Bangkitnya para 'connoisseur nasi': Berburu nasi lezat dari varietas padi kuno yang hampir punah
- Ribuan varietas padi lokal di Indonesia hilang total dan ratusan lainnya terancam punah, sebagian besar karena gerakan "revolusi hijau" pada tahun 1970-an dan 1980-an
- Beberapa varietas padi ini dapat menjadi kunci untuk memitigasi dampak perubahan iklim dan mencegah krisis pangan
JAKARTA: Ketika seorang teman memintanya memberi bantuan hukum secara pro-bono terhadap komunitas petani di beberapa desa di Indonesia, pengacara Helianti Hilman – yang memang hobi jalan-jalan – langsung mengiyakan tanpa pikir panjang.
Selama tiga bulan pada 2006, Helianti mengunjungi satu per satu desa di pelosok, memberikan konsultasi gratis kepada para petani dengan berbagai masalah hukum dan sengketa bisnis.
Pengalaman tersebut telah membuka mata Helianti, 52, akan penderitaan dan kesulitan warga desa yang minim akses terhadap bantuan hukum. Tapi pertemuannya dengan Mbah Suko, seorang petani tua di Jawa Tengah, yang justru telah mengubah hidupnya.
Halaman depan dan belakang rumah petani yang telah berpulang itu ditanami padi dengan varietas yang sebelumnya tidak pernah diketahui oleh Helianti.
Salah satu varietas padi itu memiliki serat yang menjulur keluar dari sekamnya, ujar Helianti. Sementara varietas lainnya, saking tangguhnya sehingga hanya membutuhkan sedikit sekali pengairan. Dia juga menemukan bahwa salah satu varietas memiliki tekstur yang kasar, padi lainnya bertekstur lembut dan mengeluarkan aroma sedap jika dimasak dengan tepat.
"Sebagai orang yang hobi memasak, saya seperti anak kecil di toko permen," kata dia kepada CNA, menceritakan pengalamannya mendapati puluhan varietas padi yang telah dilupakan dan tidak lagi dilestarikan oleh kebanyakan generasi tua Indonesia.
Dari situ dimulailah obsesinya yang tak pernah terpuaskan dalam berburu varietas-varietas padi yang telah lama hilang di seluruh Indonesia dan memperkenalkannya kepada masyarakat.
Dua tahun setelah bertemu dengan Mbah Suko, Helianti akhirnya memutuskan meninggalkan dunia pengacara dan mendirikan Javara Indonesia, perusahaan yang khusus menjual produk makanan warisan Indonesia yang langka ke pasar domestik dan internasional.
BERBAGAI VARIETAS PADI DI AMBANG KEPUNAHAN
Para peneliti meyakini bahwa ribuan varietas padi asli Indonesia telah hilang total, sementara ratusan lainnya di ambang kepunahan.
Di antara yang kian langka adalah beras hitam cempo ireng dan beras berusia ratusan tahun, beras merah putih, yang memiliki bulir khas berwarna setengah-merah-setengah putih.
Beberapa varietas padi hilang karena bencana alam, ada juga yang tidak ditanam lagi oleh petani hanya karena rasanya kurang enak.
Tapi penyebab terbesar dari hilangnya padi-padi tersebut adalah "revolusi hijau", sebuah gerakan global yang kontroversial dan masuk ke Indonesia pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Selama periode tersebut, para petani di negara ini diperintahkan menanam padi yang memiliki tingkat panen tinggi. Tetapi varietas padi yang dikembangkan dengan teknologi modern tersebut sangat bergantung pada pupuk dan pestisida.
"Revolusi hijau berdampak langsung terhadap hilangnya ribuan varietas padi Indonesia," kata Dwi Andreas Santosa, profesor bioteknologi dari Institut Pertanian Bogor, kepada CNA.
Sejak saat itulah varietas padi lokal mulai hilang dari persawahan, warung dan pasar di seluruh Indonesia. Seiring waktu, masyarakat juga mulai melupakannya.
Di antara varietas padi lokal yang terlupakan ini, kata Prof Andreas, terdapat beberapa jenis yang tahan cuaca ekstrem dan bisa tumbuh di lingkungan yang tidak memadai.
Varietas-varietas seperti ini bisa menjadi kunci dalam upaya memitigasi dampak perubahan iklim dan mencegah krisis pangan global.
Namun masih ada harapan.
Pandemi COVID-19 memunculkan tren baru: Masyarakat Indonesia semakin banyak yang melek akan apa yang mereka makan dan bagaimana makanan itu ditanam dan diproduksi.
Orang-orang seperti Helianti dan Prof Andreas berharap fenomena ini bisa menjadi momentum untuk menyelamatkan berbagai varietas padi yang terancam punah.
Berdasarkan penelitian tahun 2022 oleh Alvara Research, 41,4 persen konsumen mengaku kini lebih memperhatikan apa yang mereka makan dibandingkan dengan masa sebelum pandemi.
Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, masyarakat Indonesia mengonsumsi 35 juta ton beras pada tahun lalu, 429.000 ton di antaranya adalah hasil impor.
Beras yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia dengan pangsa pasar 30 persen adalah jenis IR64, atau yang dikenal dengan merek Setra Ramos. Beras dari varietas padi unggul ini dikembangkan oleh International Rice Research Institute pada 1986.
KEBERAGAMAN DI SATU PETAK SAWAH
Selama ribuan tahun, manusia telah mengawinsilangkan berbagai tanaman dan hewan untuk mendapatkan kualitas pertanian dan peternakan yang mereka inginkan.
Hibridisasi juga terjadi secara alamiah ketika salah satu varietas melakukan proses penyerbukan atau kawin silang dengan varietas lainnya.
Prof Andreas mengatakan, adalah praktik biasa bagi para petani di masa lampau untuk menanam beberapa varietas padi dalam satu petak sawah.
"Satu komunitas petani bisa memiliki sekitar 40 varietas padi yang berbeda," kata dia.
Praktik menanam beragam varietas ini membantu mencegah penyakit tanaman dan penyebaran hama dari satu petak ke petak sawah lainnya.
Namun yang terpenting bagi peneliti seperti prof Andreas, praktik ini telah melestarikan keanekaragaman genetik tanaman. Tapi revolusi hijau membuat praktik seperti ini tamat.
"Semua orang dipaksa menanam benih padi yang disediakan pemerintah," kata profesor berusia 60 tahun ini.
Indonesia ketika itu dipimpin oleh presiden Suharto yang bertangan besi, petani yang menolak menanam varietas lokal dianggap menghalangi program swasembada pangan.
"Petani tidak punya pilihan lain selain meninggalkan varietas lama mereka. Ketika benih dengan varietas tertentu tidak ditanam selama lebih dari dua atau tiga tahun, maka tidak akan bisa tumbuh lagi dan varietas ini akan punah," kata dia.
Baca:
Saat ini, varietas lokal tersebut hanya tersedia di segelintir komunitas perdesaan dan pada warga yang membangkang perintah dengan menanam secara diam-diam. Profesor Andreas bertekad menemukan semua varietas tersebut.
Di Kalimantan, Prof Andreas menemukan varietas padi yang bisa tumbuh di tanah rawa. Sementara di ujung utara Sumatra, ada padi yang tahan terhadap air laut dan bisa tumbuh di daerah pesisir.
"Varietas lokal telah melalui ratusan tahun seleksi alam untuk bisa bertahan dari berbagai macam kondisi dan lingkungan," kata Prof Andreas.
Varietas-varietas ini kemungkinan memiliki susunan genetik yang cocok untuk bisa bertahan dari dampak perubahan iklim, termasuk pengikisan garis pantai dan suhu serta cuaca ekstrem.
Itulah alasan mengapa Prof Andreas saat ini memiliki koleksi 600 varietas padi untuk diteliti dan diuji coba di Indonesian Centre for Biodiversity and Biotechnology (ICBB) yang dia dirikan dan kelola.
Pada 2019, ICBB memperkenalkan varietas padi mereka sendiri, yaitu IF-16. Prof Andreas mengatakan, varietas ini adalah hasil persilangan dari berbagai jenis varietas padi warisan masa lampau.
Uji coba yang melibatkan beberapa petani memang masih dilakukan, tapi hasilnya sudah menunjukkan bahwa IF-16 ini terbukti kuat menghadapi hama dengan hasil panen yang lebih banyak dibanding varietas lainnya di pasaran.
"Tujuan kami adalah menghasilkan padi yang tangguh seperti varietas-varietas padi kuno, tapi dengan kualitas panen yang tinggi seperti padi modern," kata dia.
MEMBANGKITKAN VARIETAS YANG TERLUPAKAN
Selama lebih dari sedekade, Helianti telah membujuk para petani untuk menanam kembali varietas padi yang terlupakan.
Di saat bersamaan, dia sibuk menghadiri pameran dagang, menjadi pembicara di berbagai seminar dan mengadakan kelas-kelas memasak untuk meningkatkan minat publik terhadap varietas padi lokal ini.
"Jika permintaannya ada, maka produksinya akan berkelanjutan. Tanpa adanya pasar, tidak akan ada insentif untuk orang-orang yang menanamnya," kata dia.
Tapi walau Helianti telah berusaha keras, peminatnya hanya beberapa warga lansia lokal yang rindu akan cita rasa beras dari masa kecil atau ekspatriat yang penasaran mencicipi kelezatan kuliner asli Indonesia.
Malah, pasar Eropa yang lebih berminat dengan varietas padi jenis ini.
"Di Eropa, ada permintaan yang besar untuk pangan organik yang ditanam oleh petani artisan dengan dampak ekologi dan sosial yang besar," kata Helianti. "Tapi di dalam negeri, penghargaan terhadap warisan sendiri belum ada."
