Bagaimana kanker mengubah hubungan seks dan pernikahan: 3 perempuan pejuang kanker berbagi kisah mereka
Perubahan yang dialami setelah menjalani pengobatan kanker seperti menopause dini, infertilitas dan berat badan yang bertambah dapat berdampak pada kehidupan perempuan.
*Nama telah diubah demi menjaga privasi
SINGAPURA: Sewaktu Sarah menerima diagnosis bahwa ia menderita kanker payudara stadium 3 pada 2020, ia tidak memikirkan perihal menopause dan hubungan perkawinannya nanti.
Sebagai seorang ibu yang baru melahirkan anak delapan bulan yang lalu, ia kini harus meneguhkan diri untuk menjalani kemoterapi, lumpektomi, dan terapi radiasi. Namun pada September 2021, kankernya berkembang menjadi stadium 4.
Beberapa bulan kemudian, tes darah menunjukkan bahwa ia mengalami menopause dini. Saat itu, usianya baru menginjak 37 tahun.
"Saya tidak menyangka ini terjadi di kala saya masih muda. Saya merasa cairan yang keluar sangatlah parah dan panas, dan vagina saya sangat kering, sampai-sampai saya merasakannya lecet bahkan ketika saya sedang berjalan atau duduk, apalagi ketika berhubungan badan. Saya pikir, 'Mengapa saya tidak normal?' ingatnya.
Keadaan ini turut memengaruhi pernikahannya. "Kebutuhan suami saya tidak terpenuhi. Tapi sulit baginya untuk membicarakannya. Sehingga ia melampiaskan kekecewaannya di tempat lain. Kami terus berdebat," ungkapnya kepada CNA Women.
"Ketika saya lagi di titik terendah, saya merasa, 'Kenapa saya bisa sampai ingin melawan kanker? Untuk apa, kalau setelah menjalani perawatan sesulit itu, saya harus selalu bertengkar dengan suami saya," ujarnya.
Sama halnya dengan Sarah, banyak pejuang kanker harus bergumul menghadapi perawatan medis yang sulit.
"Hal ini cukup biasa dialami oleh pasien, terutama di awal, di mana mereka merasa kepercayaan diri, penghargaan diri dan kepercayaan mereka terhadap tubuh mereka berkurang akibat semua perubahan fisik dan fungsional yang terjadi di luar kendali, dan ini bisa terjadi secara mendadak," jelas lektor kepala Irene Teo, psikolog klinis utama Departemen Psikososial Onkologi, National Cancer Centre Singapore (NCCS).
"Seksualitas tetap menjadi salah satu masalah yang kerap dipandang sebelah mata dan kurang mendapat penanganan yang baik dalam kehidupan seorang pejuang kanker, bukan hanya di Singapura saja, namun juga di seluruh dunia," imbuh Lektor Teo.
Satu dari enam wanita dengan riwayat kanker payudara atau ginekologi yang memiliki pasangan melaporkan adanya ketidakpuasan seksual, terangnya sembari mengutip studi yang dilakukan oleh NCCS dan KK Women's and Children's Hospital (KKH).
PERUBAHAN FISIK DAN FUNGSIONAL SELAMA KANKER
"Kanker itu peristiwa yang mengubah hidup dan memengaruhi fisik, psikologis dan sosial pasien. Beberapa efek sampingnya dapat bersifat jangka panjang," terang dr Joline Lim, ahli onkologi dan konsultan di Departemen Hematologi-Onkologi, National University Cancer Institute, Singapura (NCIS).
Selain rambut rontok sementara - yang bisa membuat pasien merasa terpukul - beberapa juga mengalami neuropati perifer (mati rasa pada anggota badan) sebagai salah satu efek samping dari menjalani kemoterapi. Kendati biasanya akan membaik usai mengikuti kemoterapi, sejumlah pasien dapat hidup walau dengan beberapa kerusakan pada sarafnya selamanya, kata dr Lim.
Untuk penyakit kanker tertentu, perawatannya juga memerlukan operasi pengangkatan payudara, indung telur, rahim, leher rahim, atau perubahan pada anatomi lainnya.
Tumor kolorektal terkadang memerlukan kolostomi, tambah dr Lim. Operasi ini dilakukan dengan membuat lubang pada kolon atau usus besar melalui abdomen, tempat sisa makanan dialihkan ke kantong penampung. Hal ini akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari dan citra diri pasien.
