Bagaimana mengatur 1.500 karyawan yang hampir semuanya gamer? Kepala HRD Razer ini mengungkapkan rahasianya
April Wan, kepala human resource development (HRD) Razer, berbicara soal bagaimana membangun budaya kerja dan keberagaman di salah satu perusahaan paling terkenal bagi gamer itu.
SINGAPURA: Gamer atau bukan, kamu pasti sudah pernah mendengar merek Razer. Perusahaan yang dijalankan oleh CEO asal Singapura Tan Min-Liang ini memiliki pengikut yang fanatik di kalangan gamer. Beberapa dari mereka bahkan sampai rela menato tubuhnya dengan logo Razer - ular berkepala tiga - saking kagumnya.
Razer membuka reputasinya sebagai perusahaan pembuat piranti keras gaming ternama dengan meluncurkan mouse gaming pertama di dunia pada 1999 yang terkenal karena sensornya yang sangat presisi. Produk terkenal lain yang mereka rilis adalah keyboard dengan latar lampu dan tombol yang bisa dikustomisasi, headset, laptop, kursi dan pakaian, bahkan piranti lunak game.
Perusahaan ini memiliki 1.500 pegawai yang kebanyakan adalah gamer, bekerja di 19 kantor yang tersebar di seluruh dunia. Ciri khas kantornya adalah bercat hitam dengan ornamen garis hijau neon menyala. Pemimpin urusan human resource development-nya (HRD) adalah April Wan, Wakil Presiden Global Razer urusan SDM dan Organisasi.
MEMBANGUN BUDAYA KERJA
Bagaimana caranya mengatur tenaga kerja yang kebanyakan adalah gamer? Untuk menjawab pertanyaan ini, CNA menemui April Wan di kantornya di jalan One-North Crescent, Singapura. Kesan pertama yang didapat adalah betapa santainya penampilan perempuan 48 tahun ini, hanya mengenakan kaus hitam, celana jeans dan sneaker.
Pada hari pertamanya bekerja di Razer pada lima tahun lalu, April mengatakan bahwa dia disambut oleh staf personalia yang bahkan pakaiannya lebih santai lagi, berkaus oblong, celana pendek dan sandal jepit.
"Ketiadaan aturan berpakaian mengejutkan saya. Saat itu saya terlalu rapi," kata Wan sambil terkekeh. "Tapi memang seperti inilah kami."
Waktu makan siang biasanya digunakan karyawan untuk berkumpul dan bermain game, seperti Mobile Legends: Bang Bang (MLBB), Pokemon Unite, atau game berkelompok lainnya.
AFK, singkatan dari "Away from Keyboard" atau tidak sedang di depan komputer, terjadi rutin di Jumat pekan terakhir setiap bulannya. Jam kerja di hari itu digunakan karyawan untuk bermain game atau menyaksikan para gamer bermain.
Wan juga memimpin timnya untuk mengadakan Razer Cup, sebuah turnamen gaming internal yang diikuti karyawan regional. Pertandingan ini biasanya diadakan setiap tahun dan disiarkan langsung kepada seluruh karyawan.
Salah satu peran terbesar Wan adalah mendorong keberlanjutan, dan membentuk budaya kerja yang mendukung keberagaman, kesetaraan, hubungan antarkaryawan dan kesejahteraan hidup mereka.
Di bawah kepemimpinannya, Razer Amerika Serikat dan Razer Singapura meraih sertifikasi "Great Place to Work" selama dua tahun berturut-turut pada 2021-2023. Sertifikasi global ini diberikan atas penilaian dari karyawan dan pengamat independen.
KEBERAGAMAN, INTI DARI INOVASI
Wan adalah pemimpin perempuan di perusahaan yang mayoritasnya adalah lelaki. Razer Singapura memiliki 65 persen karyawan lelaki dan 35 persen perempuan. Rasio gender secara global perusahaan ini adalah 62 persen lelaki dan 38 persen perempuan.
Selain itu Wan adalah generasi X, sebuah generasi yang biasanya jarang terpapar oleh budaya gaming. Dia sendiri mengaku bukanlah seorang gamer sejati, game yang dimainkannya juga yang gampang-gampang dan kekanakan, seperti Disney Frozen yang mirip dengan Candy Crush.
Namun Wan menekankan bahwa dunia gaming saat ini telah bergeser, bukan lagi budaya maskulin dan anak muda saja. karena itulah, kata dia, keberagaman SDM adalah kunci dari sebuah inovasi.