Baca:
Chef selebriti, Bara Pattiradjawane, mengaku telah menjadi semacam "connoisseur nasi” atau ahli pencicip nasi sejak Helianti memperkenalkannya kepada berbagai varietas padi lokal yang langka beberapa tahun lalu. Sejak saat itu, dia telah menggunakan beberapa jenis padi lawas itu ke dalam masakannya.
"Bagi kebanyakan orang, nasi tetaplah nasi. Tapi ketika Anda benar-benar mencicipinya, fokus pada tekstur, rasa dan aromanya, sangat-sangat berbeda," kata Bara kepada CNA.
Setiap varietas memiliki karakteristik yang berbeda, ucap koki berusia 59 tahun ini.
Beberapa varietas setelah dimasak memiliki tekstur yang keras dan bulirnya tidak menempel satu sama lain, cocok dinikmati dengan masakan berkuah. Sementara varietas lainnya lembek dan lengket, lebih pas untuk dijadikan lontong dan ketupat.
Ada juga varietas yang memang sudah enak dengan sendirinya, seperti menthik wangi, beras favorit chef Bara.
"Tekstur, rasa dan aromanya hampir sempurna. Tidak perlu dimasak macam-macam. Diproses secara berlebihan hanya akan merusak rasanya yang sempurna. Menthik wangi, saya bisa menikmatinya hanya dengan satu lauk sederhana yang rasanya tidak terlalu kuat," kata dia.
Bara mengatakan dia telah mencoba mengedukasi masyarakat mengenai varietas-varietas padi lokal ini.
"Yang bisa saya lakukan hanya memberi edukasi. Jika teman datang ke rumah, saya akan menyajikan menthik wangi dan menjadikannya bahan pembicaraan saat makan malam dengan harapan mereka juga akan tertarik. Saya berharap ada efek domino. Kemudian mereka akan membagikan pengetahuan itu ke kawan mereka."
Hal yang sama dilakukannya terhadap para chef muda dan calon chef, serta para instruktur memasak.
"Sebagai chef, sudah tugas kami untuk memperkenalkan kembali kepada masyarakat warisan kuliner dan bahan makanan kita yang beragam," kata dia.
PERUBAHAN SIKAP
Upaya mengedukasi masyarakat Indonesia tentang varietas padi yang terlupakan mulai membuahkan hasil.
Helianti mengatakan bahwa sampai tahun 2018, 80 persen penjualannya datang dari pasar internasional. Tapi saat ini, angka itu menurun menjadi 35 persen dan sisanya terjual di dalam negeri.
"Dalam lima tahun terakhir, semakin banyak orang Indonesia yang sadar akan apa yang mereka makan. Mereka ingin tahu apa yang mereka makan, dari mana asalnya dan bagaimana cara penanamannya," imbuh dia.
Pandemi COVID-19 juga memberikan dampak pada tren ini, semakin mendorong orang untuk membuat pilihan yang lebih sehat dalam hal makanan.
"Kami tidak hanya melestarikan varietas padi lokal, tapi juga pengetahuan dan teknik bertani tradisional," kata dia, sambil menambahkan bahwa selama ratusan tahun padi-padi ini bisa bertahan tanpa penggunaan pupuk dan pestisida.
Wahyuning Anggrias, 30, kepada CNA mengaku mengenal Javara ketika mencari beras rendah gula untuk ibunya yang menderita diabetes.
"Saya membeli beras merah andel abang, lalu saya mencari tahu tentang sejarah beras itu dan bagaimana beras itu pertama kali populer di Jawa pada abad ke-14. Lalu saya beli beras jenis lainnya, dan juga mempelajari kisah di baliknya," kata Wahyuning.
"Sekarang saya hanya memasak besar jenis ini di rumah. Selain menyehatkan, tapi juga karena ada sejarah di baliknya."
Beberapa varietas padi juga kaya akan mineral dengan berbagai gizi yang berkhasiat, sementara yang lainnya rendah kalori dan kandungan gula.
Setiap tahunnya, Javara milik Helianti menjual sekitar 80 ton beras dari 48 varietas.
Angka itu ibarat setetes air di lautan jika dibandingkan 35 juta ton produksi besar nasional di Indonesia, tapi pangsa pasar Javara sudah cukup besar untuk meyakinkan petani agar tetap menanam padi warisan ini.
"Seluruh dunia sibuk dengan makanan hasil rekayasa genetika yang menurut para ilmuwan dapat bertahan dari perubahan iklim, kondisi cuaca ekstrem, ini dan itu. Mereka mengklaim bahwa makanan tersebut memiliki nilai gizi yang lebih tinggi, padahal sebenarnya ditambahkan secara artifisial. Kita tidak butuh itu semua," katanya.
"Apapun tantangan global untuk menerapkan pola makan yang sehat, apapun krisis iklim yang tengah kita hadapi, jawabannya ada pada pangan kita yang beraneka ragam. Kita hanya perlu melestarikannya."