Allauddin’s Briyani dan Islamic Restaurant: Hikayat sang kakek dalam hidangan nasi rempah lezat di Singapura
DJ Denise Tan dari stasiun radio Gold 905 menyelami cita rasa nasi rempah yang ditawarkan dua jenama dari dua keluarga. Ia juga menelusuri perjalanan mereka, mulai dari asal-usul sebagai imigran hingga termasyhur dalam sejarah kuliner Singapura.

Biryani ayam di Islamic Restaurant dan biryani daging kambing di Allauddin's Briyani. (Foto: Mediacorp)
ALLAUDDIN'S BRIYANI
Perjalanan kami dimulai di Tekka Centre, satu tetenger di kawasan Little India, Singapura, lokasi beberapa warung biryani ternama. Di sini, Zuhairi membawa saya ke Allauddin’s Briyani yang sejarahnya terentang 50 tahun dan telah diakui oleh Michelin Guide sebagai penyedia "makanan enak dengan harga terjangkau". Papan namanya berhiaskan liputan-liputan media dan foto-foto bersama para presiden terdahulu, menegaskan klaimnya sebagai "spesialis" biryani. Apa yang membuatnya istimewa?

Inspirasi nama warung ini adalah Shaikallauddin Mohamed, ayah dari Haji Mohamed, pemilik generasi kedua Allauddin's Briyani. Menurut Haji, akar bisnis mereka bisa dilacak lebih jauh ke belakang, yakni hingga awal 1940-an ketika kakeknya pertama kali menginjakkan kaki di Singapura dari India.
"Kakek saya bekerja di restoran saat dia tiba, dan restoran itu terkenal dengan biryaninya. Ayah saya ikut dengannya di tahun 1960-an di restoran yang sama. Kemudian pada tahun 1970-an, ayah saya berniat membuka bisnis sendiri, jualan biryani dan makanan India," ujarnya. Sejak saat itu, Allauddin's Briyani memantapkan diri sebagai salah satu yang terbaik di Little India dan berekspansi ke beberapa lokasi di seantero Singapura, termasuk Redhill dan West Coast.

Haji mengambil alih bisnis dari ayahnya pada tahun 2000, melanjutkan tradisi keluarga menyajikan biryani "gaya India Selatan". "Kami kan sebenarnya masak untuk orang sini, sesuai selera kebanyakan. Tidak terlalu pedas, tidak terlalu kering," jelasnya. "Kami pakai bahan kualitas terbaik, dan ini resep kami sendiri. Rempah-rempahnya kami giling sendiri dan hanya keluarga kami yang tahu cara membuatnya."
Guna imbangi rencana ekspansi, biryani kini disiapkan di dapur pusat, namun campuran rempah resep keluarga tetap dijaga kerahasiaannya, bahkan dari para juru masak yang bekerja di sana. Haji senantiasa melakukan pemeriksaan kualitas dan telah menetapkan standar cara penyajian biryani mereka di tiap gerai. Meja konter berdesain khusus dengan ruang penyimpanan terintegrasi untuk nasi, daging, dan bumbu pelengkap menjaga makanan tetap hangat pada suhu konstan, memungkinkan pelayanan yang lebih galir terutama di jam-jam sibuk.

Bahkan di jam 3 sore, saya dan Zuhairi melihat pelanggan terus berdatangan. Kami pun bergegas memesan dua paket terlaris mereka, masing-masing seharga S$7 (sekitar Rp115.000) – biryani ayam dan biryani kambing (ada pula biryani ikan) – berisi nasi, daging, dalcha, acar, telur rebus, dan papadum.
Aroma rempah kuat menggoda hampiri meja kami sebelum pesanan tiba, menerbitkan air liur. Saya tahu yang akan datang adalah hidangan yang tidak main-main. Dengan bumbu berlimpah dan disajikan dalam porsi besar, biryani pesanan kami teramat mantap dan mengenyangkan sesuai selera saya.

Deskripsi Haji ternyata sangat tepat. "Tidak terlalu pedas, tetapi rasanya pas. Dan saya suka nasinya yang terbukti sedikit basah," ujar Zuhairi. Memang benar, butir-butir nasi kuning-oranye itu buntak dan lembut, terutama setelah disirami kari dan dalcha (godokan lentil dengan wortel dan kentang) yang berlimpah.
Acar mentimunnya membuat saya dan Zuhairi terkejut, namun karena alasan berbeda. Mengharapkan kerenyahan manis dan asam, saya justru menikmati rasa asinannya, sedangkan menurutnya rasa itu terlalu kuat. Toh ketika dimakan bersama nasi dan telur rebus, semua rasa jadi seimbang di lidah Zuhairi.
Pendapat kami juga berbeda soal dagingnya. Zuhairi tidak terlalu suka daging kambing karena aroma prengusnya, tetapi kali ini dia bersedia mencicipi. "Saya tidak bisa menyangkal bahwa saya cukup menyukai kuah kambing ini. Daging kambing sendiri memang bukan favorit saya, tapi untuk kelembutan dagingnya, saya beri apresiasi," demikian penilaiannya.