"Keberagaman adalah soal beragamnya pemikiran, dan keberagaman pemikiran itu datang dari latar belakang seseorang, budaya mereka, jenis kelamin dan dengan siapa mereka berinteraksi. Ini adalah kunci untuk menciptakan produk yang relevan dengan target pasar kami," kata dia.
Tugas pertama Wan ketika bergabung dengan Razer pada 2019 adalah mewujudkan transisi sistem informasi SDM perusahaan. Dengan sistem baru ini, perusahaan mampu mendigitalisasi dan menganalisa data dari 1.500 karyawan mereka di seluruh dunia.
Butuh waktu satu tahun bagi Wan dan timnya yang terdiri dari 50 orang untuk memasukkan data-data karyawan. Informasi di dalamnya memuat ras, gender, usia, riwayat pekerjaan, gaji dan yang lainnya. Dengan berbagai informasi ini, mereka bisa mengetahui sisi perusahaan mana yang keterampilannya lebih menonjol dan sisi mana yang masih kurang, sehingga perusahaan bisa menyikapinya untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas.
Hal ini juga membuat perusahaan bisa menerapkan perekrutan yang lebih inklusif dan program pelatihan yang anti-bias.
"Data adalah pondasi, terutama jika kita bicara soal transformasi digital. Dengan ini, kami mulai melihat area-area yang menyimpan peluang, termasuk dari sisi keberagaman dan inklusivitas," kata dia.
Dalam hal gender, beberapa departemen seperti urusan teknik dan pengembangan produk didominasi oleh lelaki. Sementara bidang keuangan, pemasaran dan SDM didominasi perempuan, kata Wan.
Wan punya tujuan, yakni mendorong para perekrut dan manajer untuk melakukan perekrutan yang inklusif di setiap departemen.
Inklusivitas ini tidak sekadar terbatas pada gender. "Secara umum, jika ada dua calon karyawan yang memiliki kemampuan yang sama, kami meminta para manajer untuk mempertimbangkan soal keberagaman, seperti gender, usia atau ras mereka," jelas Wan.
Data dari sistem ini juga membantu Wan dalam mengupayakan kesetaraan gaji di dalam perusahaan dengan membuat rentang upah untuk jabatan yang berbeda. Untuk penggajian, diperhitungkan juga kontribusi setiap individu melalui penilaian kinerja.
PERUBAHAN MENUJU INKLUSIVITAS
Wan sebagai pemimpin HRD di Razer menilai bahwa kebijakan perekrutan yang non-inklusif bukanlah alasan utama mengapa tidak banyak perempuan yang bekerja di bidang teknologi.
Menurut Wan, alasannya sederhana, mungkin karena hanya sedikit dari mereka yang tertarik memasuki dunia teknologi, terutama peran di bidang teknik atau pengembangan produk.
"Inklusivitas harus diperkenalkan sedari dini. Dan itulah mengapa perusahaan seperti kami mengincar anak-anak muda," kata Wan. Razer kerap mengadakan kunjungan ke sekolah-sekolah yang banyak menuai antusiasme dari para siswa.
"Game adalah pendorong sektor teknologi," kata Wan, yang berharap dapat menarik minat lebih banyak perempuan dalam berkarier di bidang pengembangan game. (Foto: CNA/Kelvin Chia)
"Kami ingin berbagi kepada anak-anak muda, bahwa game memang menarik, tapi di baliknya terkandung juga unsur seni dan sains. Ini (pengembang game), akan menjadi karier yang akan membuat kamu dapat melakukan hal luar biasa yang memengaruhi perekonomian.
"Gaming adalah pendorong di sektor teknologi - game, musik, produksi, koneksi, layanan, pembelian in-game, model monetisasi ... ini adalah ruang menarik yang jadi ujung tombak dari banyak inovasi," kata dia.
Berbicara soal upayanya mewujudkan keterwakilan gender yang seimbang, Wan mengatakan: "Salah satu mantan bos dan mentor saya pernah mengatakan bahwa dalam bidang personalia, kepemimpinan dan manajemen, kamu perlu memutuskan apakah akan menjadi realis atau aktivis. Aktivis adalah seorang yang lompat ke sana kemari, meneriakkan perubahan. Tapi seorang realis adalah yang orang yang diam-diam memastikan adanya langkah kecil menuju perubahan.
"Saya lebih kepada seorang realis. Daripada mengeluh, bagi saya, pertanyaannya adalah, apa yang bisa kita lakukan untuk membawa perubahan," kata dia.
Wan percaya, dengan pendidikan, praktik yang inklusif dan lebih banyak lagi pemimpin perempuan di bidang teknologi, ke depannya perempuan akan lebih banyak memainkan peranan dalam pengembangan game.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.