June, yang sebelumnya didiagnosis menderita kanker payudara pada tahun 2010, menjalani masektomi pada usia 28 tahun, yakni sembilan bulan setelah pernikahannya.
"Saya merasa tidak terima. Selama berminggu-minggu menjelang operasi, saya sering terbangun tengah malam berharap kabar itu hanyalah mimpi buruk. Ketika saya menyadari segalanya, air mata saya langsung tumpah. Membayangkan diri terbangun dari ranjang rumah sakit dengan dada sudah rata dan penuh bekas luka, terlalu berat bagi saya," katanya.
Ia memilih untuk menjalani rekonstruksi payudara dan dokter berhasil mempertahankan putingnya meski sekarang mati rasa secara permanen.
“Itu, ditambah dengan bekas luka saya, membuat saya cemas kalau hal tersebut dapat mengganggu hubungan saya dengan suami. Tapi ia tidak pernah membenciku karena itu. Ia tak menekan saya untuk berhubungan badan dan selalu mengutamakan kesehatan dan pemulihan saya," kata June.
Bertambahnya berat badan juga menjadi efek samping yang biasa dialami, terutama bagi wanita yang menjalani terapi hormon dan itu menyebabkan fungsi hormon mereka berubah, dan menopause dini, jelas dr Lim.
Ia menambahkan bahwa konsumsi steroid dalam jangka panjang dalam pengobatan kanker turut serta menyebabkan bertambahnya berat badan dan retensi air.
Lisa didiagnosis menderita kanker tiroid stadium 3 pada tahun 2016. Ia menjalani operasi untuk mengangkat tiroid, yang mengontrol metabolisme, serta kelenjar getah bening, yang sangat penting untuk sistem imunnya.
Wanita, yang dulunya seorang pelari maraton ultra sepanjang 160km setiap minggunya ini, dengan cepat bertambah berat badan 8kg. "Saya merasa lusuh dan lesu," ujarnya.
Kendati pakaian lamanya tidak muat lagi untuknya, ia tetap menyimpannya. "Saya tidak mau beli ukuran yang lebih besar. Saya percaya kalau suatu hari, saya bisa pakai itu nantinya. Kalau tidak begitu, pakaian Anda bakal kaus oblong, celana pendek dan baju tidur terus."
MENGHADAPI PERIHAL SEKSUALITAS, KEINTIMAN, DAN SEKS
Banyak orang terdekat dan teman-teman tidak memahami dampak jangka panjang dari penyakit dan pengobatannya pada pejuang kanker.
"Saya dengar dari pasien bahwa mereka biasanya menerima dukungan dari orang terdekat selama pengobatan dan itu akan berkurang seiring berjalannya waktu saat mereka menyelesaikan pengobatan dan kembali ke kehidupannya sebelum terkena kanker," kata Lektor Teo.
"Ini wajar karena pasien terlihat dan merasa lebih kuat. Namun saya juga dengar pasien bilang bahwa hanya karena mereka sekarang terlihat 'normal', bukan berarti mereka benar-benar sudah demikian. Memang, rambut mereka kembali menumbuh, tapi gejala-gejala seperti kelelahan dan neuropati, efeknya masih akan terus berlanjut... dan tidak terlihat oleh orang lain," imbuhnya.
Terkadang, keadaan ini tanpa disengaja merusak hubungan.
Salah satu akibat dari pengobatan kanker dan operasi pengangkatan kelenjar getah beningnya adalah Lisa menderita alergi terus-menerus meskipun mengonsumsi antihistamin setiap harinya. "Mata saya selalu bengkak, berair dan gatal. Saya selalu merasa gatal-gatal di telinga dan gatal di langit-langit atas saya [dalam mulut].”
Keadaan ini memengaruhi seksualitasnya, ungkapnya. "Ketika Anda selalu alergi, Anda tidak lagi memikirkan untuk berhubungan intim. Dan karena alergi saya, saya mudah sekali merasa tersinggung. Suasana hati saya juga gampang berubah-ubah.
"Selama enam bulan pertama, pasangan saya mulai pengertian. Tapi setelahnya, sikapnya seperti, 'Dihadapi saja. Ini sudah enam bulan.’”