Saya dengan senang hati menyantap satu porsi sendirian, menikmati kuah yang kaya dan aroma kuat dari daging bertulang (bone-in). Tiap komponen dalam paket ini diperlukan demi keseimbangan – nasi basmati berbumbu jadi unsur utama; acar yang asam mengikis rasa berlemak; dalcha menambahkan dimensi berkuah yang gurih; telur mengimbuhkan protein dan papadum munculkan kontras dengan teksturnya yang renyah.
Saya juga senang papadumnya disajikan terpisah dalam kantong plastik, membantu menjaga kerupuk berbumbu ini tetap kering. Terpapar kelembapan sedikit saja akan membuatnya lembek. Saya sempat gundah akibat membiarkan sepotong papadum tergeletak di atas nasi berkuah. Setelah paham, selanjutnya saya menggunakan sepotong papadum melengkung untuk menyendoki ini dan itu secuil demi secuil lantas melahap semua, termasuk papadumnya, dalam satu suapan sempurna.

Soal biryani ayam, Zuhairi dan saya sepakat sepenuhnya. Dagingnya dibumbui dengan mewah, empuk di ujung garpu dan lezat sampai ke tulang. "Makan ini terasa menyenangkan karena ada banyak sensasi di mulut," ujarnya. Bagi kami, Allauddin's Briyani sajikan menu klasik yang lengkap – mengenyangkan, terasa akrab, dan sangat memuaskan.
ISLAMIC RESTAURANT
Demi biryani dosis ganda dalam sehari, tujuan termasyhur kami berikutnya memiliki sejarah lebih dari satu abad di Singapura. Islamic Restaurant yang terletak di North Bridge Road sudah berusia 103 tahun, didirikan pada 1921 oleh M Abdul Rahiman. Sosok ini pernah menjadi chef untuk keluarga saudagar Alsagoff yang ternama.
M Abdul Rahiman belajar memasak di bawah bimbingan seorang kepala chef Turki, sehingga bisa dimafhumi mengapa biryani – atau dalam hal ini ‘beryani’ – di Islamic Restaurant memiliki cita rasa yang khas. Keunikan ejaan tadi pun dipertahankan oleh sang cucu sekaligus pemilik generasi ketiga, Kaliloor Rahaman, yang bertekad melestarikan warisan hebat keluarganya.

Tentang pencapaian awal kakeknya di dunia kuliner, Kalil berkata, "Jadi dari situ dia pelajari keahliannya, kemudian dia kembangkan resepnya sendiri. Resep ini kombinasi rasa India dan Turki. Yang terpenting untuk brand kami sebenarnya daun mint yang kami peroleh dari tiga negara."
Diimpor dari Cameron Highlands di Malaysia, Thailand, dan Tasmania di Australia, daun-daun mint ini hadirkan aroma kesegaran subtil pada hidangan, kontras dengan rasa karamel pekat dari bawang merah goreng. Di sana-sini, sentuhan lembut cengkeh dan kapulaga juga terasa. Penggunaan bumbu yang ringan tidak lantas membuat nasinya kurang lezat, namun justru memungkinkan aroma nutty serta floral alami untuk menonjol, menjadikan tiap butir panjangnya pulen dan khas.

Saya dan Zuhairi mencoba biryani ayam dan biryani kambing versi Islamic Restaurant (masing-masing S$14 dan S$15). Lebih mirip kari kering yang disajikan di atas nasi, kedua jenis daging ini empuk dan dimarinasi dengan baik, dengan saus kental nan lezat membaluri tiap porsi bertulang.
Nasinya lembut, sementara daging ayam maupun kambingnya berbalutkan rempah-rempah yang nendang, yang dicampur sesuai resep rahasia dari sang kakek. "Ini tentu saja merupakan rahasia keluarga yang bahkan chef-nya pun tidak tahu. Meskipun resep ini sangat sederhana, formulanya juara," kata Kalil.
Zuhairi memberikan reaksi paling tak terduga ketika ia menyatakan, "Saya tidak pernah menyangka saya bisa menikmati daging kambing. Rasa-rasanya kalau saya mau makan biryani kambing, saya akan datang ke sini karena ini rasanya sama sekali tidak prengus."



