Kala itu umur saya 40 tahun, dan saya mencoba berbagai cara agar bisa sehat dan aktif, tetapi tidak pernah betah – sampai saya menemukan bersepeda.

Berawal dari mengikuti trip bersepeda santai di Taiwan pada 2014, yang membuat saya merasa begitu bebas dan bergairah. Saya jatuh cinta dengan olahraga ini.

Tak lama, saya pun bergabung dengan klub bersepeda lokal dan berkawan dengan para penggemar lain. Mereka berbagi tips pemilihan rute-rute bersepeda terbaik di Singapura dan apa yang harus dilakukan dalam keadaan darurat saat sendirian di jalan.

Meski makin mantap bersepeda, saya tetap merasa bukan petualang dan cuma “main aman”. Saya lebih suka rute yang saya akrabi, dan kalaupun melenceng dari jalur biasa atau bersepeda sampai ke luar negeri, saya lakukan berkelompok dengan kawan-kawan pesepeda lain atau ke tempat-tempat yang bisa saya pahami bahasanya.

Pada tahun 2023, memasuki usia 49 tahun, saya merasa haus akan petualangan.

BERTUALANG MENZIARAHI NEGERI ASAL-USUL

Kakek buyut Irene (kiri) pindah dari China ke Bagansiapiapi. Di sana ia membangun keluarga hingga lahirlah kakek Irene (kanan). (Foto: Irene Tan)

Mendiang kakek dari pihak ayah lahir di Bagansiapiapi, Riau di pesisir timur Pulau Sumatra. Saat saya tumbuh besar, saya sering mendengar beraneka ragam cerita tentang masa kecilnya sebelum ia pindah ke Singapura seputar Perang Dunia II.

Potongan-potongan cerita yang saya dengar begitu memukau, saya lantas membaca apa pun yang bisa saya temukan di internet tentang keluarga-keluarga Tionghoa yang tinggal di Sumatra pada awal 1900-an.

Saya juga bertanya kepada keluarga besar tentang seperti apa keluarga kami di Indonesia, dan saya menemukan berbagai hal menarik.

Kedua buyut saya berasal dari China dan menetap di Indonesia. Mereka fasih berbahasa Indonesia maupun dialek Hokkien. Penghasilan utama mereka bersumber dari perkebunan karet yang mereka miliki, selain dari hasil laut.

Semua cerita itu membuat saya ingin mengunjungi daerah tersebut, tetapi saya tidak pernah benar-benar melakukannya sampai suatu hari terpikir oleh saya: Bagaimana kalau saya bersepeda sendiri dari Singapura ke Sumatra untuk mengunjungi tanah kelahiran kakek saya?

Gagasan ini terus berkembang dalam benak, dan saya makin bersemangat tiap kali memikirkannya.

Saya tahu saya harus mewujudkannya. Dan saya memutuskan untuk tidak tanggung-tanggung: Mumpung saya nantinya berada di Sumatra, kenapa tidak sekalian melintasi daratan dan menuju ujung paling utara Indonesia sampai Pulau Sabang di Aceh?

Ketika saya memberitahu teman-teman tentang rencana untuk bersepeda sendiri dari Singapura ke Aceh, sesuai dugaan, mereka khawatir.

Mereka bilang: "Kenapa tidak di Malaysia saja? Kamu tidak bisa berbahasa Indonesia, kalau tersesat bagaimana? Memangnya kamu tahu di Sumatra ada apa? Kamu itu perempuan Asia berbadan kecil, bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu?"

Saya paham kekhawatiran mereka, namun saya terus merasa bahwa ini petualangan penting yang harus saya jalani. Dari semua orang yang saya kenal, belum pernah ada yang melakukannya, tetapi saya ingin mencoba.

BERSIAP MENGAYUH SEPEDA HINGGA ACEH

Irene menggunakan Google Maps untuk merencanakan rute dari Singapura ke Bagansiapiapi dan seterusnya. (Tangkapan layar: Google Maps)

Karena ini perjalanan solo pertama saya di Indonesia, saya memastikan semua terencana dengan baik. Saya ambil cuti sebulan dari pekerjaan, dari September sampai Oktober 2023, jadi saya punya waktu tiga pekan untuk trip bersepeda satu arah dari Singapura ke Aceh. Rencana saya, pulangnya terbang dari Aceh via Kuala Lumpur, Malaysia.