Bagi wanita muda yang sedang dalam masa-masa subur, pengobatan kanker bisa membuat mereka merasa sangat terpukul karena kemoterapi bisa menyebabkan subfertilitas, jelas dr Lim dari NCIS.
Pasien menerima konseling untuk memahami efek-efek ini dan diberi pilihan untuk membekukan sel telur untuk pembuahan di masa depan, tambahnya. Namun untuk pasien kanker stadium akhir seperti Sarah, pilihan ini tidak membantu.
"Impian kami itu ingin punya anak tiga. Kami hanya punya satu. Sel telur saya sudah dibekukan, tapi kalau saya menjalani kemoterapi, saya tidak akan bisa mengandungnya dengan sendiri. Dan surogasi tidak diperbolehkan di Singapura sehingga tidak ada cara legal supaya bisa memiliki lebih banyak anak," ucap Sarah.
Teo menambahkan bahwa wanita berusia tiga puluhan dan awal empat puluhan cenderung mengalami kesulitan karena perubahan tersebut dapat memengaruhi keputusan mereka dalam melalui tahap kehidupan seperti berkencan, berkomitmen dengan pasangan hidup, atau memulai sebuah keluarga.
"Terkadang, tahap-tahap ini tertunda karena pengobatan. Kadang-kadang, semuanya tertunda karena pasien cemas bila kankernya kambuh, bagaimana keadaannya dapat mempengaruhi pasangannya, atau kalau situasi ini tidak adil bagi jodohnya nanti atau keluarganya," ujarnya.
MENGHADAPI PERUBAHAN
Akan sangat membantu bila anggota keluarga suportif dan memahami akan tantangan yang masih dihadapi oleh pasien dan efek samping dari pengobatannya, kata Teo. Dalam banyak kasus, pelukan atau kata-kata afirmasi dari orang-orang yang tercinta dapat menjadi penyemangat hidup pasien.
"Itu semua normal bila dinamika hubungan romantis atau pernikahan berubah selama perjalanan kanker," ujarnya. "Keintiman seksual kerap kali terkesampingkan, walau banyak pasangan melaporkan bahwa kedekatan emosionalnya tetap berlanjut atau meningkat."
Pasien yang khawatir dengan keintiman seksual juga dapat mencari bantuan profesional atau berbicara dengan ahli onkologi mereka untuk mendapatkan rujukan. NCCS, misalnya, memulai Women's Wellness and Intimacy Clinic bermultidisiplin pada tahun lalu. Klinik ini dijalankan oleh dokter seksologi dan psiko-seksolog untuk menangani tantangan seksual yang timbul selama pengobatan kanker.
Sarah menceritakan bahwa pernikahannya membaik usai berkonsultasi dengan terapis seks, sehingga suaminya kian memahami perjuangan yang ia hadapi. Ia kini merasa lebih didukung. Kemudian, pasangan itu juga sudah mulai mencoba mendudukkan masalah keintimannya dengan bersama.
Pada akhirnya, bagi beberapa pasien, pergumulan ini dapat memupuk diri menjadi individu yang lebih tegar.
Meski sebelumnya June mengakui bahwa pikirannya masih sulit untuk tidak memikirkan bekas luka masektominya, kini pikiran-pikiran tersebut tidak lagi mengusiknya.
Nasihatnya untuk pejuang kanker lainnya: "Percaya diri saja dengan tubuh Anda. Ini semua bekas luka perjuangan kita. Kita telah berhasil melalui, menyelesaikan, dan selamat dari ujian yang berat. Apa lagi yang tidak bisa kita hadapi? Lagi pula, tubuh dan penampilan kita memang akan berubah seiring bertambahnya usia, jadi jangan khawatir."
Begitu juga, meski menderita kanker stadium 4, Sarah mengambil pelatihan koding setahun yang lalu dan sejak itu, ia meninggalkan peran administratifnya untuk bekerja sebagai perekayasa.
"Mayoritas pasien dan penyintas kanker perlu waktu untuk penyesuaian, dan kemudian bisa menjalani kehidupan yang bermakna. Banyak yang menggambarkan pengalaman kanker mereka memiliki dampak yang sangat positif terhadap prioritas kehidupan yang mereka pilih untuk berjalan ke depan," ucap Teo.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.