Selanjutnya datanglah hidangan istimewa mutton samma (S$25) – satu sengkel kambing utuh berbalur saus kental serupa kari korma, dimasak perlahan selama setidaknya delapan jam pada suhu konstan 70 derajat Celsius hingga dagingnya jambon dan lembut. Daging empuk penuh cairan meleleh itu dibumbui sempurna, dengan paduan rasa ketumbar, yoghurt, dan taburan lada putih yang cukup menggigit dan menggugah selera.
Saus itu begitu sedap untuk dilahap tanpa henti, sehingga hidangan tambahan terakhir, yakni roti mariam (S$6), diperlukan untuk meredakan rasa pedasnya.
Menurut Kalil, nama roti ini berasal dari nama seorang perempuan yang dulu menjajakan roti pipih goreng di gang belakang Masjid Sultan, Singapura, tempat kakeknya biasa shalat. Ketika hujan deras, pedagang kaki lima itu terpaksa menutup lapaknya, sehingga kakeknya mengundang perempuan itu untuk membuat roti yang sama di restorannya.

"Dia pun menerima undangan itu. Setelah dia meninggal, kami namai sesuai namanya, roti mariam," jelas Kalil. Permukaan roti yang lezat ini mengelopak dan berlubang-lubang, dan bagian dalamnya berongga dan gampang menyerap, cocok untuk menyeka semua cairan yang meleleh dari mutton samma.
Saya menyadari bahwa kesuksesan Islamic Restaurant yang bertahan lama tidak hanya mencerminkan hidangannya, tetapi juga keluarga yang mengelolanya. Memimpin upaya pelestarian sejarah keluarga, Kalil merupakan sosok yang penuh minat serta ide kreatif. Restoran nyaman dua lantai ini berhiaskan aneka benda warisan yang telah dia kumpulkan selama bertahun-tahun.

Kakek buyut Kalil adalah seorang pegulat, dan fotonya terpajang di ruang makan bersama foto salah satu pamannya yang seorang binaragawan. Piala-piala miliknya sendiri dari masa muda sebagai binaragawan turut dipamerkan, berikut koleksi piringan hitam dan alat musik untuk mengenang bakat ayahnya dalam menulis lagu dan kegemarannya bernyanyi.
Ruangan di lantai atas berfungsi sebagai ruang acara privat sekaligus museum, dihias secara unik oleh Kalil dan istrinya. Deretan sari India, renda Eropa, cermin Prancis, dan lukisan cat minyak dipajang apik, menggambarkan sejarah kolonial Singapura dan posisi keluarga mereka di sana.
Koleksi barang antik berupa sahan (piring saji besar khas Turki) milik Kalil dipajang di tempat terhormat, sebab dulu merupakan milik kakeknya. "Yang ini dari Belanda, usianya hampir 80 tahun. Jadi yang biasanya kami sajikan di sini adalah ‘kakek jumbonya’ biryani, yang bisa dinikmati oleh empat orang," ungkapnya.

Katering berskala lebih besar untuk acara-acara pribadi merupakan strategi yang dipelopori oleh kakeknya. "Karena sejak awal, pada masa 1920-an ada banyak pengaruh Inggris di Singapura. Kami salah satu penyedia katering untuk orang-orang Eropa. Jadi kakek saya membangun konsep ini," jelasnya. Foto-foto acara sejenis dari masa itu memadati dinding demi dinding, menampilkan orang-orang penting, para pejabat, bahkan Perdana Menteri pertama Singapura di The Istana pada tahun 1965.
"Ini adalah museum yang bisa dinikmati pengunjung. Saya ingin melestarikan brand ikonik ini, bersama dengan artefak-artefak milik kakek saya," ujar Kalil, menambahkan bahwa ia berencana melibatkan seorang kurator museum internasional guna membantu menata koleksinya tahun depan.
Kalil juga percaya bahwa produk siap masak dan siap saji merupakan langkah maju, sehingga penelitian dan pengembangan sedang berlangsung untuk mereplikasi resep keluarganya secara konsisten dengan standar tinggi. "Begitulah masa depannya, yang saya rasa lebih efisien. Dan jika Anda ingin go global, Anda tidak bisa buka restoran di seluruh dunia. Nah dengan produk-produk ini, kita bisa mengekspor," ungkapnya.

Efisiensi di dapurnya dengan bantuan peralatan berteknologi tinggi dan otomatis juga krusial untuk ekspansi di divisi katering dan pengiriman ke rumah-rumah, berikut satu cabang yang kini berumur satu tahun di Desker Road. Produksi massal juga telah memungkinkan mimpi lain, seperti berbagi dengan masyarakat. Untuk merayakan ulang tahun restoran tahun ini, Kalil menyelenggarakan acara pembagian makanan, memberikan 3.103 porsi biryani ayam andalan mereka secara gratis.
Suksesi bisa jadi akan berlangsung hingga generasi kelima, sebab putranya telah ikut terlibat, dan cucunya yang berusia sembilan tahun pun kerap membantu cuci piring tiap Sabtu "untuk belajar". Tak kalah menarik, Kalil juga mengoleksi berbagai replika bebek sebab mereka merupakan makhluk sosial yang bepergian secara berkelompok. Barangkali harapannya adalah, seperti hewan favoritnya ini, keluarganya akan bergabung dengannya dalam satu perjalanan yang telah dimulai oleh kakeknya lebih dari seabad lalu.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.