Saya pelajari lagi bahasa Melayu dan bahasa Indonesia dasar yang saya kuasai dan saya petakan beberapa rute alternatif di Google Maps – aplikasi yang sangat membantu – sebagai Rencana A, B, dan C.

Perjalanan bersepeda dibagi menjadi lima tahap utama:

1. Singapura ke Melaka, Malaysia (250km), lalu naik feri dari Dermaga Parameswara ke Dumai, Sumatra, Indonesia (120km)

2. Dumai ke Bagansiapiapi (120km)

3. Bagansiapiapi ke Danau Toba, danau luas yang mengelilingi gunung berapi aktif yang tengah dorman (530km)

4. Danau Toba ke Medan, ibu kota Sumatra Utara (120km)

5. Medan ke Aceh (450km), kemudian naik feri ke Pulau Sabang, dan lanjut bersepeda ke ujung utara Indonesia (40km)

Keseluruhan perjalanan saya menempuh lebih dari 1.600km. Saya menargetkan bersepeda sekitar 100–140km, yakni sekitar empat hingga enam jam, per hari.

Harus ada ruang untuk fleksibilitas. Saya memperhitungkan kemungkinan kerusakan sepeda, kecelakaan, hingga kemungkinan saya merasa terlalu lelah pada hari tertentu.

Jadi, meski saya memesan sebagian besar akomodasi di awal, saya juga mencatat beberapa hostel dan akomodasi potensial yang akan menerima penginapan mendadak, kalau-kalau saya butuh istirahat.

Saya juga berkemas ringan. Satu tas untuk pakaian dan satu lagi untuk vitamin, alat-alat sepeda, botol minum, dan sedikit ruang ekstra untuk oleh-oleh.

Menyadari bahwa saya akan melewati banyak kampung dan kawasan yang sinyalnya lemah atau tanpa WiFi, saya juga membeli kartu SIM lokal dan menandai toko-toko kecil di sepanjang jalan agar bisa beli pulsa untuk panggilan internasional.

CARI JATI DIRI LEWAT PETUALANGAN BERSEPEDA

Perjalanannya sendiri sangat mendebarkan. Sepanjang tahap pertama, yakni dari Singapura ke Indonesia, saya hampir tidak pernah merasa lelah karena didorong oleh semangat yang luar biasa.

Sesampainya di Bagansiapiapi, saya tidak ragu untuk bertanya kepada penduduk setempat tentang sejarah kota terkait komunitas besar Tionghoa di sana. Berkeliling pun tidak terlalu sulit karena sebagian besar penduduknya orang Tionghoa, dan Hokkien jamak digunakan.

Ketika Tan tiba di Bagansiapiapi, ia merasakan gelombang rasa syukur kepada leluhurnya. (Foto: Irene Tan)

Saya jadi tahu bahwa Bagansiapiapi awalnya dihuni terutama oleh para imigran Tionghoa yang datang ke Indonesia pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.

Sayangnya, saya tidak berhasil menemukan atau mengidentifikasi nama kakek buyut saya. Akan tetapi, saya sangat gembira melihat satu jalan yang diberi nama sesuai dengan nama keluarga Tionghoa yang juga bermarga Tan. Saya mengetahui bahwa mereka juga memiliki perkebunan karet.

Penduduk setempat ingat ada satu keluarga Tionghoa yang pernah tinggal di Bagansiapiapi pada tahun 1920-an hingga 1940-an, lantas bermigrasi ke bagian lain Asia Tenggara.

Mereka tidak ingat namanya dan saya tidak menemukan dokumen tertulis apa pun, jadi saya tidak yakin 100 persen kalau itu memang kakek saya. Meski begitu, kemungkinan itu membuat saya merasa bersemangat dan puas.

Mengutipi semua kepingan kecil sejarah diri mengingatkan saya akan pengorbanan dan kerja keras leluhur dari pihak ayah demi kehidupan yang lebih baik bagi keturunan mereka.

Di jalan, Irene (kanan) menjalin persahabatan dengan Midah (kedua dari kiri) beserta keluarganya. (Foto: Irene Tan)

Meninggalkan Bagansiapiapi, perjalanan ini memungkinkan saya menjalin pertemanan yang tak disangka-sangka.

Saya tersesat saat bersepeda ke Danau Toba. Saya hampir masuk hutan karena di peta ada semacam jalan pintas kecil menuju Danau Toba. Namun sebelum saya masuk hutan, satu keluarga beranggotakan tiga orang – perempuan bernama Midah, suaminya, dan anaknya – melewati saya naik skuter dan menyetop saya.

Syukurlah mereka melakukan itu, karena entah apa yang mungkin terjadi pada saya di hutan tersebut.

Midah dan keluarganya dengan ramah mengajak saya ke rumah mereka untuk bermalam. Saya ikut makan malam dan sarapan dengan keluarganya, mencuci pakaian, mengisi kembali persediaan makanan dan minuman, dan menyesuaikan sepeda saya seperlunya.

Saya akan selalu berterima kasih kepada mereka karena telah menjaga saya ketika tersesat. Kami tidak selalu paham bahasa satu sama lain, tetapi kami berbagi kehangatan yang tidak akan pernah saya lupakan.

Esoknya, keluarga itu bahkan menemani saya dengan skuter mereka sejauh 15km sembari saya bersepeda. Mereka tidak pergi sampai mereka yakin saya paham arah ke Danau Toba, meskipun ada hambatan bahasa. Kami berpelukan dan bertukar nomor telepon. Saya sesekali masih kirim pesan kepada Midah lewat WhatsApp.

Sepeda Irene berlatar pemandangan Danau Toba. (Foto: Irene Tan)

Perjalanan bersepeda saya bukannya tanpa tantangan. Tidak ada kecelakaan atau kerusakan besar, tetapi saya beberapa kali dilecehkan secara verbal dan fisik oleh sejumlah laki-laki.

Pada insiden-insiden tersebut, saya terlalu kaget untuk bisa bereaksi, karena terjadi saat saya bersepeda dan pelakunya cepat-cepat kabur. Saya sampai harus berhenti di pinggir jalan untuk menenangkan diri.

Dalam perjalanan menuju Danau Toba, satu sepeda motor melambat di samping saya saat saya bersepeda dan salah satu pria di motor itu memegang paha saya. Insiden lain terjadi di Pulau Sabang: sekelompok pria bersiul-siul dan memanggil-manggil saya saat saya bersepeda.

Syukurlah ada beberapa pria setempat lain yang membantu memastikan saya baik-baik saja.

Contohnya, setelah saya berhenti di pinggir jalan untuk mencerna insiden pertama, satu pengemudi yang menyaksikan kejadiannya lantas berhenti dan bertanya apakah saya baik-baik saja. Dia bahkan memberi saya sebotol air yang membuat saya merasa lebih tenang.

Irene Tan sampai di Tugu 0 Kilometer, ujung utara Indonesia, setelah perjalanan bersepeda solo selama tiga pekan. (Foto: Irene Tan)

Ketika saya akhirnya mencapai Tugu 0 Kilometer, ujung utara Indonesia di Pulau Sabang, saya nyaris tidak percaya. Saya terus berpikir, 'Wow, saya berhasil menyelesaikannya!'. Itu pengalaman yang tidak terlupakan dan di akhir perjalanan sejauh 1.630km, kaki saya rasanya seperti mau copot.

Setelah beberapa hari menjelajahi Aceh, saya terbang kembali ke Singapura dari Aceh via Kuala Lumpur – mencatat semua pengalaman unik saya di ponsel dan bersyukur bahwa saya bisa menyaksikan negeri asal kakek saya.

Seandainya saya bisa bilang kepada diri saya yang lebih muda, nanti di usia 49 tahun dia akan jadi pesepeda bugar yang bersepeda sendirian dari Singapura ke Indonesia, mendedikasikan petualangan ziarah untuk kakeknya, saya yakin dia akan menertawakan saya – tetapi saya sudah melakukannya.

Sungguh petualangan yang luar biasa dan saya sangat bangga pada diri sendiri karena berhasil mewujudkannya.

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini. 

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan